BAB II
PENELUSURAN TEORITIS
1.
Ibu
Struktur
keluarga menggambarkan peran masing-masing anggota keluarga baik di dalam
keluarganya sendiri maupun perannya di lingkungan masyarakat. Semua tindakan
dan perilaku yang dilakukan oleh anggota keluarga menggambarkan nilai dan norma
yang dipelajari dan diyakini dalam keluarga. Bagaimana cara dan pola komunikasi
diantara orang tua, orang tua dan anak, diantara anggota keluarga ataupun dalam
keluarga besar (Setiawati, 2008).
Sering
dikatakan bahwa ibu adalah jantung dari keluarga. Jantung dalam tubuh merupakan
alat yang sangat penting bagi kehidupan seseorang. Apabila jantung berhenti
berdenyut maka orang itu tidak bisa melangsungkan hidupnya. Perumpaan ini menyimpulkan
bahwa kedudukan seorang ibu sebagai tokoh sentral dan sangat penting untuk
melaksanakan kehidupan. Pentingnya seorang ibu terutama terlihat sejak
kelahiran anaknya (Gunarsa, 2000).
Peran ibu sangat banyak, peranan ibu
sebagai istri dan ibu dari anak- anaknya, mengurus rumah tangga, sebagai
pengasuh dan pendidik anak-anaknya, dan sebagai salah satu kelompok dari
peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.
Disamping itu, ibu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan bagi
keluarganya (Effendy, 1998).
Menurut Friedman dalam Effendy (1998), peran ibu
didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengasuh, mendidik dan menentukan nilai
kepribadian. Peran pengasuh adalah peran dalam memenuhi kebutuhan pemeliharaan
dan perawatan anak agar kesehatannya terpelihara sehingga diharapkan mereka
menjadi anak-anak yang sehat baik fisik, mental, sosial dan spiritual. Selain
itu peran pengasuh adalah peran dalam memberikan kasih sayang, perhatian, rasa
aman, kehangatan kepada anggota keluarga sehingga memungkinkan mereka tumbuh
dan berkembang sesuai usia dan kebutuhannya.
Realitas peran ibu kini adalah bahwa di banyak keluarga,
tanggung jawab utama atas anak maupun pekerjaan rumah tangga dan bentuk lainnya
dari pekerjaan keluarga masih dibebankan di pundak ibu (Barnard & Martell,
1995 dalam Santrock, 2007)
1.1
Ibu
bekerja
Ibu bekerja adalah ibu yang melakukan suatu kegiatan di luar
rumah dengan tujuan untuk mencari nafkah untuk keluarga. Selain itu salah satu
tujuan ibu bekerja adalah suatu bentuk aktualisasi diri guna menerapkan ilmu
yang telah dimiliki ibu dan menjalin hubungan sosial dengan orang lain dalam
bidang pekerjaan yang dipilihnya (Santrock, 2007).
Beberapa alasan yang mendukung tujuan ibu bekerja menurut
Gunarsa (2000) adalah: (1) karena keharusan ekonomi, untuk meningkatkan ekonomi
keluarga. Hal ini terjadi karena ekonomi keluarga yang menuntut ibu untuk
bekerja. Misalnya saja bila kehidupan ekonomi keluarganya kurang, penghasilan
suami kurang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga sehingga ibu harus
bekerja, (2) karena ingin mempunyai atau membina
pekerjaan. Hal ini terjadi sebagai wujud aktualisasi diri ibu, misalnya bila
ibu seorang sarjana akan lebih memilih bekerja untuk membina pekerjaan, (3) proses
untuk mengembangkan hubungan sosial yang lebih luas dengan orang lain dan
menambah pengalaman hidup dalam lingkungan pekerjaan, (4) karena kesadaran
bahwa pembangunan memerlukan tenaga kerja baik tenaga kerja pria maupun wanita.
Hal ini terjadi karena ibu mempunyai kesadaran nasional yang tinggi bahwa
negaranya memerlukan tenaga kerja demi melancarkan pembangunan, (5) pihak orang
tua dari ibu yang menginginkan ibu untuk bekerja, (6) karena ingin memiliki
kebebasan finansial, dengan alasan tidak harus bergantung sepenuhnya pada suami
untuk memenuhi kebutuhan sendiri, misalnya membantu keluarga tanpa harus
meminta dari suami, (7) bekerja merupakan suatu bentuk penghargaan bagi ibu,
(8) bekerja
dapat menambah wawasan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pola asuh
anak-anak.
Alasan-alasan diatas menjadi dasar terjadinya pergeseran
nilai peran seorang ibu. Ibu harus menjalankan peran ganda dalam melaksanakan
perannya sebagai sosok seorang ibu. Peran ganda ini berpengaruh posotif maupun
negatif terhadap kondisi keluarga terutama terhadap anak.
Pengaruh ibu yang bekerja pada hubungan anak dan ibu,
sebagian besar bergantung pada usia anak pada waktu ibu mulai bekerja. Jika ibu
mulai bekerja sebelum anak telah terbiasa selalu bersamanya, yaitu sebelum
suatu hubungan tertentu terbentuk, maka pengaruhnya akan minimal. Tetapi jika
hubungan yang baik telah terbentuk, anak itu akan menderita akibat deprivasi
maternal, kecuali jika seorang pengganti ibu yang memuaskan tersedia, yaitu
seorang pengganti yang disukai anak dan yang mendidik anak dengan cara yang
tidak akan menyebabkan kebingungan atau kemarahan di pihak anak (Hurlock,
2007).
1.2
Ibu
tidak bekerja
Ibu
yang tidak bekerja memiliki tanggung jawab untuk mengatur rumah tangga. Dalam
konteks inilah peran seorang ibu berlaku, yaitu mengurus rumah tangga, sebagai
pengasuh dan pendidik anak-anaknya, dan sebagai salah satu kelompok dari
peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya (Santrock, 2007).
Ibu
yang tidak bekerja dapat lebih memahami bagaimana sifat dari anak-anaknya.
Karena sebagian besar waktu yang dimiliki ibu yang tidak bekerja dihabiskan di
rumah sehingga bisa memantau kondisi perkembangan anak. Kebanyakan pekerjaan
yang dilakukan ibu di rumah meliputi membersihkan, memasak, merawat anak,
berbelanja, mencuci pakaian, dan mendisiplinkan. Dan kebanyakan ibu yang tidak
bekerja seringkali harus mengerjakan beberapa pekerjaan rumah sekaligus (Santrock, 2007). Namun, karena
ikatan kasih sayang dan melekat dalam hubungan keluarga pekerjaan rumah tangga
yang dilakukan oleh ibu memiliki arti yang kompleks dan juga berlawanan
(Villiani, 1997 dalam Santrock, 2007). Banyak perempuan merasa pekerjaan rumah
tangga itu tidak cerdas namun penting. Mereka biasanya senang memenuhi
kebutuhan orang-orang yang mereka kasihi dan mempertahankan kehidupan keluarga,
karena mereka merasa aktivitas tersebut menyenangkan dan memuaskan.
Pekerjaan keluarga bersifat positif
dan negatif bagi perempuan. Mereka tidak diawasi dan jarang dikritik, mereka
merencanakan dan mengontrol pekerjaan mereka sendiri, dan mereka hanya perlu
memenuhi standart mereka sendiri. Namun, pekerjaan rumah tangga perempuan
sering kali menyebalkan, melelahkan, kasar, berulang-ulang, mengisolasi, tidak
terselesaikan, tidak bisa dihindari, dan sering kali tidak dihargai (Santrock,
2007).
Namun, semua perempuan secara kodrat
harus menerima peran yang harus dijalankan, yaitu sebagai istri sekaligus ibu
dari anak-anaknya dan menjalankan perannya sebagai ibu dalam keluarga yang
memiliki tanggung jawab penuh untuk megatur rumah tangga.
2.
Pola
Asuh
Pola asuh adalah
cara-cara atau bentuk pengasuhan anak. Menurut Chabib Thoha (1997, dalam Puspitasari,
2006) bahwa pola asuh merupakan suatu cara yang terbaik yang dapat ditempuh
orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dan rasa tanggung jawab kepada
anak.
Pola asuh adalah
kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan
dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang sebaik-baiknya secara fisik,
mental dan sosial (Soekirman, 2000 dalam Puspitasari, 2006).
Menurut Nuraeni (2006)
pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat
relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh
anak, dari segi negatif dan positif. Pola asuh yang benar bisa ditempuh dengan
memberikan perhatian yang penuh serta kasih sayang pada anak dan memberinya
waktu yang cukup untuk menikmati kebersamaan dengan seluruh anggota keluarga.
Setiap anak tumbuh dan
berkembang melalui proses belajar tentang dirinya sendiri dan dunia sekitarnya.
Proses pembelajaran ini berlangsung dan berkesinambungan terus selama masa
hidup seseorang, sejak anak usia bayi sampai mencapai usia dewasa. Kewajiban orang
tua adalah terlibat dalam pengasuhan positif dan memandu anak menjadi manusia
yang kompeten. Kewajiban anak adalah merespon sesuai dengan inisiatif dari
orang tua dan mempertahankan hubungan positif dengan orang tua (Santrock,
2007). Pola asuh yang tepat dari orang tua terutama ibu sangat mempengaruhi
proses pembelajaran ini. Diperlukan kesabaran dan kebijakan orang tua untuk
dapat memberikan pertimbangan terbaik dalam pengambilan keputusan-keputusan
penting di dalam kehidupan anak.
Pola asuh yang diterapkan
oleh ibu yang bekerja di luar rumah bisa berbeda dengan pola asuh yang
diterapkan oleh ibu yang hanya bekerja di dalam rumah atau sebagai ibu rumah
tangga yang dengan waktu penuh dapat mengasuh anaknya. Menurut Baumrind (1967,
dalam Nuraeni, 2006), terdapat 4 macam pola asuh orang tua:
1. Pola
asuh Demokratis
Pola
asuh demokratis adalah suatu bentuk pola asuh yang memperhatikan dan menghargai
kebebasan anak, namun kebebasan itu tidak mutlak dan dengan bimbingan yang
penuh pengertian antara orang tua dan anak. Dengan kata lain, pola asuh
demokratis ini memberikan kebebasan kepada anak untuk mengemukakan pendapat,
melakukan apa yang diinginkannya dengan tidak melewati batas-batas atau
aturan-aturan yang telah ditetapkan orang tua. Orang tua juga selalu memberikan
bimbingan dan arahan dengan penuh pengertian terhadap anak mana yang boleh
dilakukan dan mana yang tidak. Hal tersebut dilakukan orang tua dengan lemah
lembut dan penuh kasih sayang (Baumrind, 1967 dalam Nuraeni, 2006)
Pola
asuh demokratis merupakan pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan
tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Pola asuh demokrasi ini ditandai
dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak. Mereka membuat
aturan-aturan yang disetujui bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan
pendapat, perasaan dan keinginanya dan belajar untuk dapat menanggapi pendapat
orang lain. Orang tua bersikap sebagai pemberi pendapat dan pertimbangan
terhadap aktivitas anak (Baumrind, 1967 dalam Nuraeni, 2006).
Pola
asuh demokratis memampukan anak mengembangkan kontrol terhadap prilakunya
sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini mendorong
anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung jawab dan yakin terhadap diri
sendiri. Daya kreativitasnya berkembang baik karena orang tua selalu merangsang
anaknya untuk mampu berinisiatif. Jadi dalam pola asuh ini, terdapat komunikasi
yang baik antara orang tua dan anak. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap
rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran.
Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak
berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga
memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan,
dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat. Pada pola asuh ini akan
menghasilkan karakteristik anak-anak yang mandiri, dapat mengontrol diri,
mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat
terhadap hal-hal yang baru, kooperatif terhadap orang lain (Yusniah, 2008).
Menurut
Yusniah (2008) ciri-ciri pola asuh demokratis adalah sebagai berikut; 1) menentukan
peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan mempertimbangkan alasan-alasan
yang dapat diterima, dipahami dan dimengerti oleh anak, 2) memberikan
pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan dan yang tidak baik
agar di tinggalkan, 3) memberikan bimbingan dengan penuh pengertian, 4) dapat
menciptakan keharmonisan dalam keluarga, 5) dapat menciptakan suasana komunikatif
antara orang tua dan anak serta sesama keluarga.
2. Pola
asuh Otoriter
Pola
asuh otoriter adalah suatu bentuk pola asuh yang menuntut anak agar patuh dan
tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orang tua. Pola asuh
ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi
dengan ancaman-ancaman tanpa ada kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan
pendapatnya sendiri. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah, dan menghukum.
Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang
tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Perintah yang diberikan berorientasi
pada sikap keras orang tua. Karena menurutnya tanpa sikap keras tersebut anak
tidak akan melaksanakan tugas dan kewajibannya. Orang tua tipe ini juga tidak
mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua
tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai
anaknya (Baumrind, 1967 dalam Nuraeni, 2006).
Penerapan pola asuh
otoriter oleh orang tua terhadap anak, dapat mempengaruhi proses pendidikan
anak terutama dalam pembentukan kepribadiannya. Karena disiplin yang dinilai
efektif oleh orang tua (sepihak), belum tentu serasi dengan perkembangan anak. Pada
pola asuh ini akan menghasilkan anak dengan karakteristik anak yang penakut,
pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma,
berkepribadian lemah, cemas serta menarik diri (Yusniah, 2008).
Perkembangan anak itu
semata-mata ditentukan oleh orang tuanya. Sifat pribadi anak yang otoriter
biasanya suka menyendiri, mengalami kemunduran kematangannya, ragu-ragu di
dalam semua tindakan, serta lambat berinisiatif. Anak yang dibesarkan di rumah
yang bernuansa otoriter akan mengalami perkembangan yang tidak diharapkan orang
tua. Anak akan menjadi kurang kreatif jika orang tua selalu melarang segala
tindakan anak yang sedikit menyimpang dari yang seharusnya dilakukan. Larangan
dan hukuman orang tua akan menekan daya kreativitas anak yang sedang
berkembang, anak tidak akan berani mencoba, dan ia tidak akan mengembangkan
kemampuan untuk melakukan sesuatu karena tidak dapat kesempatan untuk mencoba.
Anak juga akan takut untuk mengemukakan pendapatnya, ia merasa tidak dapat
mengimbangi teman-temannya dalam segala hal, sehingga anak menjadi pasif dalam
pergaulan. Lama- lama ia akan mempunyai perasaan rendah diri dan kehilangan
kepercayaan kepada diri sendiri. Karena kepercayaan terhadap diri sendiri tidak
ada, maka setelah dewasa pun masih akan terus mencari bantuan, perlindungan dan
pengamanan. Ini berarti anak tidak berani memikul tanggung jawab (Yusniah,
2008).
Menurut Yusniah (2008)
ciri-ciri pola asuh otoriter adalah sebagai berikut : 1) anak harus mematuhi
peraturan-peraturan orang tua dan tidak boleh membantah, 2) orang tua cenderung
mencari kesalahan-kesalahan anak dan kemudian menghukumnya, 3) orang tua
cenderung memberikan perintah dan larangan kepada anak, 4) jika terdapat perbedaan pendapat antara orang
tua dan anak, maka anak dianggap pembangkang, 5) orang tua cenderung memaksakan
disiplin, 6) orang tua cenderung memaksakan segala sesuatu untuk anak dan anak
hanya sebagai pelaksana, 7) tidak ada komunikasi antara orang tua dan anak.
3. Pola
asuh Permisif
Pola asuh permisif memberikan
pengawasan yang sangat longgar yang ditandai dengan adanya kebebasan tanpa
batas kepada anak untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan keinginan anak. Pola
asuh permisif memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa
pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau
memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit
bimbingan yang diberikan oleh mereka. Pelaksanaan pola asuh permisif atau
dikenal dengan pola asuh serba membiarkan adalah orang tua yang bersikap
mengalah, menuruti semua keinginan, dan melindungi secara berlebihan serta
memberikan atau memenuhi semua keinginan anak. Namun orang tua tipe ini
biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak. Pola asuh ini biasanya
akan menghasilkan anak-anak yang manja, tidak patuh, kurang mandiri, mau menang
sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial (Baumrind, 1967
dalam Nuraeni, 2006)
4. Pola
asuh Penelantar
Orang tua pada pola
asuh penelantar umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya.
Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja,
dan kadangkala biaya pun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe
ini adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi.
Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan perhatian fisik maupun
psikis pada anak-anaknya. Pola asuh ini akan menghasilkan karakteristik
anak-anak yang kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, harga diri rendah,
sering bolos, dan bermasalah dengan teman (Baumrind, 1967 dalam Nuraeni, 2006).
Seorang
ibu yang bekerja di luar rumah harus pandai mengatur waktu untuk keluarga
karena pada umumnya tugas utama seorang ibu adalah mengatur rumah tangga. Peran
ibu dalam menerapkan pola asuh pada anak merupakan hal yang berpengaruh pada
sikap keseharian anak.
Menurut Child dan Whiting yang harus
diperhatikan dalam proses mengasuh anak adalah orang-orang yang mengasuh dan
cara penerapan larangan atau keharusan yang dipergunakan. Larangan maupun
keharusan terhadap pola pengasuhan anak beraneka ragam tetapi, prinsipnya adalah
cara pengasuhan anak harus mengandung sifat: pengajaran (instructing),
pengganjaran (rewarding) dan pembujukan (inciting) (Sunarti,
2004).
Pengasuhan yang kompeten melibatkan dua
faktor utama yaitu berkaitan dengan efektivitas metode sosialisasi dan
berkaitan dengan penyediaan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan
kognitif, perkembangan emosional, dan perkembangan sosial anak. Hasil kajian
menunjukkan bahwa orang tua yang efektif adalah orang tua yang memperlakukan
anak dengan hangat, mendukung anak secara positif, menetapkan batas-batasan dan nilai-nilai, dan
mengikuti serta memonitor perilaku anak yang secara konsisten menegakkan
aturan-aturan (Sunarti, 2004).
Efektifitas pengasuhan dapat ditunjukkan
dari indikator fisik seperti status gizi dan kesehatan dan dari indikator non
fisik seperti prestasi akademik, kecerdasan emosi, serta perilaku prososial
anak. Seorang anak sangat beresiko mengembangkan perilaku yang bermasalah dan
mendapat tekanan atau ketegangan psikologis jika orang tuanya gagal dalam
pengasuhan. Pertumbuhan dan perkembangan anak sebagai dua indikator utama dari
kualitas anak, membutuhkan lingkungan yang sehat, aman, nyaman, stabil, dan
lingkungan yang tidak tegang. Lingkungan pengasuhan yang penuh cinta kasih dibutuhkan
untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak (Sunarti, 2004).
penelitian yang bagus. boleh tau buku apa dan siapa penulisnya dari pengertian ibu bekerja itu sendiri ga? ditunggu jawabanya ya. terima kasih :)
BalasHapusThanks bro infoya, baca juga Contoh proposal dan Contoh proposal usaha
BalasHapusIsi artikelnya menarik, enak untuk di baca dan mudah untuk di pahami, setelah membaca tulisan ini, pengetahuan dan ilmu saya jadi bertambah, saya tunggu update artikel yang selanjutnya.
Thanks bro infoya, baca juga Tips On Choosing The Best Law Firm Mesothelioma
Cara mengobati ejakulasi dini menurut dr boyke
BalasHapusHajar jahanam mesir