2.1  Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh
a)    Pendidikan Ibu
Pendidikan merupakan alat di masyarakat untuk memperbaharui dirinya dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Pada hakekatnya pendidikan adalah usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup (Suharjo, 1999 dalam Puspitasari, 2006).
b)   Pengetahuan ibu
Pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi mempunyai hubungan erat dengan pendidikan. Anak dari ibu dengan latar belakang pendidikan yang tinggi akan memungkinkan mendapat kesempatan untuk hadir dan tumbuh dengan baik (Kardyati dkk,1987 dalam Puspitasari, 2006). Membesarkan anak yang sehat tidak cukup dengan naluri kasih sayang belaka, namun ibu perlu pengetahuan dan keterampilan yang baik. Peningkatan pengetahuan serta kemampuan dalam mengasuh anak merupakan hal yang sangat penting dan harus diusahakan oleh ibu dalam rangka membesarkan anak-anaknya (Nadesul, 1996 dalam Puspitasari, 2006). Pengetahuan tidak mutlak diperoleh melalui pendidikan formal, tetapi bisa juga dari informasi di media massa atau hasil dari pengalaman orang lain (Sobur, 1981 dalam Puspitasari, 2006).
c)    Aktivitas ibu
Kebutuhan wanita terhadap tugas dan di luar tugas sebagai ibu adalah berbeda-beda, ada beberapa wanita yang merasa bahagia dengan peran khususnya sebagai ibu rumah tangga. Bagi ibu tidak ada hal yang menyenangkan dari pada masa-masa kecil dan remaja yang penuh kebahagiaan kepada anak-anaknya (Sobur, 1991 dalam Puspitasari, 2006).
Banyak ibu yang berperan ganda selain sebagai ibu rumah tangga juga sebagai wanita karir, yang bertujuan untuk menciptakan keadaan ekonomi keluarga yang lebih mencukupi sehingga mengakibatkan timbulnya pengaruh terhadap hubungan dengan anggota keluarga terutama anaknya. Pada mulanya ibu bisa membagi waktu, namun lama kelamaan tugas dari pekerjaan semakin banyak sehingga ibu akan mengalami kesulitan untuk membagi waktu untuk anak-anaknya (Soeleman, 1994 dalam Puspitasari, 2006). Apabila seorang ibu mendapat pekerjaan, baik penuh atau paruh waktu, maka orang yang paling cocok untuk menggantikan tugasnya adalah orang yang mengetahui kebutuhan makan anaknya, mencintai dan harus sanggup dalam memelihara dan mengasuhnya. Ibu yang tidak bekerja dapat mengasuh anak-anaknya dengan baik dan mencurahkan semua kasih sayangnya, jenis-jenis makanan juga lebih diperhatikan sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kurang gizi pada anak (Lestari, 1996 dalam Puspitasari, 2006).
d)   Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi dalam pengasuhan anak dipengaruhi oleh gaya dan pengalaman yang dimiliki serta pengetahuan yang diterimanya. Status sosial ekonomi ibu dari bawah dan menengah cenderung lebih demokratis (Puspitasari, 2006).
2.2  Konsep Anak Mengenai Orang Tua
Pada umumnya, anak bersifat egosentris sehingga tidak mengherankan bahwa konsep mengenai “orang tua” didasarkan atas perlakuan orang tua terhadap mereka, terutama di bidang disiplin, pengasuhan dan rekreasi (Hurlock, 2007).
Menurut Hurlock (2007) konsep orang tua yang “baik” yaitu; a) melakukan berbagai hal untuk anak, b) anak dapat bergantung pada orang tua, c) bersikap cukup permisif dan luwes, d) adil dalam disiplin, e) menghargai individualitas anak, f) menciptakan suasana hangat bukan suasana penuh ketakutan, g) memberi contoh yang baik, h) menjadi kawan baik dan menemani anak dalam berbagai kegiatan, i) bersikap baik untuk sebagian besar waktu, j) menunjukkan kasih sayang terhadap anak, k) menaruh simpati bila anak merasa sedih atau mengalami kesulitan, l) mendorong anak untuk membawa kawannya ke rumah, m) berusaha membuat suasana rumah bahagia, n) memberikan kemandirian yang sesuai usia anak, o) tidak mengharapkan prestasi yang tidak masuk akal. Konsep orang tua yang “buruk” yaitu; a) menghukum secara kasar, b) sering dan tidak adil, c) menghalangi minat dan kegiatan anak, d) berusaha membentuk anak menurut suatu pola, e) memberikan contoh yang buruk, f) suka jengkel dan marah, g) menunjukkan sedikit kasih sayang terhadap anak, h) marah-marah bila anak tersebut membuat kesalahan yang tidak disengaja, i) menunjukkan sedikit perhatian terhadap anak atau kegiatan anak, j) melarang atau tidak mendorong teman sebaya untuk berkunjung, k) bersikap “jahat” terhadap teman anak, l) tidak mendorong atau melarang anak bermain dengan teman-temannya, m) berusaha “mengikat” anak, n) mempunyai harapan yang tidak realistik untuk anak, o) mengancam atau menyalahkan anak bila gagal, p) membuat suasana rumah tegang dan tidak menyenangkan bagi semua.
Anak-anak biasanya memandang “ibu” sebagai individu yang melakukan sesuatu baginya, individu yang memenuhi kebutuhan fisiknya, memberi kasih sayang dan perhatian, hampir selalu berbahagia dan riang gembira, mentolerir sebagian besar kenakalan anak dan membantu mereka bila ada kesulitan. Dalam persepsi anak, ibu memiliki kuasa lebih besar atas mereka dari ayah (Hurlock, 2007).

1.    Suku Jawa
3.1  Kebudayaan Suku Jawa
Salah satu budaya tradisional di Indonesia yang sudah cukup tua adalah budaya Jawa, dianut turun-temurun oleh penduduk di sepanjang wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun banyak orang Jawa menganggap bahwa budaya Jawa itu hanya satu dan tidak terbagi-bagi, akan tetapi dalam kenyataannya terdapat berbagai perbedaan sikap dan perilaku masyarakatnya di dalam memahami budaya Jawa. Perbedaan tersebut antara lain disebabkan kondisi geografis yang menjadikan budaya Jawa terbagi ke dalam beberapa wilayah kebudayaan (Sujamto, 1997: 26 dalam Gauthama et al, 2003). Setiap wilayah kebudayaan mempunyai karakteristik khas tersendiri dalam mengimplementasi falsafah-falsafah budaya Jawa ke dalam kehidupan sehari-hari.
Selain kondisi geografis, beragamnya karakteristik keseharian di dalam implementasi budaya Jawa juga disebabkan oleh masuknya pengaruh nilai-nilai agama maupun budaya lain. Sejarah menunjukkan bahwa pada awalnya budaya Jawa sangat dipengaruhi oleh agama Hindu. Salah satu contoh seni budaya Jawa yang dipengaruhi oleh agama Hindu yaitu pementasan wayang. Alur cerita wayang atau lakon sebagian besar berdasarkan wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Pada tahap berikutnya, ketika Islam masuk ke Pulau Jawa, nilai-nilai dalam agama Islam turut pula mewarnai budaya Jawa (Gauthama et al, 2003).
Budaya Jawa di daerah pesisir pantai utara Pulau Jawa (mulai dari Banyuwangi hingga Pekalongan) memiliki corak yang berbeda dengan budaya Jawa yang berasal dari daerah pedalaman (Surakarta atau Yogyakarta). Pada umumnya, budaya masyarakat di daerah pantai seringkali lebih terbuka, mudah menerima perubahan dan bersifat majemuk dibandingkan budaya masyarakat di daerah pedalaman (Gauthama et al, 2003).
Keanekaragaman budaya Jawa tampak pula pada berbagai dialek bahasa, jenis kesenian, makanan, dan upacara adat, meskipun jika ditinjau lebih jauh masih terdapat beberapa persamaan di antara unsur budaya masyarakat yang satu dengan lainnya, terutama yang berhubungan dengan kebudayaan sebagai suatu sistem budaya (Mattulada, 1993; 32 dalam Gauthama et al, 2003)
Beberapa ahli ilmu sosial membedakan keberagaman budaya Jawa bedasarkan wilayah kebudayaan (culture area), yaitu Nagarigung, Mancanagari, Banyumasan, dan Pesisiran. Kebudayaan Pesisiran kemudian dibagi lagi menjadi Pesisiran Kilen dan Pesisiran Wetan (Koentjaraningrat, 1998: 25- 28 dalam Gauthama et al, 2003). Selain keempat wilayah kebudayaan tadi, masih ada beberapa wilayah kebudayaan lainnya yang memiliki kekhasannya tersendiri, tetapi wilayah penyebarannya tidak terlalu luas, yaitu wilayah kebudayaan Ponorogo, Surabaya, Tengger, Osing, Dulangmas, dan Blambangan (Gauthama et al, 2003).
Dalam masyarakat Jawa, salah satu unsur sistem budaya yang tetap dipertahankan dan diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya adalah falsafah hidup. Falsafah hidup merupakan anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling umum yang dimiliki oleh individu atau sekelompok masyarakat. Falsafah hidup menjadi landasan dan memberi makna pada sikap hidup suatu masyarakat. Falsafah hidup biasanya tercermin dalam berbagai ungkapan yang dikenal dalam masyarakat. Secara pasti dapat dikatakan bahwa jarang sekali ditemukan orang Jawa yang tidak mengenal beberapa atau sebagian dari falsafah hidup mereka. Hanya saja, pengalaman hidup yang berbeda dan perubahan tahapan kehidupan telah mengakibatkan berlainannya pemahaman akan falsafah hidup tersebut (Hariyono dan Suseno, 1999 dalam Gauthama et al, 2003).


3.2 Falsafah Hidup Masyarakat Jawa
1.      Hakekat Hidup
Pandangan orang Jawa tentang hakekat hidup sangat dipengaruhi oleh pengalamannya di masa lalu dan konsep-konsep religius yang bernuansa mistis. Hakekat hidup ini terlihat pada berbagai falsafah hidup yang menunjukkan sikap pasrah kepada Yang Maha Kuasa. Falsafah hidup masyarakat Jawa sangat dipengaruhi oleh budaya, agama (Hindu dan Islam), dan pada batas-batas tertentu dipengaruhi pula oleh kondisi geografis wilayahnya (Gauthama et al, 2003).
Banyak falsafah Jawa yang berisi hakekat hidup dan hampir semua orang Jawa mengenai falsafah nrima ing pandum, yang artinya menerima apa-apa yang telah diberikan oleh Tuhan secara apa adanya. Dengan falsafah seperti ini, orang Jawa menganggap hidup harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Mereka harus menerima dengan ikhlas apa yang telah diperolehnya, sebab segala sesuatu telah diatur oleh Tuhan. Pada masyarakat Jawa tradisonal, terutama yang berpendidikan rendah (wong cilik), falsafah ini menimbulkan sikap yang cepat menyerah pada suatu keadaan yang sulit sehingga biasanya menerima keadaan tersebut sebagai nasib. Sedangkan pada masyarakat Jawa yang berpendidikan tinggi (priyayi), pengertian falsafah ini sudah berubah. Mereka mengartikan bahwa orang tidak lagi harus pasrah, melainkan harus lebih giat berusaha untuk mencapai keadaan yang lebih baik. (Gauthama et al, 2003).
Falsafah Nrima ing pandum selanjutnya diikuti oleh falsafah mawas diri. Orang Jawa harus senantiasa melakukan introspeksi terhadap diri sendiri sebagai pedoman dalam cara bertindak, apakah tindakan yang dilakukan seseorang sudah benar dan telah sesuai dengan norma-norma dan tata nilai yang berlaku atau belum. Sikap mawas diri, seseorang akan berusaha agar tindakannya secara moral dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan. Falsafah ini sering pula digunakan dalam hakekat hubungan manusia dengan sesamanya (Gauthama et al, 2003).
2.      Hakekat Kerja
Masyarakat Jawa kelas bawah yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan jarang memikirkan hakekat kerja dan usaha. Makna yang terkandung dari hakekat kerja adalah berikhtiar dan bekerja. Bekerja merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan hidup, karena itu di kalangan masyarakat Jawa kelas bawah dikenal falsafah ngupaya upa, yang artinya bekerja hanya untuk dapat makan (Hariyanto, 1994: 34 dalam Gauthama et al, 2003). Sebaliknya, pada masyarakat Jawa kelas menengah dan masyarakat Jawa kelas atas telah memiliki tujuan dari hakekat kerja, sehingga segala usaha yang dijalankannya selalu dihubungkan dengan hasil yang diharapkan. Falsafah yang banyak dipahami oleh masyarakat Jawa kelas menengah dan atas adalah jer basuki mawa beya. Artinya, bekerja merupakan segala sesuatu yang dicita-citakan dan harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh. Dengan falsafah ini, masyarakat Jawa kelas menengah dan masyarakat kelas atas sudah memahami bahwa untuk mewujudkan cita-cita diperlukan biaya (termasuk pengorbanan dalam bentuk uang) (Gauthama et al, 2003).
Falsafah lain yang sering dihubungkan dengan hakekat kerja adalah sepi ing pamrih rame ing gawe. Falsafah ini mengandung arti bahwa setiap orang mau menolong orang lain tanpa mengharap pujian dan imbalan materil (Gauthama et al, 2003).

3.      Hakekat Waktu
Banyak orang berpendapat bahwa budaya Jawa kurang menghargai hakekat waktu. Pendapat ini muncul akibat pemahaman yang salah terhadap falsafah alon-alon waton kelakon. Dalam masyarakat Jawa tradisional yang tergolong ke dalam kelas masyarakat bawah, falsafah tersebut sering diartikan bahwa bekerja tidak perlu terburu-buru, yang penting selesai. Melakukan sesuatu pekerjaan dengan perlahan-lahan memang sudah merupakan sifat orang Jawa. Selain itu, seringkali mereka menganggap bahwa segala sesuatu yang terjadi memang sudah ada waton-nya yakni ketentuan yang memang telah digariskan (Gauthama et al, 2003).
Pada masyarakat Jawa kelas menengah dan kelas atas, falsafah alon-alon waton kelakon diartikan secara positif ketika mengerjakan sesuatu, individu harus berhati-hati agar hasilnya baik. Dengan demikian, dari falsafah ini muncul pemahaman bahwa harus ada unsur ketelitian, kecermatan, dan tahapan rencana dalam melaksanakan suatu pekerjaan, agar tercapai hasil yang diinginkan (Gauthama et al, 2003).
Hakekat waktu pada masyarakat Jawa tradisional tercermin dalam kemampuan mereka menghitung waktu yang cocok untuk melaksanakan berbagai kegiatan, atau lebih dikenal dengan sebutan petungan. Di samping itu, hakekat waktu juga berhubungan dengan kemampuan meramalkan berbagai hal yang berkaitan dengan siklus kehidupan maupun watak seseorang, yang oleh masyarakat Jawa disebut pasaran. Penggunaan petungan dan pasaran bertalian dengan kepercayaan bahwa peristiwa masa lalu akan menentukan keberhasilan kegiatan masa mendatang. Dalam masyarakat Jawa yang sudah merasa menjadi masyarakat modern, penggunaan petungan dan pasaran diorientasikan untuk merencanakan atau meramalkan kebutuhan yang akan datang berdasarkan pengalaman masa lampau (Gauthama et al, 2003).
4.      Hakekat Hubungan Manusia dengan Sesamanya
Masyarakat Jawa menghendaki hidup yang selaras dan serasi dengan pola pergaulan yang saling menghormati. Hidup yang saling menghormati akan menumbuhkan kerukunan, baik di lingkungan rumah tangga maupun di luar rumah tangga (masyarakat). Dua prinsip yang paling menentukan dalam pola pergaulan masyarakat Jawa adalah rukun dan hormat. Dengan memegang teguh prinsip rukun dalam berhubungan dengan sesama, maka tidak akan terjadi konflik. Sedangkan prinsip hormat membuat seseorang akan berbicara dan membawa dirinya sesuai dengan derajat dan kedudukannya (Suseno, 1999: 38 dalam Gauthama et al, 2003).
Falsafah budaya Jawa yang menyinggung hakekat hubungan manusia dengan sesamanya antara lain adalah aja dumeh (jangan sok) dan tepa salira (tenggang rasa). Meskipun tampak sederhana, aja dumeh mengandung makna yang mendalam. Falsafah ini digunakan untuk memperingatkan seseorang agar jangan berperilaku aji mumpung, jangan berbuat sewenang-wenang sekehendak hati sehingga lupa diri, dan jangan memandang rendah orang lain agar hubungan baik dengan sesamanya tetap terjaga. Sedangkan tepa salira secara sederhana dapat diartikan sebagai perilaku seseorang yang mampu memahami perasaan orang lain. Dengan demikian, seseorang tidak akan bertindak sewenang-wenang jika ia menjadi pemimpin (Gauthama et al, 2003).


5.      Hakekat Hubungan Manusia dengan Alam Sekitarnya
Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya tidak terlepas dari pandangan hidup masyarakat Jawa yang mengharuskan manusia mengusahakan keselamatan dunia beserta segala isinya agar tetap terpelihara dan harmonis. Hakekat ini diimplementasikan antara lain melalui falsafah memayu hayuning bawana (Gauthama et al, 2003).
Pada masyarakat Jawa tradisional (umumnya kelas bawah), falsafah ini memberikan kewajiban pada manusia untuk memelihara dan melestarikan alam, karena alam telah memberikan kehidupan bagi manusia. Pada masyarakat modern (umumnya kelas menengah dan kelas atas), falsafah ini dikembangkan dengan pemahaman bahwa manusia harus dapat memelihara perdamaian dunia agar bebas dari rasa ketakutan, kemiskinan, kelaparan, kekurangan, dan peperangan. Falsafah tersebut juga mengajarkan manusia agar memiliki budi pekerti yang luhur, sehingga dunia menjadi aman dan tenteram (Gauthama et al, 2003).
Di samping memayu hayuning bawana, falsafah Jawa lainnya yang berkaitan dengan hakekat hubungan manusia dengan alamnya adalah gugontuhon. Falsafah ini mengandung makna bahwa untuk mencapai suatu tujuan, kita harus berhati-hati dan selalu memohon kepada Tuhan agar segala sesuatu yang dilakukan dapat tercapai tanpa aral melintang. Namun demikian, dalam praktiknya gugontuhon lebih banyak menggambarkan kepercayaan orang Jawa pada takhayul dan magis yang seringkali ditandai dengan pemikiran-pemikiran tidak logis (Gauthama et al, 2003).

0 komentar:

Posting Komentar