BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.  Pengaturan Hak-Hak Narapidana Penderita HIV/AIDS
Pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu. Perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem kepenjaraan tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan. Sistem pemasyarakatan tersebut merupakan rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem pembinaan yang sejak lebih dari tiga puluh tahun yang lalu dikenal dan dinamakan sistem pemasyarakatan.
Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai tatanan (stelsel) pemidanaan seperti pranata pidana bersyarat (Pasal 14a KUHP), pelepasan bersyarat (Pasal 15 KUHP), dan pranata khusus penuntutan serta penghukuman terhadap anak (Pasal 45, 46, dan 47 KUHP), namun pada dasarnya sifat pemidanaan masih bertolak dari asas dan sistem pemenjaraan, sistem pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan, sehingga institusi yang dipergunakan sebagai tempat pembinaan adalah rumah penjara bagi Narapidana dan rumah pendidikan negara bagi anak yang bersalah.
Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga "rumah penjara" secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar Narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka sejak tahun 1964 sistem pembinaan bagi Narapidana dan Anak Pidana telah berubah secara mendasar, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu pula institusinya yang semula disebut rumah penjara dan rumah pendidikan negara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G.8/506 tanggal 17 Juni 1964.
Sistem Pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan. Narapidana bukan saja obyek melainkan juga subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan Narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan Narapidana atau Anak Pidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai. Anak yang bersalah pembinaannya ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Penempatan anak yang bersalah ke dalam Lemabaga Pemasyarakatan Anak, dipisah-pisahkan sesuai dengan status mereka masing-masing yaitu Anak Pidana, Anak Negara, dan Anak Sipil. Perbedaan status anak tersebut menjadi dasar pembedaan pembinaan yang dilakukan terhadap mereka.
Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut di atas melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Sejalan dengan peran Lembaga Pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan ditetapkan sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum. Sistem Pemasyarakatan disamping bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Dalam sistem pemasyarakatan, Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, atau Klien Pemasyarakatan berhak mendapat pembinaan rohani dan jasmani serta dijamin hak-hak mereka untuk menjalankan ibadahnya, berhubungan dengan pihak luar baik keluarga maupun pihak lain, memperoleh informasi baik melalui media cetak maupun elektronik, memperoleh pendidikan yang layak dan lain sebagainya. Untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerja sama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya. Selanjutnya untuk menjamin terselenggaranya hak-hak tersebut, selain diadakan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan yang secara langsung melaksanakan pembinaan, diadakan pula Balai Pertimbangan Pemasyarakatan yang memberi saran dan pertimbangan kepada Menteri mengenai pelaksanaan sistem pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan yang memberi saran mengenai program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di setiap Unit Pelaksana Teknis dan berbagai sarana penunjang lainnya. Untuk menggantikan ketentuan-ketentuan lama dan peraturan perundang-undangan yang masih mendasarkan pada sistem kepenjaraan dan untuk mengatur hal-hal baru yang dinilai lebih sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka dibentuklah Undang-undang tentang Pemasyarakatan.
Lembaga Pemasyarakatan dijalankan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Pemasyarakatan yang berarti memasyarakatkan kembali terpidana sehingga menjadi warga yang baik dan berguna. Jadi sebagaimana yang telah diungkapkan di depan bahwa dalam prinsip-prinsip pemasyarakatan bukan hanya sebagai suatu tujuan pidana penjara, melainkan merupakan “Sistim Pembinaan Narapidana”.
Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan prinsip sistem pemasyarakatan sangat jauh berbeda dengan sistem sebelumnya yang menjurus kepada rehabilitasi dan dititik beratkan kepada treatment-focusnya terhadap individu yang bersangkutan.
Tatacara memasukkan seseorang terpidana ke dalam lembaga pemasyarakatan dan tata cara penempatan seorang terpidana di dalam lembaga pemasyarakatan diatur di dalam Gestichtenreglement, yakni ordonansi tanggal 10 Desember 1917, staatsblad tahun 1917 Nomor 708. Pasal 30 ayat (1) Gestichtenreglement melarang setiap kepala lembaga pemasyarakatan menerima orang untuk ditutup dalam lembaga pemasyarakatan yang ia pimpin, apabila tidak disertai dengan putusan hakim, suatu surat perintah atau suatu penetapan yang telah dikeluarkan oleh kekuasaan yang berwenang.[1]
Orang-orang terpidana yang dimasukkan kedalam LP untuk menjalankan pidana penjara atau kurungan yang telah dijatuhkan oleh pengadilan itu, menurut Gestichtenreglement tidak boleh dijadikan satu, melainkan harus dibagi dalam golongan-glongan sebagai berikut:
  1. Golongan terpidana kelas I, yaitu mereka: 1. Yang dijatuhi pidana penjara selama seumur hidup, atau  Yang dijatuhi pidana penjara sementara, tetapi yang sulit dapat dikuasai atau yang sifatnya berbahaya baik bagi para pegawai LP maupun bagi orang-orang terpidana lainnya. Mereka ini harus dipisahkan dari orang-orang tepidana yang lain, dan harus ditutup dalam sebuah penjara tersendiri di dalam LP dengan mendapat penjagaan yang kuat. Apabila dalam jangka waktu satu tahun orang-orang yang dijatuhi pidana penjara sementara itu menunjukann kelakukan mereka yang baik, maka mereka dapat dipindahkan ke dalam golongan terpidana kelas II.
  2. Golongan terpidana kelas II, yaitu mereka: 1. Yang dijatuhi pidana penjara selama lebih dari tiga bulan, apabila mereka itu dipandang tidak perlu dimasukkan ke dalam golongan terpidana kelas I, dan Yang dipindahkan ke dalam golongan terpidana kelas II dari golongan tepidana kelas I dan dari golongan terpidana kelas III.
  3. Golongan terpidana kelas III, yaitu mereka yang semula termasuk dalam golongan terpidana kelas II, yang karena selama enam bulan berturut-turut telah menunjukkan kelakuan mereka yang baik, sehingga perlu dipindahkan kedalam golongan kelas III. Apabila seorang terpidana yang termasuk dalam golongan terpidana kelas III ini ternyata telah berprilaku demikian rupa, sehingga ia telah dijatuhi suatu hukuman tata tertib berupa penutupan secara menyendiri atau eenzame opsluiting seperti dimaksud di dalam pasal 69 ayat (1) huruf b serta dengan huruf d Gestichtenreglement, maka ia dikembalikan dalam golongan terpidana kelas II.
  4. Golongan terpidana kelas IV, yaitu mereka yang dijatuhi pidana penjara selama kurang dari tiga bulan. Mereka ini tidak boleh ditempatkan di dalam satu bangunan yang sama dengan lain-lain terpidana yang telah disebutkan lebih dahulu.

Sedangkan menurut hasil wawancara di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan, narapidana yang ditahan ada beberapa golongan, antara lain: Hukuman Mati, Hukuman Sementara, B I, B Li a, B Li b, B III 5.
LAPAS dan BAPAS didirikan di setiap ibukota kabupaten atau kotamadya. Dalam hal dianggap perlu, di tingkat kecamatan atau kota administratif dapat didirikan Cabang LAPAS dan Cabang BAPAS.
Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak semuanya narapidana dalam kondisi sehat, bagi narapidana yang sakit harus mendapatkan pelayanaan kesehatan yang optimal maka dari itu menurut undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, kesehatan adalah tercapainya kesadaran, kemampuan dan kemauan hidup sehat setiap penduduk agar dapat mewujudkan hidup sehat yang optimal, berarti setiap orang tanpa memandang ras, agama, politik yang dianut, dan ekonomi, diberikan hak pelayanaan kesehatan demikian pula bagi narapidana yang sedang menjalani masa pidananya di Lapas.
Kesehatan narapidana/tahanan berhubungan erat dengan kesehatan dalam masyarakat. Tanpa intervensi kesehatan masyarakat yang tepat, Lapas/rutan dapat menjadi tempat yang potensial bagi penyebaran HIV. Walaupun demikian, dengan langkah-langkah yang tepat Lapas/Rutan juga dapat menawarkan peluang pencegahan yang baik. Sejalan dengan tujuan strategi kesehatan masyarakat, maka Lapas/Rutan pun mempunyai tujuan untuk mempromosikan, melindungi kesehatan, mengurangi tingkat penyakit dan kematian di antara narapidana/tahanan. Dengan adanya epidemi (penyebaran) ganda HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba yang terjadi dalam tahun-tahun belakangan ini, memunculkan tantangan baru dan penting bagi isu kesehatan masyarakat di Lapas/Rutan. Bukti-bukti yang ada dari negara-negara lain mengindikasikan bahwa tingkat infeksi HIV di kalangan narapidana/tahanan secara signifikan lebih tinggi dari pada yang ada dalam masyarakat.
Begitu juga keadaan narapidana yang dibina di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan, menurut hasil wawancara ada beberapa narapidana yang menderita penyakit HIV/AIDS yang tertular baik sebelum ditahan maupun sesudah ditahan Lapas tersebut.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan tidak ada satu pun Pasal yang mengatur langsung khusus penanganan narapidana yang menderita penyakit HIV/AIDS. Salah satu hak narapidana adalah memperoleh perawatan, jika ada narapidana yang menderita suatu penyakit yang membutuhkan perawatan khusus, pihak lapas wajib memberikan pelayanan kesehatan terhadap penyembuhan penyakit narapidana tersebut. Pasal 51 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan ayat (1) dan (2) menjelaskan bahwa:
1.    Wewenang, tugas, dan tanggung jawab perawatan tahanan ada pada Menteri.
2.    Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan wewenang, tugas, dan tanggung jawab perawatan tahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang perawatan kesehatan narapidana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam Pasal 14 dijelaskan bahwa setiap narapidana dan anak didik pemasyarakatan berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Pada setiap LAPAS disediakan poliklinik beserta fasilitasnya dan disediakan sekurang-kurangnya seorang dokter dan seorang tenaga kesehatan lainnya.
Pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter LAPAS. Dalam hal dokter sebagaimana dimaksud berhalangan, maka pelayanan kesehatan tertentu dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan lainnya. Pemeriksaan kesehatan dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan dan dicatat dalam kartu kesehatan. Dalam hal Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan ada keluhan mengenai kesehatannya, maka dokter atau tenaga kesehatan lainnya di LAPAS wajib melakukan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan “pelayanan kesehatan tertentu” adalah pelayanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan kewenangan dari tenaga kesehatan yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Apabila dari hasil pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud ditemukan adanya penyakit menular atau membahayakan, maka penderita tersebut dirawat secara khusus. Yang dimaksud dengan ”dirawat secara khusus” adalah menempatkan penderita di tempat tertentu atau di Rumah Sakit untuk mencegah terjadinya penularan. Ketentuan mengenai perawatan secara khusus sebagaimana dimaksud diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Dalam hal penderita memerlukan perawatan lebih lanjut, maka dokter LAPAS memberikan rekomendasi kepada Kepala LAPAS agar pelayanan kesehatan dilakukan di rumah sakit umum Pemerintah di luar LAPAS.  Pelayanan kesehatan bagi penderita di rumah sakit sebagaimana dimaksud harus mendapat izin tertulis dari Kepala LAPAS.
Penderita yang dibawa dan dirawat di rumah sakit wajib dikawal oleh Petugas LAPAS, dan bila diperlukan dapat meminta bantuan petugas kepolisian. Biaya perawatan kesehatan di rumah sakit bagi penderita dibebankan kepada negara. Dalam hal ada Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan yang sakit, maka Kepala LAPAS harus segera memberitahukan kepada keluarganya.
Beberapa narapidana/tahanan memang telah terinfeksi sebelum masuk Lapas/Rutan, tetapi sebagian terinfeksi pada waktu mereka berada dalam Lapas/Rutan. Perilaku yang membuat narapidana/tahanan rawan HIV telah umum terjadi, yaitu akibat perilaku berisiko yang meliputi praktik seksual tidak aman, penggunaan bersama peralatan suntik, tato, kekerasan lain termasuk perkosaan dan kekerasan berdarah umum. Meskipun angka penyalahgunaan narkoba suntik di Lapas/Rutan lebih kecil dari penyalahgunaan di masyarakat, tetap sangat berbahaya. Hal ini disebabkan karena adanya kelangkaan peralatan setiap kali menyuntik, dan jarum yang sama biasanya akan digunakan bersama dan bergantian. Hal tersebut sebagai faktor utama terjadinya kasus HIV baru di dalam Lapas/Rutan.
Hubungan seksual tidak aman di antara narapidana/tahanan adalah faktor penting lainnya dalam penularan HIV di antara narapidana/tahanan.[6] Hubungan seksual ini bisa dilakukan atas dasar suka sama suka, tetapi juga dapat terjadi karena adanya pemaksaan, yang di dalamnya terdapat unsur perkosaan. Risiko tertular HIV pun menjadi tinggi, mengingat tidak adanya penggunaan kondom dan terjadinya luka pada waktu terjadi pemaksaan. Tato dan bentuk penusukan lain pada kulit, umum terjadi dalam Lapas/Rutan dan juga menyebabkan adanya risiko penularan HIV karena langkanya peralatan steril. Terdapat pula risiko penularan HIV dari ibu pengidap HIV ke anak, apabila narapidana/tahanan hamil dan menyusui tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang selayaknya. Lapas/Rutan di Indonesia telah memainkan peranan yang cukup aktif dalam menghadapi HIV dan penyalahgunaan narkoba. Walaupun beberapa narapidana/tahanan telah berstatus HIV positif pada waktu mereka masuk ke dalam Lapas/ Rutan, terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa penularan juga terjadi di antara narapidana/tahanan.
Apabila orang yang akan dimasukkan kedaam Lapas itu adalah seorang wanita yang masih menyusui anaknya, maka apabila ia menghendaki anak tersebut dapat dibawa ke dalam Lapas, dengan ketentuan bahwa segera setelah anak tidak perlu lagi menyusu ibunya atau selambat-lambatnya dua tahun setelah  wanita tersebut dimasukkan ke dalam Lapas, maka anak harus dibawa keluar dari Lapas untuk diperlihara oleh ayahnya atau oleh sanak keluargnya.
Dengan tingginya resiko penyebaran HIV/AIDS di dalam Lapas/Rutan tentunya karena Lapas/Rutan terdapat faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya penyebaran dan penularan HIV/AIDS. Lapas/Rutan menempatkan orang dalam keadaan yang berisiko tinggi terhadap penularan penyakit karena:
1.    Tingkat hunian yang sesak, yang menyebabkan iklim kekerasan serta sanitasi yang buruk.
2.    Kontrol infeksi yang buruk: fasilitas kesehatan dan pengawasan infeksi sangat terbatas.
3.    Penggunaan narkoba melalui jarum suntik secara bersama.
Bila ada pengguna jarum suntik di masyarakat, maka kemungkinan juga akan ada penggunaan jarum suntik di dalam Lapas/Rutan. Pada keadaan yang sulit untuk memperoleh jarum suntik maka jarum suntik yang ada pun digunakan secara bergantian dan bersama-sama. Indikasi penggunaan jarum suntik di dalam Lapas/Rutan dapat didasarkan pada beberapa fakta, antara lain:
  1. Karena beberapa narapidana/tahanan yang mengalami kondisi ketagihan sehingga berusaha memasukkan narkoba kedalam Lapas/Rutan;
  2. Adanya indikasi keterlibatan petugas pada kasus masuknya narkoba ke dalam Lapas/Rutan;
  3. Diketemukannya peralatan suntik, sabu-sabu dan ganja di dalam Lapas/Rutan;
  4. Hasil tes urine terhadap narapidana/tahanan yang hasilnya positif menggunakan narkoba;
  5. Narapidana lebih cerdik walau secanggih alat yang dipergunakan oleh petugas mencegah masuknya narkoba;
  6. Penyuntikan yang tidak aman: peralatan menyuntik susah didapatkan dan menyebabkan narapidana menggunakan jarum suntik (atau peralatan buatan sendiri dari ujung bolpoin) secara bergantian tanpa membersihkannya terlebih dahulu;
  7. Perilaku seksual yang tidak aman dan pemerkosaan: hubungan seks di antara laki laki sangat umum, namun tidak tersedia kondom;
  8. Perilaku berisiko lain seperti tatto, tindik telinga/kulit, pemasangan pelor ke dalam penis, dan biasanya alat yang dipakai tidak steril dan digunakan bergantian, dan penggunaan alat cukur bergantian tanpa proses sterilisasi, karena fasilitas terbatas;
  9. Akibat perkelahian antar narapidana/tahanan.

Hubungan seksual antar narapidana/tahanan kerap kali menimbulkan Infeksi Menular Seksual (IMS), dulu disebut penyakit kelamin adalah penyakit yang salah satu penularannya melalui hubungan seksual. IMS terjadi di Lapas/Rutan, karena kemungkinan narapidana telah terinfeksi IMS sebelum masuk dan/atau melalui hubungan seks di dalam Lapas/Rutan. Hubungan seks di dalam Lapas/Rutan bisa terjadi atas dasar suka sama suka, terpaksa karena intimidasi, alasan perlindungan dan pemerkosaan.
Infeksi Menular Seksual terutama sifilis, meningkatkan risiko penularan HIV 1-9 kali lipat. Di samping itu, IMS juga merupakan beban penyakit tersendiri yang dapat menimbulkan komplikasi dan efek jangka panjang seperti kemandulan, penyempitan saluran kencing pada laki-laki, serta kehamilan di luar kandungan pada wanita. Sebagian besar IMS dapat disembuhkan. Dengan menyembuhkan IMS, risiko penularan HIV diturunkan 1-9 kali lipat. Infeksi ganda HIV dan IMS meningkatkan potensi masalah HIV maupun IMS.
Layanan kesehatan di Lapas/Rutan akan secara aktif mengidentifikasi IMS pada narapidana/tahanan pria maupun wanita, baik yang HIV positif maupun negatif Narapidana/tahanan dengan IMS akan diobati sesuai standard pengobatan. Narapidana/tahanan dengan IMS tidak akan diperlakukan secara diskriminatif. Lapas/Rutan juga akan menyediakan obat-obat esensial untuk pengobatan berbagai IMS, sesuai standard terapi, secara berkesinambungan atau bila perlu kerja sama dengan Dinkes dan RS setempat.
Mengingat riwayat kejahatan yang dilakukan para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan, kejahatan yang dilakukan adalah kasus pembunuhan dan narkotika.

B.  Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Penderita HIV/AIDS Di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan
Pertama kali yang diperiksa ketika tahanan memasuki lembaga pemasyarakatan yaitu Surat Vonis Pengadilan yang bersangkutan dengan penahanan narapidana, setelah itu dilanjutkan dengan pemeriksaan kesehatan, dan diphoto untuk keperuan data base
Penerimaan tahanan baru di Rumah Tahanan Negara (Rutan) dan Cabang Rumah Tahanan Negara (Cabrutan) harus didasarkan pada surat-surat yang sah. Penerimaan tahanan baru di Rutan/Cabrutan dilakukan oleh anggota regu jaga yang sedang bertugas di pintu gerbang. Sebelum anggota regu jaga yang bertugas menerima tahanan, lebih dahulu harus meneliti surat-surat yang melengkapinya dan mencocokkan dengan nama dan jumlah yang tercantum dalam surat tersebut.
Selanjutnya anggota regu jaga tersebut mengantar tahanan beserta surat-surat dan barang-barang bawaannya kepada kepala regu jaga. Kepala regu jaga mengadakan penelitian dan pemeriksaan ulang atas surat-surat dan barang bawaannya untuk dicocokkan dengan tahanan yang bersangkutan. Dalam melakukan penelitian, kepala regu jaga dapat melakukan penggeledahan dengan mengindahkan norma-norma kesopanan dan penggeledahan terhadap tahanan wanita harus dilakukan oleh petugas wanita. Jika dalam penggeledahan ditemukan barang terlarang/berbahaya, maka barang tersebut wajib diamankan dan diselesaikan sesuai ketentuan yang berlaku. Apabila penggeledahan selesai, kepala regu jaga memerintahkan petugas untuk mengantar tahanan baru beserta surat-surat dan barang-barang kepada petugas pendaftar.
Petugas pendaftaran meneliti kembali sah tidaknya surat perintah/penetapan penahanan dan mencocokkannya dengan tahanan yang bersangkutan. Mencatat hal-hal penting seperti tanggal dan nomor surat perintah/ penetapan penahanan dalam Buku Register A menurut golongan tahanan tersebut.
Meneliti kembali barang-barang yang dibawa tahanan dan mencatat dalam Buku Penitipan Barang-Barang (Register D) dan setelah itu barang-barang diberi label yang di atasnya ditulis antara lain pemiliknya dan sebagainya. Barang-barang perhiasan (berharga) yang mahal dicatat dalam Buku Register D dan kemudian barang-barang tersebut atau uang disimpan (dititipkan) di dalam lemari besi (brandkast). Mencatat identitas tahanan, mengambil sidik jari tahanan yang dicap pada surat perintah/penetapan penahanan dan kartu daktiloskopi serta mengambil foto tahanan. Pemeriksaan kesehatan tahanan kepada dokter atau petugas medis Rutan/Cabrutan. Setelah pemeriksaan kesehatan, petugas pendaftaran membuat Berita Acara Penerimaan tahanan yang ditandatangani bersama oleh Kepala Unit Pendaftaran atas nama Kepala Rutan/Cabrutan dan pengawalnya, kemudian mempersilakan pengawal tersebut meninggalkan Rutan/ Cabrutan. Kepada tahanan baru kemudian diberikan barang perlengkapan Rutan/Cabrutan.
Tahanan baru ditempatkan di blok pengenalan lingkungan dan wajib mengikuti kegiatan pengenalan lingkungan. Tahanan yang berpenyakit menular harus dikarantinakan dan dibuatkan catatan tentang penyakitnya, demikian juga terhadap tahanan yang berpenyakit lain dicatat dalam buku khusus untuk keperluan tersebut (Register G). Setiap tahanan perlu diwawancarai untuk kepentingan perawatannya di Rutan/Cabrutan. Dalam penempatan tahanan wajib memperhatikan penggolongan mereka, berdasarkan:
1.    Jenis kelamin.
2.    Umur.
3.    Tingkat pemeriksaan.
4.    Jenis perkara.
5.    Kewarganegaraan.
Untuk mengetahui data penghuni blok, pada bagian luar pintu sebelah kiri atau kanan setiap kamar ditempel papan untuk mencantumkan daftar yang berisi nama, nomor, daftar, umur, tingkat pemeriksaan, tanggal habis masa penahanan (expirasi tahanan) dan lain-lain yang dianggap perlu. Pengenalan lingkungan dilakukan oleh kepala blok yang akan memberikan atau mengadakan:
1.    Penjelasan tentang hak dan kewajiban tahanan.
2.    Pengenalan terhadap peraturan dan ketentuan yang berlaku.
Pembinaan merupakan suatu proses belajar dengan melepaskan hal-hal yang sudah dimiliki dan mempelajari hal-hal yang belum dimiliki, dengan tujuan membantu orang yang menjalaninya, untuk membetulkan dan mengembangkan pengetahuan dan kecakapan baru untuk mencapai tujuan hidup serta kerja yang sedang dialami secara lebih efektif.
Perbedaan antara pembinaan dan pendidikan, yaitu: Pembinaan menekankan pada pengembangan manusia dari segi praktis yaitu pengembangan sikap dan kecakapan. Sedangkan pendidikan menekankan pada pengembangan pengetahuan dan ilmu. Oleh karena itu, pembinaan memegang peranan yang cukup penting dalam pembentukan manusia yang seutuhnya. Selain dipenuhi hak-haknya, para narapidana juga harus menjalani proses pembinaan. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu. Sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman nomor: M.02-PK.04.10 tahun 1990, tentang pola pembinaan narapidana/tahanan, maka ruang lingkup pembinaan dapat dibagi dalam 2 bidang:
  1. Pembinaan kepribadiaan yang meliputi: (1) Pembinaan kesadaran beragama, (2) Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, (3) Pembinaan kemampuan intelektual,  (4) Pembinaan kesadaran hukum,  (5) Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat,
  2. Pembinaan kemandirian, yaitu Pembinaan kemandirian yang diberikan melalui program-program sebagai berikut: (1) Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri, misalnya kerajinan tangan, industri rumah tangga, refarasi mesin dan alat elektronik. (2) Ketrampilan untuk mendukung usaha industri kecil, misalnya pengelolaan bahan mentah dari hasil pertaniaan dan bahan alam menjadi barang setengah jadi. (3) Ketrampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-masing. (4) Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atas kegiatan pertanian.

Wujud pembinaan tersebut dilaksanakan di setiap lembaga pemasyarakatan di mana pengawasan dan penilaian terhadap narapidana yang menjalani pembinaan dilakukan oleh tim pengawas pemasyarakatan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor. M.02.PR.08.03 tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) dan Tim Pengawas Pemasyarakatan (TPP), tugas pokok TPP diatur dalam pasal 13, yaitu:
  1. Memberikan saran mengenai bentuk dan program pembinaan pengamanan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan.
  2. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan pengamanan dan pembimbingan.
  3. Menerima keluhan dan pengaduan warga binaan pemasyarakatan.

Fungsi dan tugas pembinaan pemasyarakatan terhadap warga binaan pemasyarakatan (narapidana, anak negara, klien pemasyarakatan dan tahanan) dilaksanakan secara terpadu dengan tujuan agar mereka setelah selesai menjalani pidananya, pembinaannya dan bimbingannya dapat menjadi warga masyarakat yang baik. Sebagai abdi negara dan abdi masyarakat wajib menghayati serta mengamalkan tugas-tugas pembinaan pemasyarakatan dengan penuh tanggung jawab. Untuk melaksanakan kegiatan pembinaan pemasyarakatan yang berdaya guna, tepat guna dan berhasil guna, petugas harus memiliki kemampuan profesional dan integritas moral.
Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan disesuaikan dengan asas-asas yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Standard Minimum Rules (SMR). Pada dasarnya arah pelavanan, pembinaan dan bimbingan yang perlu dilakukan oleh petugas ialah memperbaiki tingkah laku warga binaan pemasyarakatan agar tujuan pembinaan dapat dicapai.
Pelaksanaannya pembinaan narapidana di dalam lapas, dijalankan dalam  tahapan-tahapan. Sebagaimana dicantumkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.02-PK.04.10 tahun 1990, tentang pola pembinaan narapidana/tahanan, disebutkan bahwa:
  1. Setiap narapidana harus memulai tahap-tahap pembinaan yang telah ditentukan.
  2. Tahap-tahap pembinaan bagi narapidana ditentukan berdasarkan lamanya pidana/masa pembinaan yang bersangkutan.

Bagi narapidana yang sisa pidananya lebih dari 1 (satu) tahun, menjalani pidana dengan empat tahap:
  1. Tahap pertama: pembinaan awal yang didahului dengan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan (mapenaling), sejak diterima sampai sekurang-kurangnya 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya.
  2. Tahap kedua: pembinaan lanjutan di atas 1/3 sampai sekurang-kurangnya 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya.
  3. Tahap ketiga: pembinaan lanjutan di atas 1/2 sampai sekurang-kurangnya 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya.
  4.  Tahap keempat: Pembinaan lanjutan/bimbingan di atas 2/3 sampai selesai masa pidananya.

Sedangkan bagi narapidana yang sisa pidananya sampai dengan 1 satu tahun, ada tiga tahap:
  1. Tahap pertama, sejak diterima sampai sekurang-kurangnya 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya.
  2. Tahap kedua sejak 1/2 sampai sekurang-kurangnya 2/3 masa pidana yang sebenarnya.
  3. Tahap ketiga, sejak 2/3 sampai selesai masa pidananya.

Sedangkan proses pembinaan bagi narapidana yang dipidana mati atau seumur hidup tidak dilakukan pentahapan, kecuali setelah dirubah pidananya menjadi pidana sementara.
Ketentuan di atas tidak jauh berbeda dengan ketentuan yang Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, yakni:
1.    Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a bagi Narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai Narapidana sampai dengan 1/3 (satu per tiga) dari masa pidana.
2.    Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi:
  • tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan 1/2 (satu per dua) dari masa pidana; dan
  • tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana.

3.    Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari Narapidana yang bersangkutan.
Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud di atas antara lain sebagai berikut:
  • Masa pengamatan, pengenalan, dan penelitian lingkungan paling lama 1 (satu) bulan.
  • Perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian.
  • Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; dan
  • Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal.
  • Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud di atas meliputi beberapa program antara lain:
  • Perencanaan program pembinaan lanjutan.
  • Pelaksanaan program pembinaan lanjutan.
  • Penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan; dan
  • Perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi.
  • Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud di atas meliputi beberapa program antara lain:
  • Perencanaan program integrasi.
  • Pelaksanaan program integrasi; dan
  • Pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.

Pentahapan pembinaan sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat. Dalam hal terdapat Narapidana yang tidak dimungkinkan memperoleh kesempatan kesempatan asimilasi dan atau integrasi, maka Narapidana yang bersangkutan diberikan pembinaan khusus (maximum security).

0 komentar:

Posting Komentar