Sedangkan menurut hasil wawancara tahap-tahap pembinaan yang harus diberikan oleh setiap narapidana dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu:
1.    Tahap pertama (maximum security)
Pada tahap ini ditinjau dari segi pengamanan masih sangat ketat atau disebut maximum security. Tenggang waktu pada tahap ini dimulai sejak narapidana masuk lembaga pemasyarakatan sampai sepertiga masa pidana sebenarnya. Sedangkan yang dimaksud dengan masa pidana sebenarnya adalah masa pidana seluruhnya, dikurangi dengan masa penahanan dan jumlah remisi yang pernah diterimanya. Selama dalam tahap ini ada tenggang waktu yang disebut dengan masa admisi dan orientasi, yaitu terhitung sejak narapidana masuk paling lama empat belas hari. Maksud dari masa admisi dan orientasi ini adalah untuk penyelesaian administrasi, orientasi, baik orientasi bagi narapidana dengan lingkungannya di dalam lembaga pemasyarakatan, maupun orientasi bagi petugas pemasyarakatan terhadap narapidana yang bersangkutan. Pada tahap ini, sejauh mungkin dapat diketahui apa kelebihan dan kekurangan narapidana dan hal-hal lain yang berkaitan dengan dirinya. Data yang diperoleh selama masa admisi dan orientasi ini diperlukan untuk menyusun pembinaan yang paling tepat bagi dirinya.
Pada tahap ini, sedikit demi sedikit narapidana diberikan tugas dan tanggung jawab, dimulai dari tugas dan tanggung jawab terhadap dirinya sendiri serta lingkungan disekitarnya. Pemantauan tahapan perkembangan narapidana dilakukan oleh petugas pemasyarakatan yang ditunjuk sebagai wali. Selain memantau perkembangan narapidana selama masa pembinaan, wali juga bertugas memberikan bimbingan secara perorangan. Hal ini bertujuan agar setiap permasalahan yang timbul dapat secara dini termonitor dan dapat diupayakan penyelesaiannya.
Narapidana yang sudah menjelang berakhirnya masa sepertiga masa pidananya, melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP), dibahas kemungkinan-kemungkinan peningkatan pembinaannya, dengan mempertimbangkan masukan dari wali yang bersangkutan.
2.   Tahap kedua (medium security)
Ditinjau dari segi pengamanan, pada tahap ini bersifat medium security, atau dengan kata lain lebih longgar dibandingkan dengan pengamanan pada tahap pertama. Tenggang waktu pada tahap ini dimulai sejak sepertiga masa pidana sebenarnya sampai dengan setengah masa pidana sebenarnya. Hasil evaluasi pembinaan pada tahap pertama dijadikan dasar dalam meningkatkan program pembinaan dan pemberian tanggung jawab juga lebih besar dibandingkan dengan tahap pertama. Hasil pembinaan pada tahap ini kemudian dievaluasi bersama antara wali narapidana dengan TPP. Apabila hasil evaluasi pada tahap ini baik, maka program pembinaan bagi narapidana yang bersangkutan dapat ditingkatkan pada tahap ketiga. Apabila pembinaan pada tahap ini gagal, perlu dikaji kembali sebab-sebab kegagalan bersumber dari narapidana yang bersangkutan, maka program pembinaan tidak dapat dilanjutkan pada tahap ketiga.
3.    Tahap ketiga (minimum security)

Tenggang waktu pada tahap ini adalah antara setengah masa pidana yang sebenarnya hingga dua pertiga masa pidana sebenarnya. Pada tahap ini disebut pula tahap asimilasi karena pada tahap ini narapidana mulai dilibatkan dalam kehidupan masyarakat dengan pengawasan ringan atau minimum security.
Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan dalam kehidupan masyarakat, setelah menjalani setengah dari masa pidanannya. Bentuk pembinaan pada tahap asimilasi ini antara lain adalah berupa beribadah bersama masyarakat, kerja bakti bersama masyarakat, melanjutkan sekolah/kuliah, bekerja pada unit-unit keterampilan mandiri di luar lembaga pemasyarakatan dan sebagainya. Perkembangan pada tahap pembinaan ini secara terus menerus dimonitor oleh wali yang bersangkutan dan TPP. Apabila hasil evaluasi selama tahap pembinaan ini baik, maka program pembinaan ditingkatkan pada tahap keempat.
4.    Tahap keempat (integrasi)
Tahap ini disebut tahap integrasi yaitu pemilihan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan narapidana dan anak didik pemasyarakatan dan masyarakat, karena narapidana diterjunkan langsung dalam kehidupan masyarakatan tanpa pengawalan. Untuk dapat memasuki tahap ini narapidana telah menjalani dua pertiga masa pidana sebenarnya, atau sekurang-kurangnya telah menjalani masa pidana selama sembilan bulan.
Bimbingan pada narapidana pada tahap ini dilakukan oleh Balai pemasyarakatan, sedangkan pengawasannya dilakukan oleh Kejaksaan Negeri dimana narapidana berdomisili. Integrasi ini diberikan dalam bentuk:
a.    Pembebasan bersyarat
b.    Cuti menjelang bebas
Mendukung berjalannya proses pembinaan dengan baik maka juga dilakukan usaha pengamanan dan pengawasan terhadap warga binaan pemasyarakatan. Adapun tugas pokok keamanan dan ketertiban, sebagaimana di sebut dalam Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.02-PK.04.10 tahun 1990, tentang pola pembinaan narapidana/tahanan, antara lain:
  1. Kegiatan keamanan dan ketertiban berfungsi memantau dan menangkal/ mencegah sedini mungkin gangguan keamanan dan ketertiban yang timbul dari luar maupun dari dalam Lapas dan Rutan/Cabang Rutan.
  2. Kegiatan keamanan dan tata tertib tidak selalu berupa kegiatan fisik dengan senjata api atau senjata lainnya melainkan sikap dan perilaku petugas yang baik terhadap penghuni memberikan dampak keamanan dan ketertiban yang harmonis.
  3. Kegiatan keamanan dan ketertiban mencegah agar situasi kehidupan penghuni tidak mencekam yaitu agar tidak terjadi penindasan, pemerasan dan lain-lain perbuatan yang menimbulkan situasi kehidupan menjadi resah dan ketakutan. Menjaga agar tidak terjadi pelarian dari dalam maupun dari luar Lapas dan Rutan/Cabang rutan.
  4. Memelihara, mengawasi dan menjaga agar suasana kehidupan narapidana/tahanan (suasana bekerja, belajar, berlatih, makan, rekreasi, beribadah, tidur dan menerima kunjungan dan lain-lain) selalu tertib dan harmonis.
  5. Memelihara, mengawasi dan menjaga keutuhan barang inventaris Lapas dan Rutan/Cabrutan.
  6. Melakukan pengamanan terhadap gangguan kesusilaan.
  7. Melaksanakan administrasi (tata usaha) keamanan dan ketertiban.

Pembinaan narapidana yang menderita HIV/AIDS di lembaga pemasyarakatan dengan narapidana lain tidak ada perbedaan. Hanya ada penanganan khusus yang dilakukan oleh pihak lapas.
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) merupakan lembaga yang bertanggung jawab mengkoodinir dan mengintegrasikan semua kegiatan penanggulangan HIV/AIDS yang dilaksanakan oleh berbagai sektor.
Sebagai acuan pelaksanaan program adalah Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS Penyalahgunaan Narkoba di Lapas dan Rutan dengan menitikberatkan beberapa hal sebagai berikut:
  1. Bahwa Lapas/Rutan selain sebagai instansi yang melakukan pembinaan terhadap warga binaan masyarakat, juga harus mampu memberikan layanan kesehatan yang optimal bagi mereka yang membutuhkannya, termasuk narapidana dan tahanan yang terinfeksi HIV dan pengidap AIDS.
  2. Bahwa dalam rangka memberikan layanan klinis yang optimal bagi semua warga binaan pemasyarakatan harus sesuai dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia sebagaimana termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan berbagai kebijakan hak asasi manusia internasional dan nasional yang terkait dengan perlakuan terhadap narapidana tahanan.
  3. Bahwa dalam rangka memberikan layanan klinis yang optimal tersebut, Lapas/Rutan sebagai instansi pembinaan harus menyediakan dan memperluas akses program edukasi pencegahan HIV dan AIDS bagi seluruh warga binaan pemasyarakatan.
  4. Bahwa dalam rangka memberikan layanan klinis yang optimal, para petugas Lembaga Pemasyarakatan, baik medis dan non-medis, harus mampu memperkanalkan konseling dan pengujian HIV secara rinci dengan menggarisbawahi bahwa pengujian HIV dilakukan atas dasar sukarela kepada warga binaan pemasyarakatan dan dijamin kerahasiaannya.
  5. Bahwa pihak yang berwenang untuk memberikan rekomendasi atau inisiasi konseling dan pengujian HIV adalah dokter Lapas dan Rutan berdasarkan indikasi medis dari warga binaan pemasyarakatan.
  6. Bahwa berdasarkan unsur sukarela sebagaimana tersebut pada butir 3, warga binaan pemasyarakatan memiliki hak untuk menolak pelaksanaan pengujian HIV terhadapnya.
  7. Bahwa untuk mendukung dilaksanakannya layanan klinis yang optimal pada unit kesehatan Lapas/Rutan dengan menggarisbawahi ketetapan sebagaimana tersebut pada butir 3, maka konseling dan pengujian HIV akan ditawarkan secara rutin kepada setiap warga binaan pemasyarakatan satu bulan menjelang selesainya masa tahanan.
  8. Bahwa sesuai dengan nilai-nilai HAM, maka tidak akan ada diskriminasi terhadap warga binaan pemasyarakatan yang terbukti secara klinis mengidap HIV, baik dalam upaya pembinaan maupun penempatannya.
  9. Bahwa bagi warga binaan pemasyarakatan yang terbukti secacra klinis mengidad HIV akan didampingi oleh petugas manajemen klinis dalam mendampingi psikososial dan akan memperoleh akses pelayanan pengobatan dan perawatan seoptimal mungkin yang terdiri dari:
         -       Perawatan dan pengobatan akut, meliputi pengobatan Infeksi Opportunistik (IO) dan infeksi serta
         penyakit terkait HIV lainnya;
    -       Perawatan dan pengobatan kronis, termasuk ARV;-       Perawatan dan pengobatan paliatif, termasuk perawatan menjelang ajal.
  10. Bahwa dengan mendasarkan prinsip-prinsip HAM dan sebagai upaya pencegahan penularan HIV, warga binaan pemasyarakatan yang telah mengidap AIDS stadium 3 dan 4 dapat menjalani perawatan yang lebih intensif.
  11. Bahwa dalam rangka memberikan layanan klinis HIV yang optimal bagi warga binaan pemasyarakatan di Lapas dan Rutan, Tim Medis Lapas dan Rutan bekerja sama dengan dokter ahli dari rumah sakit umum daerah terdekat.
  12. Bahwa dalam rangka memberikan layanan klinis HIV yang optimal bagi warga binaan pemasyarakatan di Lapas dan Rutan tersebut, bagi kasus-kasus medis yang rumit dan kompleks Tim Medis Lapas dan Rutan dapat merujuk RSUD terdekat.

Bagi narapidana yang menderita penyakit HIV/AIDS perlu dilakukan perawatan yang berkesinambungan, yaitu pendekatan penanggulangan HIV dan AIDS berkesinambungan, terdiri dari ibu ke anak, konseling dan testing, perawatan, dukungan, dan pengobatan. Pendekatan ini bertujuan untuk merespon secara komprehensif kebutuhan layanan populasi maupun individu di tiap fase perjalanan penyakit dan juga untuk menyediakan layanan, serta mencegah penyebaran IMS dan HIV.
Selain upaya pencegahan, komponen perawatan yang berkesinambungan yang lain adalah konseling dan tes HIV, manajemen kasus HIV dan AIDS, perawatan dan pengobatan. Di dalam Lapas/Rutan tiap komponen dalam perawatan berkesinambungan ini dapat disediakan oleh Lapas/Rutan sendiri, atau melalui rujukan ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) di luar Lapas/Rutan.
Setelah tahanan mengikuti testing segera akan diketahui hasilnya. Untuk tahanan yang terinfeksi HIV perlu dilakukan pendampingan, dan hal ini akan dilakukan oleh manajer kasus dari Tim AIDS Lapas/Rutan. Pendampingan perlu dilakukan karena seseorang yang HIV positif tidak hanya membutuhkan perawatan dan pengobatan secara medis, melainkan juga membutuhkan dukungan psikologis, sosial, ekonomi, dan spiritual.
Petugas manajemen kasus berfungsi mendampingi dan memfasilitasi orang dengan HIV/AIDS mengakses layanan dan dukungan yang ia butuhkan. Di samping itu, petugas manajemen kasus juga memberikan dukungan psikologis dan sosial. Karena itu ia harus mempunyai daftar dan berjaring dengan berbagai penyedia layanan yang mungkin dibutuhkan oleh narapidana tersebut. Karenanya ia perlu berkoordinasi dengan dokter, perawat, petugas konseling, rohaniawan, dan staf pengamanan Lapas/Rutan agar kliennya dapat mengakses layanan dan dukungan yang ia butuhkan.
Menurut hasil wawancara bahwa narapidana yang terinfeksi HIV/AIDS, jika Tim Dokter Lapas tidak sanggup lagi akan merujuknya ke Rumah Sakit Bina Sakit di Kota Medan untuk menjalani pengobatan yang lebih intensif.
Untuk tahanan yang terinfeksi HIV dapat dilakukan perawatan dan pengobatan. Dengan ditemukannya ARV, maka kasus HIV dan AIDS bukanlah penyakit mematikan melainkan penyakit kronis. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian ARV dalam rangka pengobatan. Apabila status kekebalan tubuh mulai menurun, sebelum memakai ARV atau karena kegagalan ARV, timbul episode akut berupa infeksi oprtunistik. Dalam fase kronis maupun fase akut, dapat timbul gejala-gejala dan keluhan fisik yang mengganggu. Keterlambatan memakai ARV, atau kegagalan ARV dapat mengakibatkan kematian bagi penderitanya.
Menurut hasil wawancara bahwa narapidana yang menderita penyakit HIV/AIDS di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan langsung ditangani oleh dr. Naik Sinoraya, menurut beliau bahwa salah satu pengobatan yang dilakukan bagi narapidana yang menderita HIV/AIDS ialah dengan metode pemberian terapi antiretroviral (ARV) berarti mengobati infeksi HIV dengan beberapa obat. Karena HIV adalah retrovirus, obat ini biasa disebut sebagai obat antiretroviral (ARV). ARV tidak membunuh virus itu. Namun, ARV dapat melambatkan pertumbuhan virus. Waktu pertumbuhan virus dilambatkan, begitu juga penyakit HIV.
Memperhatikan perjalanan penyakit HIV dan AIDS tersebut di atas, jenis perawatan dan pengobatan yang perlu disediakan untuk penderita HIV/AIDS, yang disepakati secara internasional WHO, terdiri dari Perawatan Kronis, Perawatan Akut, dan Perawatan Paliatif.
Perawatan kronis meliputi antara lain: pengobatan dengan ARV (Anti Retro Viral), dukungan untuk adherence ARV, profilaksis (pencegahan) beberapa penyakit infeksi, manajemen klinis masalah kronis (diare, vegetasi jamur, dan demam yang kumat-kumatan, serta penurunan berat badan), serta pencegahan penularan HIV.
Perawatan akut meliputi diagnosis, pengobatan serta pencegahan berbagai macam infeksi oportunistik dan berbagai penyakit terkait HIV, misalnya radang paru, infeksi saluran pencernaan, infeksi otak, kemunduran fungsi otak, IMS dan sebagainya.
Perawatan paliatif merupakan perawatan dan pengobatan gejala dan keluhan yang timbul pada fase akut, kronis, dan menjelang ajal, terdiri dari antara lain mengatasi nyeri, penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan, gangguan buang air, gangguan psikologis, gangguan tidur, masalah kulit, luka akibat terlalu lama berbaring, demam, batuk, perawatan dan dukungan menjelang ajal, dan lain-lain.
Dari hasil pembinaan dan pengobatan yang dilakukan khususnya narapidana yang menderita penyakit HIV/AIDS sudah menunjukkan kemajuan, kesehatan beberapa narapidana tersebut sudah membaik dan bisa menjalankan aktivitasnya sesuai dengan pola pembinaan Lapas yang ada.


A.  Hak Narapidana Penderita HIV/AIDS Di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan
Hak adalah segala sesuatu yang harus didapatkan oleh setiap orang yang telah ada sejak lahir bahkan belum lahir. Yaitu segala sesuatu yang harus didapatkan seorang narapidana ketika ia berada dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS).
Lahirnya hak-hak narapidana terinspirasi dari HAM itu sendiri. Jadi dapat dikatakan bahwa hak-hak narapidana, yang secara tegas diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, serta diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, merupakan bagian penting yang tak terpisakan, ketika kita berbicara mengenai dimensi manusia.
HAM menjadi bahasan penting setelah Perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1945. Semula HAM berada di negara-negara maju. Sesuai dengan perkembangan kemajuan transportasi dan komunikasi secara meluas, maka negara berkembang seperti Indonesia, mau tidak mau sebagai anggota PBB, harus menerimanya untuk melakukan ratifikasi instrumen HAM internasional sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kebudayaan bangsa Indonesia. Membicarakan HAM berarti membicarakan dimensi kehidupan manusia. HAM  ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan kebaikan dari Negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Pengakuan atas eksistensi manusia menandakan bahwa manusia sebagai makluk hidup adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT patut memperoleh apresiasi yang positif.
Manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia. Untuk itu maka oleh Penciptanya manusia dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya. HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antar manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Jadi konsep HAM di Indonesia bukan saja terhadap hak-hak mendasar manusia, tetapi ada kewajiban dasar manusia sebagai warga Negara untuk mematuhi peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, menghormati HAM orang lain, moral, etika, patuh pada hukum internasional mengenai HAM yang diterima bangsa Indonesia, juga wajib membela terhadap Negara. Sedangkan kewajiban pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM yang telah diatur berdasarkan peraturan perundangan dan hukum internasional HAM yang diterima oleh Indonesia, begitu juga dengan HAM para narapidana yang berada dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Tiap narapidana yang menjalani hukumannya harus diperlakukan layaknya manusia. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia tersesat, tidak boleh selalu ditunjukkan bahwa ia itu penjahat, sebaliknya ia harus selalu dibuat merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia. Selayaknya manusia maka narapidana pun harus diperhatikan dan dipenuhi hak-haknya. Yang pertama-tama harus dipenuhi tentunya Hak Asasi Manusia sebagaimana dijabarkan dalam Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian juga harus dipenuhi hak-haknya selama menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tatacara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan tertanggal 19 Mei 1999 dijelaskan mengenai hak narapidana, yaitu:
1.    Ibadah
Setiap narapidana berhak untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Ibadah tersebut dilaksanakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan atau di luar Lembaga Pemasyarakatan, sesuai dengan program pembinaan.
2.    Perawatan Rohani dan Perawatan Jasmani
Setiap narapidana berhak mendapat perawatan rohani dan jasmani. Perawatan rohani tersebut diberikan melalui bimbingan rohani dan pendidikan budi pekerti dan perawatan jasmani berupa: pemberian kesempatan melakukan olah raga, pemberian perlengkapan pakaian, dan pemberian perlengkapan tidur dan mandi.
3.    Pendidikan dan Pengajaran
Setiap Lembaga Pemasyarakatan wajib melaksanakan kegiatan pendidikan dan pengajaran bagi narapidana. Pendidikan dan pengajaran tersebut dilaksanakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Apabila narapidana membutuhkan pendidikan dan pengajaran lebih lanjut yang tidak tersedia di dalam Lembaga Pemasyarakatan, maka dapat dilaksanakan di luar Lembaga Pemasyarakatan.
4.    Pelayanan Kesehatan dan Makanan
Setiap narapidana berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Pada setiap Lembaga Pemasyarakatan disediakan poliklinik beserta fasilitasnya dan disediakan sekurang-kurangnya seorang dokter dan seorang tenaga kesehatan lainnya. Dan setiap narapidana juga berhak mendapatkan makanan dan minuman dengan jumlah kalori yang memenuhi syarat kesehatan.
5.    Keluhan
Setiap narapidana berhak menyampaikan keluhan kepada kepala Lembaga Pemasyarakatan atas perlakuan petugas atau sesama penghuni terhadap dirinya.
6.    Bahan Bacaan dan Siaran Media Massa
Setiap Lembaga Pemasyarakatan menyediakan bahan bacaan, media massa yang berupa media cetak dan media elektronik. Bahan bacaan dan media massa tersebut harus menunjang program pembinaan kepribadian dan kemandirian narapidana, dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7.    Upah dan Premi
Upah adalah imbalan jasa yang diberikan kepada narapidana yang bekerja menghasilkan barang dan jasa untuk memperoleh keuntungan, sedangkan premi adalah imbalan jasa yang diberikan kepada narapidana yang mengikuti latihan kerja sambil berproduksi.
8.    Kunjungan
Setiap narapidana berhak menerima kunjungan dari keluarga, penasehat hukum atau orang-orang tertentu lainnya. Kunjungan tersebut dicatat dalam buku daftar kunjungan. Dan setiap Lembaga Pemasyarakatan wajib menyediakan sekurang-kurangnya 1 (satu) ruang khusus untuk menerima kunjungan.
9.    Remisi
Setiap narapidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik berhak mendapatkan remisi. Pada tahun 1950 berdasarkan Kepres No. 156 Tahun 1950 remisi diberikan setiap ulang tahun Republik Indonesia, sebab pada setiap ulang tahun RI banyak yang mendapatkan remisi. Sekarang Kepres No. 156 Tahun 1950 tidak berlaku lagi diganti dengan Kepres No. 174 Tahun 1999.
Dalam pasal 1 ditentukan Narapidana yang berhak mendapat remisi:
a.    Pasal 1 Ayat (1), Setiap narapidana dan anak pidana yang menjalani pidana penjara sementara dan pidana kurungan dapat diberikan remisi apabila yang bersangkutan berkelakuan baik selama menjalani pidana.
b.    Pasal 2 Ayat (2), Remisi diberikan oleh Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI.
c.    Pasal 1 Ayat (3), Remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan.
Setiap Narapidana dapat diberikan cuti berupa: Cuti mengunjungi keluarga yaitu Narapidana kesempatan berkumpul bersama di tempat kediaman  keluarganya selama jangka waktu 2 (dua) hari atau 2 X 24 jam diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.03-PK.04.02 Tahun 1991. Adapun yang dimaksud keluarga disisni adalah sedarah sampai derajat kedua baik melalui jalur hubungan horizontal dan vertikal maupun hubungan yuridis yaitu:
  1. Isteri/suami
  2. Anak kandung/angkat/tiri
  3. Orang tua kandung/angkat/tiri/mertua
  4. Saudara kandung/angkat/tiri/ipar
  5. Keluarga dekat lainnya sampai dengan derajat kedua.

Dengan dikeluarkannya Surat Direktur Jenderal Pemasyarakatan tanggal 29 Nopember 1993 Nomor: E.PK.04.03-54 perihal Cuti mengunjungi keluarga, maka program ini dilanjutkan di Lembaga Pemasyarakatan lain yang berkedudukan di setiap Ibukota Propinsi dan Lembaga Pemasyarakatan Wanita. Dikatakan dalam Surat Direktur Jenderal Pemasyarakatan ini, bahwa pelaksanaan Cuti Mengunjungi Keluarga bagi narapidana yang diselenggarakan selama ini dinilai positif dan tidak ada diantara mereka yang melarikan diri, oleh karena itulah Menteri Kehakiman RI menetapkan perlunya dilanjutkan program tersebut. Ditekankan juga bahwa yang dapat diberikan Cuti Mengunjungi Keluarga ini ialah narapidana yang benar-benar akan mampu memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Keputusan Menteri Kehakiman dan diyakini juga bahwa narapidana yang bersangkutan benar-benar akan mampu kembali ke Lembaga Pemasyarakatan sesudah menjalani masa cutinya. Narapidana yang dapat diberikan Cuti mengunjungi keluarga ialah mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Masa pidananya 3 tahun/lebih
  2. Tidak terlibat perkara lain yang dijelaskan dalam surat keterangan dari pihak Kejaksaan Negeri Setempat
  3. Telah menjalani 1/2 dari masa pidananya
  4. Berkelakuan baik dan tidak pernah melakukan pelanggaran tata tertib serta setiap tahun mendapat remisi
  5. Adanya permintaan dari salah seorang keluarganya yang harus diketahui oleh Ketua RT dan Lurah/Kepala Desa setempat
  6. Adanya jaminan keamanan termasuk jaminan tidak ada melarikan diri yang diberikan oleh keluarga narapidana yang bersangkutan, dengan diketahui oleh Ketua RT dan Lurah/Kepala desa setempat dan bakorstanasda setempat, khusus bagi narapidana subversi
  7. Telah layak menurut pertimbangan TPP Lapas berdasarkan Laporan Penelitian dari Balai BISPA tentang pihak keluarga yang akan menerima narapidana, keadaan lingkungan masyarakat sekitarnya dan pihak-pihak lain yang ada hubungannya dengan narapidana yang bersangkutan.

Namun ada juga narapidana yang tidak diperbolehkan mendapatkan Cuti Mengunjungi keluarga tentunya karena alasan-alasan tertentu yang telah dipertimbangkan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana yang dimaksudkan yaitu:
  1. Narapidana yang terancam jiwanya
  2. Narapidana yang diperkirakan akan mengulangi tindak pidana apabila diberi ijin cuti mengunjungi keluarga
  3. Narapidana residivis
  4. Narapidana Warga Negara Asing (WNA) bukan penduduk Indonesia, atau
  5. Narapidana yang melanggar tata tertib keamanan dalam Lapas.

Waktu pemberian Cuti Mengunjungi Keluarga kepada narapidana tidak hanya sekali dalam 1 tahun, tetapi dapat diberikan beberapa kali sesuai dengan jumlah masa pidana dari narapidana yang bersangkutan.
Selain hak-hak di atas yang penting juga ialah hak-hak narapidana/tahanan atas pelayanan kesehatan dan perawatan. Narapidana/tahanan harus mendapatkan pelayanan kesehatan dan perawatan yang memadai. Dengan demikian seharusnya sebuah lembaga pemasyarakatan atau Rutan dilengkapi dengan sarana dan prasarana kesehatan yang baik. Serta harus disediakan tenaga dokter dan kesehatan yang memadai sebanding dengan jumlah warga binaan. Hak-hak atas pelayanan kesehatan dan perawatan sebagaimana dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan antara lain:
  1. Setiap tahanan berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak.
  2. Pada setiap Rutan/cabang Rutan atau Lapas/cabang Lapas disediakan poliklinik beserta fasilitasnya dan ditempatkan sekurang-kurangnya seorang dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
  3. Dalam hal Rutan/cabang Rutan atau Lapas/cabang Lapas belum ada tenaga dokter atau tenaga kesehatan lainnya, maka pelayanan kesehatan dapat diminta bantuan kepada rumah sakit atau Puskesmas terdekat.

Untuk menjamin pemenuhan hak atas kesehatan itu bila dianggap perlu maka Lapas/ rutan dapat melakukan kerja sama dengan pihak luar. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 9 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 1999 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, kerja sama di bidang kesehatan dimungkinkan untuk dilakukan. Hal ini tentunya setelah memenuhi syarat-syarat dan ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pemenuhan hak-hak diatas masih banyak yang hanya sebatas pengakuan saja dalam perundang-undangan namun implementasianya masih jauh dari realita. Lembaga Pemasyarakatan sebagai unit pelaksanaan teknis dituntut untuk dapat merealisasi hak-hak narapidana tersebut.
Mengingat pelayanaan kesehatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan merupakan hal yang utama bagi perlakuan narapidana yang secara manusiawi dimana dalam pelaksanaannya banyak sekali kendala-kendala yang sampai sekarang belum terpenuhi, Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat atau rumah bagi narapidana untuk menjalankan masa pidananya di rumah/Lembaga Pemasyarakatan harus dalam kondisi sehat.
Lembaga Pemasyarakatan/Rutan klas I Tanjung Gusta di bawah naungan Direktorat Jendral Pemasyarakatan tergolong lembaga yang besar di mana penghuninya banyak yang hukumannya lama bahkan beberapa orang terkena hukuman seumur hidup atau hukuman mati, banyak sekali narapidana dengan kasus narkoba dan kasus lainnya, yang terkadang narapidana yang sudah menderita berbagai macam penyakit.[8] Seiring dengan meningkatnya isi penghuni di dalam Lapas/Rutan klas I Tanjung Gusta yang menjadi hal terpenting adalah pemenuhan pelayanan kesehatan terhadap narapidana itu sendiri, yaitu:
1.    Pada setiap Lembaga harus tersedia pelayanan dari paling sedikit seorang tenaga kesehatan yang berkualitas dan harus mempunyai ilmu pengetahuan tentang penyakit jiwa sekedarnya. Pelayanan tersebut harus diselenggarakan dalam hubungan yang erat dengan penyelanggara kesehatan umum masyarakat dan bangsanya. Pelayanan tersebut harus meliputi pelayanan kesehatan jiwa bagi diagnosa dan dalam kasus yang tepat, penyembuhan dari keadaan mental yang abnormal.
2.    Orang-orang yang dipenjarakan yang sakit umum. Jika pada suatu lembaga tersedia fasilitas rumah sakit, peralatan, perlengkapan dan persediaan obat-obatannya harus mencakupi untuk merawat dan mengobati orang-orang yang dipenjarakan yang sakit, serta ada petugas-petugas yang terdidik dan sesuai untuk itu.
3.    Pelayanan dari seorang petugas kesehatan gigi yang berkualitas dan harus tersedia untuk setiap orang-orang yang dipenjarakan. Petugas kesehatan harus memeriksa setiap orang dipenjarakan segera mungkin setelah diterima dipenjara dan sesudah itu kalau perlu, dengan maksud utama mengetahui ada tidaknya penyakit jasmani atau jiwa dan mengambil setiap tindakan yang perlu, memisahkan orang-orang yang dipenjarakan yang dicurigai mengidap penyakit infeksi dan menular; memperhatikan cacat jasmani atau jiwa yang mungkin merintangi pemulihan, dan menetapkan kemampuaan setiap orang yang dipenjarakan untuk bekerja.
4.    Petugas kesehatan harus menjaga kesehatan jasmani dan jiwa dari orang-orang yang dipenjarakan dan harus mengunjungi semua orang dipenjarakan yang sakit, semua yang mengeluh sakit, dan setiap orang yang dipenjarakan yang memerlukan perhatian khusus darinya.
5.    Petugas kesehatan harus melaporkan kepada direktur penjara bilamana dia
berpendapat bahwa kesehatan jasmani dan jiwa seseorang yang di penjarakan telah atau akan terganggu sebagai akibat dari pemenjaraan yang  berlanjut atau sesuatu keadaan dalam Penjara
.
Pemenuhan pelayanan kesehatan ini tidak hanya menyangkut penciptaan lingkungan yang baik, perlakukan yang sama, tapi termasuk pula pembinaan pelayanan kesehatan secara manusiawi yang diarahkan pada tingkatan harkat dan martabat, sehingga diharapkan dapat mengembangkan suatu masyarakat yang berkepribadian, yang saling menghormati.
Pelayanan kesehatan yang di berikan di lembaga pemasyarakatan merupakan salah satu pemberian Hak Azasi Manusia dari Negara kepada warganya. Pelayanan kesehatan merupakan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative dibidang kesehatan bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, untuk terwujudnya Pelayanan kesehatan yang baik bagi narapidana tidak terlepas dari tersediannya sarana dan prasarana kesehatan.
Narapidana yang berpenyakit menular dikarantina dan dibuatkan catatan tentang penyakitnya, demikian narapidana wanita yang berpenyakit lain dicatat dalam buku khusus untuk keperluan tersebut.[9]
Perawatan warga binaan pemasyarakatan berfungsi untuk menjaga agar mereka selalu dalam keadaan sehat jasmaniah maupun rohaniah. Oleh karena itu selalu diusahakan agar mereka tetap memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasar yang cukup, misalnya makanan, air bersih untuk minum, mandi, wudhu dan sebagainya.
Tahanan memakai pakaian sendiri dalam batas yang tidak berlebihan dan tidak mengganggu keamanan serta menunjukkan kepatutan dan kesopanan. Bagi tahanan yang tidak mempunyai pakaian, diberikan pakaian yang layak dari Rutan/Cabrutan. Setiap tahanan diberikan perlengkapan rnakanan, minum, ibadah dan tidur yang layak. Setiap tahanan berhak mendapat jatah makan dan minum sesuai ketentuan yang berlaku. Jumlah kalori makanan diatur sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan memenuhi syarat kesehatan.
Tahanan yang sakit, hamil, menyusui dan tahanan anak-anak dapat diberikan makanan tambahan sesuai dengan petunjuk dokter. Untuk menyimpan makanan dan pemeliharaan peralatannya, dilaksanakan oleh petugas perawatan dengan memperhatikan syarat kebersihan dan kesehatan.
Pemasukan bahan makanan untuk penghuni Rutan/Cabrutan harus tertib dan aman sampai di dapur dan sebelum diterima secara resmi, lebih dahulu dicocokkan jumlah, jenis dan mutunya. Di dapur dan di ruang makan digantungkan daftar mingguan tentang menu makanan yang mudah dibaca. Pemberian makanan kepada tahanan dilakukan di tempat yang khusus digunakan untuk ruang makan.
Tahanan dapat menerima kiriman makanan dan minuman dari keluarganya, handai taulan dan pihak-pihak lain. Pemasukan bahan makan baik jumlah, jenis maupun mutunya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan dibuatkan Berita Acara Penerimaan.
Harus menyediakan contoh makan pagi, siang dan sore, sesuai menu, di Ruang Karutan, untuk diteliti apakah sesuai dengan daftar menu setiap hari sesuai jadwal. Perlengkapan makanan dan minuman diberikan, tetapi pemakaian perlengkapan makanan dan minuman yang dapat membahayakan keamanan/ketertiban dilarang. Tahanan yang berpuasa diberikan makanan dan minuman tambahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Bagi narapidana yang menderita HIV/AIDS berhak untuk menolak tes HIV yang dilakukan oleh Tim Medis Lapas jika narapidana tersebut tidak menginginkannya. Hasil dari tes tersebut harus dirahasiakan jika narapidana yang diperiksa positif menderita HIV/AIDS.

1 komentar:

  1. Pembinaan adalah hal yang perlu dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan, terus diupdate berita, salam kenal dari kami Lapas Sarolangun

    BalasHapus