BAB
II
TINJAUN
PUSTAKA
2.1.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
2.1.1
Definisi
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Infeksi saluran pernapasan
akut atau Pnemonia ialah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam
etiologi seperti bakteri, virus, jamur, dan benda asing.
Mekanisme daya tahan raktus respiratorius
bagian bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi dan terdiri dari :
- Susunan snatomid rongga hidung
- Jaringan limfoid di naso-oso-faring
- Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret liat yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
- Refleks batuk
- Refleks efiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
- Drainase sistem limfatik dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
- Fagositosis, aksi enzimatik dan respon immuno-humoral terutama dari immunoglobin A (IgA). Anak yang daya tahan tubuhnya terganggu akan lebih muda menderita pnumonia berulang atau tidak mampu mengatasi penyakit ini dengan sempurna. Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya pnumonia dikarenakan daya tahan badan yang menurun, misalnya akibat malnutrisi energi protein (MEP), penyakit menahun, faktor iatrogen seperti trauma pada paru, anestesis, aspirasi, pengobatan dengan antibiotika yang tidak sempurna.
2.1.2 Etiologi dan Epidemiologi Infeksi Saluran
Pernapasan Akut
Infeksi saluran pernafasan yaitu infeksi yang mungkin didapat secara
transplasenta, perinatal, atau pascalahir. Bila ditularkan secara
transplasenta, infeksi paru-paru
biasanya mewakili satu komponen dari suatu proses kongenital yang lebih umum.
Misalnya, infeksi kongenital yang disebabkan oleh sitomegalovirus (CMV). Virus
rubela, dan treponema pallidium dapat dikaitkan dengan pneumonitis, meskipun
manifestasi lain seperti, proses
kongenital prematurias, retardasi
pertumbuhan intrauterin, ukuran kepala abnormal, atau vesiromegali juga akan
nyata tidak berubah.
Infeksi paru yang didapat saat
perinatal yaitu
akibat dari aspirasi cairan amnion atau sekresi saluran cerna atau
genitourinaria ibu yang terinfeksi saat kelahiran. Mikroorganisme yang
ditularkan dengan cara ini meliputi, steptokokus grup B (SGB), kuman aerob enterik gram-negatif, Listeria monocytogenes, mycoplasma genitalia, chlamdya trachomatis, dan virus termasuk CMV serta virus herves simpleks. Faktor-faktor yang
dikaitkan dengan suatu penungkatan resiko penularan pnumonia perinatal meliputi prematuritas,
robekan membran yang lama, korioamniotis, dan distres janin.
Pneumokokus merupakan penyebab
utama pnumonia. Pnumococus dengan serotipe 1 sampai dengan 8 menyebabkan
pnumonia pada orang dewasa lebih dari 80%, sedangkan pada anak di temukan tipe
14, 1, 6, dan 9.
Angka
kejadian tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun, dan mengurang dan
meningkatnya umur. Pnumonia lobaris hampir selalu disebabkan oleh pnumococus yang ditemukan pada orang dewasa
dan anak besar. Sedangkan bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil
dan bayi.
2.1.3
Klasifikasi ISPA
Berdasarkan klasifikasi ISPA dapat dibedakan
menjadi 4 bagian yaitu:
1.
Pneumonia kongenital
Infeksi
terjadi intauterin karena inhalasi likour amnion yang septik. Gejala pada waktu
lahir sangat menyerupai asfiksia neonatorum, penyakit membran hialin atau perdarahan
intrakranial. Kelainan ini sulit untuk
didiagnosis dengan tepat. Penting sekali mengetahui peristiwa yang terjadi pada
saat kehamilan dan kelahiran apnu neonatal atau gejala seperti penyakit membran
hialin. Didiagnosis
di tegakkan setelah pemeriksaan radiologi thoraks.
Pneumonia
kongenital harus dicuriga bila terdapat ketuban pecah lama, air ketuban keruh
berbau dan bila terdapat kesulitan pernafasan pada saat bayi lahir. Tanda
klinis pada pemeriksaan paru misalnya Ronki tidak selamanya ada.
2.
Pneumonia aspirasi
Penyakit
ini merupakan penyabab utama kematian BBLR. Hal ini disebabkan pada saat
pemberian makanan peroral dimulai. Terjadi aspirasi, yaitu karena refleks menelan dan refleks batuk belum
sempurna. Pneumonia aspirasi ini harus dicurigai bila bayi berat lahir rendah
tiba-tiba menunjukkan gejala letargi, anoreksia, berat badan tiba tiba menurun
dan kalau terdapat serangan apnu. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan
radiologis thoraks.
3.
Pneumonia karena terinfeksi
‘airborn’
Patogenesis
penyakit ini sama dengan patogenesis bronkopneumonia pada bayi yang lebih tua.
Biasanya akibat kontak langsung dengan orang dewasa yang
menderita infeksi saluran pernapasan bagian atas.
Penyebab
Pneumococus biasanya dsebabkan oleh, H.
Influenza atau Virus,
selain itu dapat juga disebabkan oleh E. Coli, dan
Enterococus Proteus dan pseudomonas. Gejala klinis
biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan bagian atas dengan ringan
rintis dan seterusnya. Kemudian terjadi dispnu, penafasan cuping hidung,
sianosis dan batuk. Pada pemeriksaan paru dapat ditemukan ronki basah yang
nyaring. Pada pemeriksaan radiologis toraks dapat terlihat infiltrat.
Pengobatan yang diberikan sama seperti bronkopneumonia yang lain.
4.
Pneumonia staphylococcus
Kebanyakan terjadi pada bayi yang baru lahir di Rumah Sakit. Mula-mula terdapat
infeksi staphylococcus pada suatu tempat, kemudian terjadi penyebaran keparu
sehingga terjadi Pneumonia
atau Piotoraks.
Proses
ini terjadi dengan cepat disertai gejala sesak nafas, sianosis, keadan umum bayi
cepat memburuk. Pengobaan yang diberikan ialah dengan pemberian antibiotika
yang masih efekif terhadap staphylococcus misalnya kloksalisin, selafosforin. Pengobatan lain sesuai
dengan pengobatan bronkopneumonia yang lain.
2.1.4 .Cara penularan ISPA
Pneumococcus
masuk kedalam paru melalui jalan
pernapasan secara percikan (droplet). Proses radang pnumonia dapat dibagi atas
4 stadia, yaitu :
1.
Stadium Kongesti
Kapiler
melebar dan kongesti serta didalam alveolus terdapat eksudat jernih, bakteri dalam jumlah banyak, dan terdapat beberapa neutrofi
dan makrofag.
2.
Sadium Hepatisasi Merah
Lobus
dan lobulus yang terkena menjadi padat dan mengandung udara, warna menjadi
merah dan pada perabaan seperti hepar. Dalam alveolus didapatkan fibrin,
leukosit neutrofi, eksudat dan banyak sekali eritrosit dan kuman. Stadium ini
berlangsung sangat pendek.
3.
Stdium Hepatisasi Kelabu
Lobus
masih tetap padat dan warna merah menjadi pucat kelabu. Permukaan pleura suram
karena diliputi oleh fibrin. Alveolus terisi fibrin dan leukosit, tempat
terjadi fagositesis pneumococus. Kapiler tidak lagi kongestif sehingga mengakibatkan Stadium
resolusi eksudat
berkurang,
alveolus makrofag
bertambah, dan
leokosit mengalami nekrosis dan
degenerasi lemak. Fibrin resorbsi menghilang.
Secara Patologi dan Anatomis
Bronkopneumonia berbeda dari Pneumonia Lobaris dalam hal lokalisasi terdapat bercak-bercak dengan
distribusi yang tidak teratur. Dengan pengobatan Antibiotika,
dan urutan stadium khas ini tidak terlihat.
2.1.5 Gambaran Klinis
pada Penyakit
ISPA
Bronkopneumonia
biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari.
Suhu dapat naik secara
mendadak dari
30-40˚C, dan Pernafasan menjadi cepat dan dangkal disertai
pernafasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut, Kadang-kadang disertai mual
dan diare. Sedangkan batuk
biasanya tidak ditemukan pada permulaan penyakit, mungkin terdapat batuk
setelah beberapa hari, mula-mula kering
dan menjadi produktif. Pada stadium permulaan sukar dibuat Diagnosis dengan pemeriksaan
fisis, tetapi
dengan adanya nafas cepat dan
dangkal, pernafasan cuping hidung dan sianosis sekitar mulut dan hidung, harus
diperhatikan kemungkinan pneumonia.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisis tergantung dari pada luas daerah
yang terkena, yaitu Pada pemeriksaan
perkusi
thoraks sering tidak ditemukan kelainan. Sedangkan pada pemeriksaan auskultasi mungkin
hanya terdengar ronki basah nyaring, halus atau sedang. Bila sarang bronkopneumonia
menjadi satu
(kontiluens) mungkin pada pemeriksaan
perkusi terdengar kerudupan dan suara pernafasan, sedangkan pada
pemeriksaan auskultasi terdengar mengeras pada stadium resolusi, ronki
terdengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya penyembuhan dapat terjadi sesudah 2-3
minggu.
Adalah benar bahwa semua Infeksi Sistemik terjadi selama umur
beberapa hari atau
beberapa minggu pertama, tanda-tanda dan gejala-gejala sering nonspesifik,
meliputi nafsu makan yang buruk, lesu, iritabilitas, warna kuli yang tidak
sehat, suhu tidak stabil, perut kembung, dan secara keseluruhan keadaan umum
bayi terkesan lebih kurang baik dari pada sebelumnya. Karena tingkat gangguan respirasi
semakin meningkat, sehingga dapat
terjadi takipnea, takikardia, nafas cuping hidung, mendengkur, retraksi,
sianosis, apnea, dan kegagalan respirasi progresif. Jika bayi prematur,
tanda-tanda distres respirasi progresif dapat ditumpangi penyakit, seperti Membran Halin (hyaline membran disease [HMD], atau Displasia Bronkopulmonar (bronchopulomonary dysplasia [BPD]). Jika
bayi sedang mendapatkan bantuan nafas saat infeksi, perubahan yang paling nyata
mungkin berupa kebutuhan peningkatan jumlah dukungan ventilasi.
Tanda-anda fisik pneumonia, seperti rendup pada perkusi,
perubahan pada suara pernafasan, dan adanya ronkhi sebenarnya tidak mugkin
dijumpai pada neonatus. Rontgenogram dada dapat mengugkapkan adanya infiltrat atau suatu
efusi baru, namun jika neonatus sedang menderita HMD atau BPD, biasanya tidak
mungkin untuk menentukan apakah perubahan radiografi menunjukan suatu proses
baru atau memburuknya proses yang sedang berlangsung.
Perjalanan
pneumonia neonatus dapat bervariasi. Seperti
Infeksi
fulminan paling sering trekait dengan septikemia SGB pada bayi cukup bulan atau prematur. Mulainya didapat dari usia
beberapa jam atau hari pertama, dan bayi sering mengalami kolaps sirkulasi yang
progresif dan kegagalalan respirasi. Perjalanan klinis dan radiografi dada
mungkin tidak dapat dibedakan dari HMD berat, meskipun gejala infeksi sistemiknya
cenderung lebih berat dan tekanan mekanis kurang begitu diperlukan bagi
ventilasi yang efektif.
Berbeda dengan perjalanan penyakit
pneumonia yang cepat oleh infeksi SGB mulai awal, perjalan penyakit pada bayi
yang lebih tua dengan infeksi yang didapat dari lingkungan secara khas berjalan
dengan lamban. Mulanya biasa didahului oleh gangguan gejala saluran pernafasan
bagian atas atau konjungtivitas, kemudian
Terjadi batuk non-produktif dan tingkat gangguan respirasi yang bervariasi.
Demam biasanya tidak ada, dan pemeriksaan radiografi dada menunjukan
pneumonitis intersititial setempat atau difus. Infeksi ini disebut ‘’Sindroma Pneumonia Afebril’’ dan bisanya
disebabkan oleh C.trachomatis, CMV, U, urealyticum, atau salah satu dari
virus respirasi. Meskipun pneumocyistis
carinii dilibatkan pada uraian awal, peran etiologinya kini masih dipertanyakan.
2.1.6 Faktor- faktor yang menyababka kejadian ISPA
pada balita (depkes, 2002)
A
.Usia atau Umur
kebanyakan infeksi saluran
pernafasan yang terjadi pada anak usia dibawah 3 tahun terutama terutama pada bayi yang berumur kurang dari 1 tahun. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa anak pada usia muda akan lebih sering menderita ispa pada
usia yang lebih lanjut.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) banyak menyerang balita batasan 0-5 tahun, sebagian besar kematian
balita di Indonesia yaitu karena ISPA. Balita merupakan faktor resiko yang
meningkatkan mordibitas dan mortalitas. Infeksi
saluran pernafasan akut (ISPA). Khususnya Pneumonia kebanyakan terjadi
pada usia balita, dikarenakan
daya tahan tubuh mereka belum terlau kuat.
B .
Jenis Kelamin
Meskipun secara keseluruhan khusunya di Negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia masalah ini
tidak terlalu diperhatikan, namun banyak penelitian yang menunjukan pebedaan
prevalensi penyakit ISPA terhadap jenis kelamin tertentu.
C
. Status Gizi
Staus gizi adalah ukuran
keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak yang di indikasikan oleh berat
badan atau tinnggi badan anak. Status gizi juga didefinisikan sebagai status
kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien.
Penelitian status gizi merupakan pengukuran yang didasarkan pada daya
antropometri serta biokomia dan riwayat penyakit.
Dengan makanan bergizi, tubuh
manusia dapat dipelihara. Semua organ tubuh dapat berfungsi dengan baik. Bagian
tubuh yang rusak dapat diganti, kulit dan rambut terus terganti, sel-sel tubuh terus
bertumbuh. Sel-sel tubuh memasak dan mengolah zat makanan yang masakagar, sehingga dapat dipakai untuk
pekerjaan tubuh.
D. Faktor Lingkungan
Keadaan lingkungan berpengaruh
terhadap kejadian penyakit termasuk ISPA. Keadaan lingkungan yang kotor
khususnya perumahan yang kotor dan padat akan memudahkan terjangkitnya berbagai
penyakit, pembuangan limbah, sampah dan kotoran yang tidak teratur dengan baik
menyebabkan sampah dan kotoran terkumpul disekitar rumah.
E . Status
pemberian ASI Ekslusif
ASI
ekslusif adalah pemberian ASI tanpa makanan dan minuman tambahan lain pada bayi
berumur 0-6 bulan bahkan air putih tidak diberikan dalam tahap ASI ekslusif
ini.
Balita
yang tidak diberi ASI juga berpotensi mengidap ISPA, pada bayi yang berumur 0-11
bulan yang tidak diberi ASI mempunyai resiko 5 kali lebih besar meninggal, dibandingkan bayi yang
diberi ASI ekslusif. Bayi yang tidak diberi ASI mnyebabkan terjadinya
defisiensi zat besi, ini menjadikan resiko kematian akibat ISPA sangat besar
dibandingkan bayi yang secara ekslusif mendapatkan ASI dari si Ibu,dan pada bayi yang diberi ASI
ekslusif dapat umbuh lebih baik dan lebih jarang sakit serta angka kematiannya
lebih rendah dibandingkan bayi yang tidak mendapatkan ASI ekslusif. Ini karena pemberian ASI
dapat meningkatkan reaksi Imonologis
bayi, hampir 90% kematian bayi dan balita terjadi di Negara Berkembang dan jumlah itu
sekitar 4% lebih disebabkan oleh ISPA (Depkes RI, 2004).
2.2 Definisi Umur dan Balita
2.2.1 Definisi Umur
Umur
atau Usia adalah satuan waktu yang diukur dari waktu keberadaan suatu
benda atau mahluk, baik yang hidup maupun mati. Semisal, umur manusia dikatakan
lima belas tahun diukur sejak dia
lahir hingga waktu itu dihitung (http://idwikipediaorg/wiki/umur).
Anak
berumur dibawah 2 tahun mempunyai resiko Infeksi Saluran Pernafasan Akut lebih
besar dari pada anak 2 tahun sampai 5 tahun, keadaan ini karena pada anak
dibawah 2 tahun Imunitasnya
belum sempurna dan saluran pernafasannya relatif sempit (daulay, 2008)
2.2.2 Definisi Balita
Balita
adalah anak yang berusia di bawah 5 tahun,dan
merupakan generasi yang perlu mendapat perhatian, karena Balita merupakan generasi
penerus dan modal dasar kelangsungan hidup bangsa, balita amat peka terhadap penyakit, karena itu tingkat kematian balita
masih amat tinggi.
Balita
diharapkan dapat
tumbuh berkembang dan sehat
jasmani, sosial dan bukan hanya bebas dari penyakit kelemahan. Masalah
kesehatan balita merupakan masalah nasional, mengingat angka kesakitan dan
angka kematian pada balita masih cukup tinggi. Angka kesakitan mencerminkan
keadaan yang sesungguhnya karena penyebab utamanya berhubungan dengan faktor
lingkungan seperti asap dapur, penyakit
infeksi, dan pelayanan kesehatan.
Salah
satu faktor penyebab kematian yang berperan dalam proses tumbuh kembang Balita yaitu ISPA, penyakit
yang dapat dicegah
dengan imunisasi. Untuk itu kegiatan yang dilakukan terhadap balita yaitu
dengan pemeriksaan perkembangan dan pertumbuhan fisiknya, pemeriksaan
perkembangan kecerdasan, pemeriksaan penyakit infeksi, imunisasi, perbaikan
gizi dan pendidikan kesehatan kepada orang tua (http://idwikipediaorg/wiki/balita).
2.3 Konsep Imunisasi
2.3.1
Pengertian Imunisasi
Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu
penyakit dengan memasukkan sesuatu
kedalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang mewabah atau berbahaya
bagi seseorang. Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau
resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberi kekebalan atau
resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari penyakit lain
dibutuhkan imunisasi lainnya (Depkes RI, 2004).
Infeksi
ISPA adalah suatu jenis penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit
yang tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan pemberian imunisasi adalah
Difteri, batuk rejan atau campak (Depkes RI, 2004).
2.3.2 Tujuan diberikan Imunisasi
a. Untuk mengurangi angka
penderita suatu penyakit yang sangat membahayakan kesehatan bahkan bisa menyebabkan kematian
pada penderitanya.
b. Mencegah
terjadinya penyakit.
c. Menghilangkan
penyakit tertentu pada populasi.
2.3.3 Macam-macam Imunisasi
a. Imunisasi
Fasif
Kekebalan
yang diperoleh dari luar tubuh bukan individu itu sendiri. Misalnya bayi yang
diperoleh dari ibunya.
b. Imunisasi Aktif Dimana
kekebalan harus didapat dari pemberian bibit penyakit lemah yang mudah dikalah
oleh kekebalan tubuh biasa. Guna mambentuk antibodi terhadap penyakit yang sama
baik yang lemah maupun yang kuat.
2.3.4 Cara pemberian Imunisasi
Cara pemberian imunisasi pada
umumnya dilakukan dengan melemahkan virus atau bakteri penyebab penyakit lalu
diberikan kepada seseorang dengan cara suntik, diminum,
atau ditelan. Setelah bibit penyakit masuk kedalam
tubuh kita, maka
tubuh akan terangsang untuk melawan penyakit tersebut dengan membentuk
antibodi.
2.3.5 Jenis
Imunisasi yang dianjurkan Oleh Pemerintah
Pada
anak umur 0-5 tahun yang harus dilakukan
yakni :
a.
BCG (Bacillus Colmette Guerin)
Yaitu
imunisasi BCG dilakukan sekali sebelum anak berumur 2 bulan. Vaksin disuntikkan
secara intracutan pada lengan atas sebanyak 00,5 ml.
b.
DPT (Dipteri Pertusis Tetanus)
Vaksin
DPT biasanya terdapat dalam bentuk suntikan yang disuntikkan pada otot lengan
dan paha. Imunisasi DPT dilakukan sebanyak tiga kali pada usia anak berumur 2
bulan, (DPT 1) 3 bulan, (DPT 2) 4 bulan, (DPT 3) selang waktu tidak kurang dari
empat minggu.
c.
Polio
Imunisasi
polio dilakukan 4 kali pada balita 0-11 bulan dengan interval minimal 4 minggu.
d.
Campak
Imunisasi
dicampak diberikan 1 kali pada balita usia 9-11 bulan karena masih ada antibodi
yang peroleh dari vaksin disuntikkan secara subcutan sebanyak 0,5 ml.
e.
Hepatitis B
Imunisasi
hepatitis B sedini mugkin setelah bayi lahir aau jika ibunya memiiki HbsAg
negatif harus dibeikan 3 kali dengan selang waktu 1 bulan antara HB1 dengan HB2
serta selang waktu 5 bulan antara HB2 dan HB3 (http://www.imunisasi.com).
0 komentar:
Posting Komentar