BAB
III
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Kedudukan DKPP dalam Penyelenggaraan Pemilu.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Pemilu, dalam
penyelenggaraan pemilihan umum terdapat 3 fungsi yang saling berkaitan yang
diinstitusionalisasikan dalam 3 kelembagaan, yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP. DKPP
atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum bukan lembaga penyelenggara
pemilu, tetapi tugas dan kewenangannya terkait dengan para pejabat
penyelenggara pemilu. Lembaga penyelenggara pemilu menurut Pasal 23E UUD 1945
adalah “komisi pemilihan umum” (dengan huruf kecil), tetapi oleh undang-undang
dijabarkan menjadi terbagi ke dalam 2 kelembagaan yang terpisah dan
masing-masing bersifat independen, yaitu “Komisi Pemilihan Umum” (dengan huruf
Besar) atau KPU, dan “Badan Pengawas Pemilihan Umum” atau BAWASLU (Bawaslu).
Berdasarkan
ketentuan UU tentang Pemilu, dalam penyelenggaraan pemilihan umum terdapat 3
fungsi yang saling berkaitan yang diinstitusionalisasikan dalam 3 kelembagaan,
yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP. DKPP atau Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilihan Umum bukan lembaga penyelenggara pemilu, tetapi tugas dan kewenangannya
terkait dengan para pejabat penyelenggara pemilu. Lembaga penyelenggara pemilu
menurut Pasal 23E UUD 1945 adalah “komisi pemilihan umum” (dengan huruf kecil),
tetapi oleh undang-undang dijabarkan menjadi terbagi ke dalam 2 kelembagaan
yang terpisah dan masing-masing bersifat independen, yaitu “Komisi Pemilihan
Umum” (dengan huruf Besar) atau KPU, dan “Badan Pengawas Pemilihan Umum” atau
BAWASLU (Bawaslu). Tugas dan kewenangan
DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum) berkaitan dengan orang per
orang pejabat penyelenggara pemilihan umum, baik KPU maupun Bawaslu. Dalam arti
sempit, KPU hanya terdiri atas para komisioner di tingkat pusat, provinsi, dan
di tingkat kabupaten/kota. Demikian pula dalam arti sempit, Bawaslu hanya
terdiri atas pimpinan atau anggota Bawaslu tingkat pusat dan Bawaslu tingkat
provinsi. Namun, dalam arti luas, penyelenggara pemilihan umum itu, baik dalam
lingkungan KPU maupun Bawaslu, menyangkut pula para petugas yang bekerja secara
tetap atau pun yang bekerja secara tidak tetap atau adhoc.
Yang
bekerja secara tidak tetap, misalnya, adalah pegawai negeri sipil yang bekerja
di KPU atau yang bekerja di Bawaslu. Sedangkan yang bekerja secara tidak tetap
atau adhoc, misalnya, adalah Ketua dan Anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu)
di tingkat kabupaten/kota atau pun petugas.
Tugas dan
kewenangan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum) berkaitan
dengan orang per orang pejabat penyelenggara pemilihan umum, baik KPU maupun
Bawaslu. Dalam arti sempit, KPU hanya terdiri atas para komisioner di tingkat
pusat, provinsi, dan di tingkat kabupaten/kota. Demikian pula dalam arti
sempit, Bawaslu hanya terdiri atas pimpinan atau anggota Bawaslu tingkat pusat
dan Bawaslu tingkat provinsi. Namun, dalam arti luas, penyelenggara pemilihan
umum itu, baik dalam lingkungan KPU maupun Bawaslu, menyangkut pula para
petugas yang bekerja secara tetap atau pun yang bekerja secara tidak tetap atau
adhoc.[1]
Didalam
Pasal 110 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum
menjelaskan bahwa DKPP menyusun dan menetapkan satu kode etik untuk menjaga
kemandirian, integritas, dan kredibilitas anggota KPU, anggota KPU Provinsi,
anggota KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN serta Bawaslu,
Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu
Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
DKPP
memiliki tugas dan wewenang untuk menegakkan dan menjaga kemandirian,
intregitas, dan kredibilitas penyelenggara Pemilu. Secara lebih spesifik, DKPP
dibentuk untuk memeriksa, megadili, dan memutuskan pengaduan/laporan dugaan
pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota KPU, anggota Bawaslu, dan jajaran
di bawahnya. Tugas DKPP berdasarkan peraturan dewan
kehormatan penyelenggara pemilihan umum
nomor 2 tahun 2012 tentang pedoman beracara kode etik penyelenggara
pemiilihan umum:
- Menerima pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu;
- Melakukan penyelidikan, verifikasi, dan pemeriksaan pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu yang berbunyi:
- Menetapkan Putusan; dan
- Menyampaikan Putusan kepada pihak terkait untuk ditindak lanjuti.
Sementara itu dalam rangka menjalankan tugas-tugasnya,
DKPP memiliki kewenangan untuk:
- Memanggil penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;
- Memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan termasuk dokumen atau bukti lain; dan
- Memberikan sanksi kepada penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik.
Proses penyelenggaraan pemilu yang sedang berjalan, ada hal menarik dimana
pemegang kekuasaan seperti KPU dan Bawaslu mengeluhkan sistem kerja DKPP dalam
menegakkan kode etik penyelenggara pemilu. Singkatnya, keluhan tersebut karena
DKPP kadangkala offside dan melahap porsi kekuasaan yang dimiliki oleh
lembaga lain. Bukti faktualnya yakni adanya putusan-putusan DKPP yang secara
yuridis dan konseptual merupakan wilayah sengketa pemilu. Implikasi lanjutan
dari putusan seperti ini adalah adanya akibat hukum berupa pengembalian hak
konstitusional. Putusan dikeluhkan oleh Bawaslu, bahkan lebih jauh, Mahkamah
Konstitusi (MK) juga telah memberikan teguran ke DKPP bahwa putusan diluar
terkait pelanggaran kode etik merupakan produk yang cacat hukum.
Komisi II DPR menganggap pertemuan itu digelar untuk meminta penjelasan atas putusan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Terutama, putusan yang memerintahkan
KPU untuk memverifikasi faktual 18 partai politik yang tak lolos verifikasi
administrasi. Anggota Komisi II DPR menganggap putusan DKPP itu melampaui
kewenangan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
Koordinator Forum Masyarakat
Pemantau Parlemen Indonesia
menganggap DKPP
telah membuat keputusan yang melampaui kewenangannya. Padahal, kewenangan DKPP
sebatas memutuskan pelanggaran etika. Keputusan DKPP tersebut dapat mengancam
tahapan pemilu dan menimbulkan ketidakpastian hukum, serta hancurnya wibawa
penyelenggara pemilu di hadapan peserta pemilu.
DKPP tidak punya kewenangan untuk
menentukan partai politik mana yang boleh dan tidak boleh mengikuti proses
verifikasi faktual oleh KPU.
Keputusan DKPP yang memperbolehkan
18 partai politik mengikuti proses verifikasi faktual oleh KPU berarti
membatalkan (ketetapan) keputusan KPU yang menyatakan 18 partai politik tidak
lolos berdasarkan verifikasi administrasi oleh KPU.
Alasan atau pertimbangan DKPP
mengikutsertakan 18 partai politik dalam proses verifikasi faktual adalah
adanya pembangkangan, pemboikotan, dan ketidaktaatan jajaran sekretariat
jenderal yang merupakan dissimilar process. Akibatnya, proses pendaftaran
dan verifikasi administrasi partai politik peserta Pemilu 2014 menjadi
terhambat dan dapat merusak proses dan hasil dari tahapan pendaftaran dan
verifikasi administrasi partai politik peserta Pemilu 2014.
Hal tersebut menyebabkan
terjadinya keraguan, kecurigaan, ketidakpercayaan, dan kemarahan parpol yang
tidak lolos dalam verifikasi administrasi.
Pemegang kekuasaan penyelenggara pemilu telah mendapatkan porsi
masing-masing dalam menyelenggarakan kekuasaan. Dalam takaran konstitusional,
proses distribusi kekuasaan telah diberikan secara proporsional untuk
mewujudkan check and balances. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapatkan
porsi sebagai penyelenggara pemilu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu)
mendapatkan porsi mengawasi dan menyelesaikan sengketa pemilu, sedangkan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mendapatkan porsi untuk menegakkan kode
etik penyelenggara pemilu.
Tidak terlalu sulit untuk mengatakan demikian, karena menafsirkan norma di
dalam Undang-Undang 15/2011 Tentang Penyelenggara Pemilu tidak perlu ilmu
penafsiran hukum seperti yang dimiliki oleh para Negarawan di Mahkamah Konstitusi,
karena memang Undang-Undang 15/2011 telah mengaturnya secara jelas dan tegas
mengenai pembagian porsi kekuasaan a quo.
Penegasan pembagian porsi kewenangan ini penting untuk diketahui oleh
publik. Mengingat hubungan konfliktual yang muncul diantara pemegang kekuasaan
penyelenggara pemilu. Salah satu penyebabnya adalah perebutan dan penambahan
porsi kekuasaan oleh salah satu lembaga, yang sebenarnya telah
mendapatkan porsi yang sudah cukup sebagai lembaga supporting system
dalam mewujudkan pemilu yang jujur, adil dan bertanggung jawab.
Penyebab diatas hanya merupakan sebiji benih yang berada di dalam lumbung
kekuasaan. Terdapat juga benih konflik lainnya, diantaranya arogansi dan gengsi
kelembagaan, profesionalisme dalam menjalankan kewenangan, khususnya terkait
dalam penyelesaian permasalahan hukum pemilu yang mengharuskan adanya interaksi
di antara pemegang kekuasaan penyelenggara pemilu. Bahkan bisa jadi, benih yang
jangan sampai tumbuh subur adalah karena adanya kepentingan politik pemegang kekuasaan
untuk merugikan dan/atau menguntungkan salah satu peserta pemilu, yang diujung
lorongnya terdapat keuntungan ekonomi dan upaya pelanggengan jabatan sebagai
pejabat publik.[2]
B.
Bentuk Pengawasan Yang Dilakukan DKPP Terhadap
Penyelenggaraan Pemilu.
Sistem pemilu apapun
yang dipakai, upaya membentuk pemerintahan kuat dalam sistem pemerintahan
parlementer lebih mudah dicapai karena parpol atau koalisi partai yang meraih
kursi terbanyak di parlemen berhak membentuk pemerintahan. Oleh karena itu,
pemerintah dalam sistem parlementer lebih mudah mencapai governability tinggi
karena mereka mendapat dukungan mayoritas parlemen. Hal ini berbeda dengan
sistem pemerintahan presidensial, di mana soal governability pada sistem
ini sering menghadapi masalah, akibat hasil pemilu legislatif sering tidak
sejalan dengan hasil pemilu eksekutif. Atau, terjadi apa yang disebut dengan divided
government atau pemerintahan terbelah, di mana presiden terpilih sering
tidak didukung parlemen karena parpol atau koalisi parpol pendukung presiden
terpilih tidak mampu meraih mayoritas kursi parlemen. Atau, legislatif
didominasi oleh satu atau lebih parpol yang berbeda dengan parpol yang memegang
kekuasaan eksekutif.
Perwakilan tiap daerah adalah anggota
KPU, anggota KPU Provinsi, KIP Aceh, anggota KPU Kabupaten/Kota, KIP
Kabupaten/Kota, anggota PPK, anggota PPS, anggota PPLN, anggota KPPS, anggota
KPPSLN, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi, anggota Panwaslu
Kabupaten/Kota, anggota Panwaslu Kecamatan, anggota Pengawas Pemilu Lapangan,
dan/atau anggota Pengawas Pemilu Luar Negeri yang diduga melakukan pelanggaran
kode etik Penyelenggara Pemilu. Para pihak dalam perselisihan hasil pemilu
anggota DPR,DPD dan DPRD adalah:
a.
Partai politik dan /
atau perseorangan dalam peserta pemilu sebagai pihak pemohon ;
b.
KPU sebagai pihak
termohon.[3]
Selain
pihak termohon dan pemohon ada juga kemungkinan peserta pemilu yang menjadi
pemohon berkepentingan terhadap perselisihan hasil pemilu. Biasanya diposisikan
sebagai pihak terkait.
Proses pengawasan yang
dilakukan DKPP dalam penyelenggaraan pemilu menurut peraturan dewan kehormatan penyelenggara pemilihan umum nomor 2 tahun 2012 tentang pedoman beracara
kode etik penyelenggara pemiilihan umum
adalah :
1.
Pengaduan
dan/atau Laporan dugaan pelanggaraan Kode Etik disampaikan secara tertulis
dalam Bahasa Indonesia.
2.
Pengaduan
dan/atau Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan oleh
kuasa Pengadu dan/atau Pelapor.
3.
Pengaduan
dan/atau Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a.
identitas lengkap Pengadu dan/atau Pelapor;
b.
identitas Teradu dan/atau Terlapor;
c.
alasan pengaduan dan/atau laporan; dan
d. permintaan kepada DKPP untuk memeriksa dan memutus dugaan
pelanggaran Kode Etik.
4. Identitas Teradu
dan/atau Terlapor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit
memuat:
a.
nama lengkap;
b.
jabatan; dan
c. alamat kantor.
5. Alasan Pengaduan dan/atau Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c memuat uraian jelas mengenai
tindakan atau sikap Teradu dan/atau Terlapor yang meliputi:
a. waktu perbuatan dilakukan;
b. tempat perbuatan dilakukan;
c. perbuatan yang dilakukan; dan
d. cara perbuatan dilakukan.
Pasal 5
1. Pengaduan dan/atau
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diajukan dengan mengisi formulir dan
melampirkan:
a.
fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau identitas lain Pengadu dan/atau Pelapor;
b.
surat pernyataan yang ditandatangani oleh Pengadu dan/atau Pelapor; dan
c. alat bukti.
3. Selain melampirkan kelengkapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengaduan dan/atau Laporan yang disampaikan
melalui kuasa hukum Pengadu dan/atau Pelapor wajib melampirkan surat kuasa
khusus.
4. Formulir Pengaduan
dan/atau Laporan, surat pernyataan dan surat kuasa khusus tercantum dalam
Lampiran Peraturan ini.
Pasal 6
1. Pengaduan dan/atau
Laporan dapat disampaikan secara:
a.
langsung ; atau
b. tidak langsung.
2. Pengaduan dan/atau Laporan langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan melalui petugas penerima
Pengaduan.
3. Pengaduan dan/atau Laporan tidak
langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan melalui:
a. media elektronik; dan/atau
b. media nonelektronik.
Pasal 7
1. Pengaduan
dan/atau Laporan diajukan dengan disertai paling sedikit 2 (dua) alat bukti.
2. Alat bukti sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa:
a. keterangan
saksi;
b. keterangan
ahli;
c. surat atau
tulisan;
d. petunjuk;
e. keterangan
para pihak; atau
f.
data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronik atau optik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Setelah itu pemeriksaan pengaduan
dan/atau laporan, Verifikasi Materiel, Registrasi, dan Penjadwalan Sidang, lalu
yang terakhir adalah persidangan sampai dengan selesai.
Kerjasama antara DKPP, KPU, dan Bawaslu dengan pihak
Kepolisian, baik sebagai aparat penegak hukum maupun sebagai alat negara
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, sangat penting untuk dikembangkan.
Tugas yang terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum secara teknis memang
dikaitkan dengan komisi pemilihan umum dengan peran Bawaslu sebagai lembaga
pengawasnya. Akan tetapi semua keputusan yang diambil, baik oleh KPU maupun
Bawaslu dan juga oleh DKPP, semua berkenaan dan bersangkut paut dengan dinamika
penyelenggaraan kompetisi politik yang diatur menurut UUD 1945 dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam iklim demokrasi yang baru dikembangkan selama
lima belas tahun era reformasi, banyak sekali jabatan publik yang diperebutkan
atau dikompetisikan, baik melalui pemilihan langsung melalui pemilu maupun
pemilihan tidak langsung, yaitu melalui lembaga perwakilan rakyat.
Refleksi atas pemenuhan keadilan
dalam Pemilu 2009 mesti dilakukan. Itu penting sebagai modal awal penataan
system keadilan pemilu ke depan. Bagaimana melihat kelemahan dan tidak
berjalannya sistem keadilan pemilu. Refleksi juga dilakukan untuk mengangkat
kembali keberhasilan yang dicapai sehingga bisa diakomodir dalam penataan
system ke depan. Identifikasi ini penting untuk menutup setiap kelemahan dengan
harapan dalam Pemilu 2014 tidak kembali terulang. Atau paling tidak kebijakan
yang akan disusun tidak salah arah atau justru menghilangkan keberhasilan
sebelumnya.
Refleksi tersebut
paling tidak mencakup 3 (tiga) hal, khususnya terkait dengan apa yang akan
dicapai dalam penyusunan kerangka system keadilan pemilu. Pertama, jaminan atas
setiap tindakan, prosedur dan keputusan terkait proses pemilu, apakah telah
sesuai dengan kerangka hukum atau tidak. Kedua, apakah system yang dirancang
dalam pemilu 2009 telah memberikan perlindungan dan bahkan mampu memulihkan hak
pilih seseorang jika dilanggar. Terakhir, sudahkah system keadilan pemilu
membuka ruang bagi warga negara (pemilih) untuk mengajukan pengaduan, mengikuti
persidangan dan mendapat kanputusan yang adil dalam hal hak pilih mereka
terlanggar. Konsep keadilan pemilu tersebut diharapkan mampu memotret kondisi
pemilu 2009. Apakah keadilan pemilu telah terkonsep dengan baik, begitu juga
dengan implementasinya.[4]
Dari segi penegakan hukum, Kepolisian juga dapat memahami
dengan tetap apa dan bagaimana tugas KPU dalam menyelenggarakan pemilu dan apa
dan bagaimana pula tugas Bawaslu dalam mengawasi pelaksanakaan pemilihan umum.
Penting disadari bahwa kedudukan dan peranan Bawaslu menurut ketentuan UU yang
baru, yaitu UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, agak berbeda
dengan kedudukan dan peranan Bawaslu sebelumnya menurut UU No. 22 Tahun 2007.
Sekarang Bawaslu disebut sebagai lembaga semi atau quasi judisial juga, yaitu
di bidang administrasi penyelenggaraan pemilu.
Demikian
pula DKPP, juga merupakan lembaga semi-judisial atau quasi yudisial, khususnya
di bidang etika penyelenggara pemilu. Penting untuk disampaikan dalam forum
yang penting ini, ketika pertama kali anggota KPU diberhentikan dari jabatannya
karena terbukti melanggar kode etik, yang bersangkutan merasa terhina dan
merasa diperlakukan tidak menyenangkan, sehingga karena itu ia mengadukan Ketua
dan para anggota KPU dan Ketua dan para anggota DK-KPU ke pihak kepolisian. Itu
terjadi pada tahun 2009, yaitu menjelang pelaksanaan pemungutan suara pemilihan
presiden secara langsung yang pertama kali dalam sejarah Republik Indonesia.[5]
C. Proses
Pengambilan Keputusan DKPP Terhadap Penyelenggaraan Pemilu dan Akibat Hukum
Keputusan Tersebut.
Berdasarkan UU tentang Penyelenggara Pemilu, subjek yang
dapat menjadi pihak yang berperkara di DKPP dapat mencakup pengertian yang luas
dan dapat pula menyangkut pengertian sempit. Namun, dalam Peraturan tentang
Pedoman Beracara DKPP, pengertian pihak yang dapat berperkara tersebut
dibatasi, sehingga penanganan kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu dapat secara realistis ditangani dan diselesaikan oleh
DKPP. Lagi pula, DKPP juga perlu memberikan dukungan penguatan kepada KPU dan
Bawaslu sendiri untuk menjalankan fungsinya tanpa harus menangani semua urusan
dugaan pelanggaran kode etik sendiri. Hal-hal yang dapat diselesaikan sendiri
oleh KPU dan Bawaslu atau pun hal-hal yang semestinya ditangani dan
diselesaikan lebih dulu oleh KPU dan Bawaslu, tidak boleh secara langsung
ditangani oleh DKPP dengan mengabaikan mekanisme internal KPU dan Bawaslu
sendiri lebih dulu.
Karena
itu, idealnya, kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik yang secara langsung
dapat diajukan dan ditangani oleh DKPP dibatasi hanya untuk kasus-kasus dugaan
pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu di tingkat provinsi atau
tingkat pusat. Sedangkan untuk kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan pada
tingkat kabupaten/kota lebih dulu harus diklarifikasi dan ditangani oleh KPU
Pusat atau Bawaslu Pusat. Jika pun laporan atau pengaduan terkait diajukan
langsung oleh masyarakat, oleh partai politik atau pun oleh penyelenggara
pemilu tingkat lokal kepada DKPP, maka laporan atau pengaduan tersebut akan
diperiksa dan diselesaikan lebih oleh KPU atau Bawaslu melalui anggota anggota
KPU atau anggota Bawaslu yang duduk sebagai anggota DKPP.
Proes
pengambilan keputusan DKPP terhadap penyelenggara pemilu adalah dalam pasal 32-
35, yaitu:
- Pasal 32
- Penetapan putusan dilakukan dalam rapat pleno DKPP paling lama 3 (tiga) Hari setelah sidang pemeriksaan dinyatakan selesai.
- Rapat pleno DKPP dilakukan secara tertutup yang diikuti oleh seluruh anggota DKPP dengan dihadiri paling sedikit 5 (lima) orang anggota DKPP.
- Rapat pleno DKPP mendengarkan penyampaian berita acara Persidangan.
- DKPP mendengarkan pertimbangan atau pendapat tertulis para anggota DKPP untuk selanjutnya menetapkan putusan.
- Penetapan keputusan dalam rapat pleno DKPP dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.
- Dalam hal tidak tercapai musyawarah untuk mufakat dalam penetapan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) maka dilakukan berdasarkan suara terbanyak secara langsung atau melalui pemungutan suara elektronik.
- Dalam hal terjadi perbedaan dalam pengambilan keputusan menyangkut hal ikhwal yang luar biasa, setiap anggota majelis yang berpendapat berbeda dapat menuliskan pendapat yang berbeda sebagai lampiran putusan.
-
Pasal 33
(1) Putusan yang telah ditetapkan dalam rapat
pleno DKPP diucapkan dalam Persidangan dengan memanggil pihak Teradu dan/atau
Terlapor dan pihak Pengadu dan/atau Pelapor.
(2) Amar putusan DKPP dapat menyatakan:
a.
Pengaduan dan/atau Laporan tidak dapat diterima;
b.
Teradu dan/atau Terlapor terbukti melanggar; atau
c.
Teradu dan/atau Terlapor tidak terbukti melanggar.
(3) Dalam hal amar putusan DKPP menyatakan
Teradu dan/atau Terlapor terbukti melanggar, DKPP memberikan sanksi berupa:
a.
teguran tertulis;
b.
pemberhentian sementara; atau
c.
pemberhentian tetap.
(4) Dalam hal amar putusan DKPP menyatakan
Pengaduan dan/atau Laporan tidak dapat diterima atau Teradu dan/atau Terlapor
tidak terbukti melanggar, DKPP melakukan rehabilitasi kepada Teradu dan/atau
Terlapor.
(5)
DKPP dapat memberikan rekomendasi
tindakan etik berdasarkan hasil pemeriksaan pelanggaran Kode Etik kepada
pegawai Sekretariat Jenderal KPU, Sekretariat KPU Provinsi, Sekretariat KIP
Aceh, Sekretariat KPU Kabupaten/Kota, Sekretariat KIP Kabupaten/Kota,
Sekretariat PPK, serta Sekretariat PPS atau Sekretariat Jenderal Bawaslu dan
Sekretariat Bawaslu Provinsi kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Sekretariat KPU
dan/atau Sekretariat Bawaslu.
-
Pasal 34
(1) Putusan DKPP bersifat final dan mengikat.
(2) Penyelenggara Pemilu wajib melaksanakan
putusan DKPP paling lama 7 (tujuh) Hari sejak putusan dibacakan.
(3)
Bawaslu memiliki tugas untuk
mengawasi pelaksanaan Putusan DKPP.
-
Pasal 35
(1) Putusan DKPP disampaikan kepada Teradu
dan/atau Terlapor dan Pengadu dan/atau Pelapor serta pihak-pihak terkait
lainnya untuk ditindaklanjuti.
(2) Dalam hal penelitian atau pemeriksaan
yang dilakukan DKPP menemukan dugaan pelanggaran di luar pelanggaran Kode Etik,
DKPP menyampaikan rekomendasi kepada lembaga dan/atau instansi terkait untuk
ditindaklanjuti.
Objek
perkara yang ditangani oleh DKPP terbatas hanya kepada persoalan perilaku
pribadi atau orang per orang pejabat atau petugas penyelenggara pemilihan umum.
Objek pelanggaran etika yang dapat diperkarakan serupa dengan kualifikasi
tindak pidana dalam sistem peradilan pidana, yaitu menyangkut sikap dan
perbuatan yang mengandung unsur jahat dan melanggar hukum yang dilakukan oleh
perseorangan individu secara sendiri-sendiri atau pun bersama-sama yang
dipertanggung-jawabkan juga secara individu orang per orang. [6]
Dengan
perkataan lain, yang dapat dituduh melanggar kode etik adalah individu, baik
secara sendiri-sendiri atau pun secara bersama-sama, bukan sebagai satu
institusi, melainkan sebagai orang per orang. Yang dapat dituduh melanggar kode
etik, bukan KPU atau Bawaslu sebagai institusi, tetapi orang per orang yang
kebetulan menduduki jabatan ketua atau anggota KPU atau Bawaslu tersebut.
Karena itu, pihak yang melaporkan atau yang mengadu harus mampu membuktikan apa
saja yang telah dilakukan oleh orang per orang individu ketua atau anggota KPU
atau Bawaslu yang dianggap telah melanggar kode etik penyelenggara pemilu
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Masalah
penting yang sering kurang dipahami dengan baik atau kurang mendapat perhatian
dalam perkembangan modern mengenai sistem peradilan adalah perspektif tentang
keadilan restoratif (restorative justice). Pada umumnya, proses
peradilan konvensional selalu dipahami dalam konteks paradigma keadilan
retributif (retributive justice). Yang diutamakan dalam proses peradilan
adalah sistem sanksi hukum yang bersifat menghukum, membalas dendam,
melampiaskan sakit hati, atau menyalurkan kemarahan, baik korban dalam arti
sempit ataupun korban dalam arti luas, yaitu masyarakat pada umumnya yang tidak
puas, dan bahkan benci dan marah kepada penjahat yang telah melawan hukum dan
merugikan masyarakat Dalam hukum pidana, tersedia sistem sanksi pidana mati,
pidana penjara, pidana denda, dan sebagainya. Sedangkan dalam sistem peradilan
etika diadakan sanksi teguran dan sanksi pemberhentian dari jabatan publik.
Semua bentuk sanksi hukum maupun etika tersebut bersifat pembalasan dengan cara
menghukum dan melampiaskan amarah.
Namun dewasa ini, teori pembalasan ini mendapatkan
perlawanan yang semakin kuat dan kritis di kalangan para ahli, seiring makin
berkembang-luasnya kesadaran baru mengenai standar-standar kemanusiaan global.
Hukuman atau pidana mati semakin dipersoalkan dalam teori dan praktik, dan
demikian pula sanksi penjara dipandang makin lama makin tidak efektif dalam
mengendalikan kecenderungan perilaku menyimpang (deviant behaviors)
dalam kehidupan masyarakat modern.
Di bidang pemberantasan korupsi, misalnya, semakin luas
aspirasi mengenai pentingnya pengenaan sanksi perampasan harta kekayaan dengan
menggunakan sistem pembuktian terbalik. Seseorang yang terbukti melakukan
tindak pidana korupsi, harus dirampas seluruh harta kekayaan yang dimilikinya,
kecuali ia mampu membuktikan bahwa bagian-bagian mana dari harta kekayaan yang
dimilikinya itu yang diperoleh dengan cara yang memang sah menurut hukum.
Sistem sanksi yang demikian ini dianggap lebih bersifat memulihkan kerugian
negara daripada sekedar melampiskan balasan sanksi penjara ataupun pidana mati
bagi penjahat yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi tersebut. Dengan
sistem sanksi perampasan harta tersebut, kepentingan kerugian kekayaan negara
dapat dipulihkan sebagaimana mestinya, bukan sekedar melampiskan kemarahan
kepada korupsi dan kepada koruptor.
Cara pandang keadilan restoratif ini merupakan warisan
umat manusia dalam sejarah pra-modern yang cenderung mulai direvitalisasi
kembali untuk kepentingan masa kini. Oleh karena itu, jika seseorang terbukti
melanggar hukum, yang penting mendapat perhatian justru adalah nasib korban
yang harus dipulihkan. Masalahnya kemudian jika dikaitkan dengan peradilan
pidana dan peradilan etika penyelenggara pemilu yang tidak berkaitan dengan
proses pemilu ataupun dengan hasil pemilu, melainkan hanya dengan perilaku etik
dari aparat penyelenggara pemilu, timbul masalah yang boleh jadi belum saatnya
dipertimbangkan mengenai relevansi dan urgensinya. Misalnya, 5 orang anggota
KPU suatu daerah terbukti melanggar kode etik, sedangkan sebagai akibat
langsung dari adanya pelanggaran itu, ada pasangan calon yang digugurkan haknya
oleh kelima orang anggota KPU tersebut, seperti yang terjadi pada pemilihan
Bupati Pamekasan pada akhir tahun 2012 yang lalu.
Jika putusan DKPP ditetapkan mengenai hal itu masih berada
dalam jadwal, yaitu 1 hari sebelum berakhirnya jadwal tahap penetapan pasangan
calon Bupati dan Wakil Bupati oleh KPU setempat, apakah putusan DKPP itu dapat
dimanfaatkan untuk mengoreksi penetapan calon tersebut oleh KPU yang kelima
anggotanya diberhentikan oleh putusan DKPP tersebut?
Kelima anggota KPU Kabupaten setempat diberhentikan, maka
menurut undang-undang KPU setingkat di atasnya bertanggungjawab mengambilalih
pelaksanaan tugas dan kewenangan KPU setempat. Namun, ada beberapa kendala yang
ditemukan dalam praktik, misalnya karena keberadaan DKPP sendiri masih baru dan
belum dikenal luas, KPU tingkat provinsi sendiri atau pun KPU yang bersangkutan
tidak dapat diharapkan cekatan bertindak dalam melaksanakan putusan DKPP itu,
termasuk akibat hukumnya, dimana KPU tentu saja berwenang menambahkan pasangan
calon yang tadinya dinyatakan tidak memenuhi syarat menjadi memenuhi syarat
setelah adanya putusan DKPP.
Untuk membantu KPU Provinsi, DKPP dapat saja menuangkan
advis hukum mengenai hal itu dalam ‘ratio-decidendi’ atau pertimbangan
putusan yang secara substantif dapat dipandang sebagai advis yang bersifat
anjuran moral kepada KPU untuk bertindak. Bahkan, agar lebih tegas dan mudah
dipahami, DKPP dapat pula berinovasi dengan menuangkan advis etik tersebut
dalam rumusan amar sehingga memiliki daya ikat dan daya bimbing yang lebih kuat
dan efektif.
Namun
demikian, inovasi semacam itu sangat rawan disalah-gunakan di satu segi, dan
mudah pula mengundang kontroversi sebagai akibat reaksi pro dan kontra terhadap
putusan DKPP. Mengapa demikian? Sebabnya ialah kesadaran mengenai pentingnya
perspektif ‘restorative justice’ itu masih sangat tipis di kalangan
masyarakat. Hukum pun masih dipahami hanya sebagai persoalan prosedur yang
bersifat formal. Hukum hanya dipandang sebagai kata-kata tekstual, bukan dan
belum dipahami sebagai instrumen keadilan yang bersifat substantif dengan
memberikan solusi keadilan yang pasti dan kepastian yang adil. Inovasi semacam
ini juga rawan disalahgunakan bagi pencari keadilan yang semu, yaitu DKPP rawan
dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi atau golongan dalam menghadapi
keputusan KPU yang tidak menguntungkan bagi partai politik atau pun pihak-pihak
terkait.[7]
Putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Final artinya
tidak tersedia lagi upaya hukum lain atau upaya hukum yang lebih lanjut sesudah
berlakunya putusan DKPP sejak ditetapkan dan diucapkan dalam sidang pleno
terbuka DKPP terbuka untuk umum. Mengikat artinya putusan itu langsung mengikat
dan bersifat memaksa sehingga semua lembaga penyelenggara kekuasaan negara dan
termasuk badan-badan peradilan terikat dan wajib melaksanakan putusan DKPP itu
sebagaimana mestinya. Pelaksanaan atau eksekusi putusan DKPP itu wajib
ditindak-lanjuti sebagaimana mestinya oleh KPU, Bawaslu, atau pun oleh
Pemerintah dan lembaga-lembaga yang terkait.
Putusan-putusan DKPP dan keputusan-keputusan administratif
atau yang biasa dikenal sebagai keputusan-keputusan tata usaha negara yang
melaksanakan putusan DKPP tersebut, tidak dapat dijadikan objek perkara di
pengadilan, khususnya di Pengadilan Tata Usaha Negara. Karena menurut UU
tentang Penyelenggara Pemilu, putusan DKPP itu bersifat final dan mengikat.
Sifat final dan mengikat ini sudah dipahami bersama oleh Ketua dan semua unsur
Pimpinan Mahkamah Agung dalam pertemuan bersama antara DKPP dan Pimpinan
Mahkamah Agung beberapa waktu yang lalu. Bahkan hal tersebut sudah lebih dulu
dikomunikasikan dengan pihak kepolisian dalam pertemuan konsultasi DKPP dengan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
Secara
normatif dan formal, putusan DKPP tidak berkaitan dengan proses tahapan
pemilihan umum. Sebabnya ialah, objectum litis perkara di DKPP hanya berkaitan
dengan isu persona aparat penyelenggara pemilihan umum, maka dengan sendirinya
putusan DKPP pun tidak mengandung akibat hukum terhadap proses atau tahapan
pemilihan umum. Objek perkara di DKPP juga tidak tergantung kepada ‘tempos
delicti’ atau saat kapan suatu perbuatan melanggar kode etik. Misalnya,
meskipun pemilihan Walikota Depok telah berlangsung 2 tahun sebelumnya dan
putusan sengketa hasil pemilu telah bersifat final dan mengikat berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi yang telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh
Komisi Pemilihan Umum, tetapi di kemudian hari terbukti adanya perbuatan
melanggar kode etika yang dilakukan oleh Ketua KPU Kota Depok dalam proses
pemilihan Walikota Depok 2 tahun sebelumnya itu, tetap saja DKPP berwenang
memeriksa dugaan pelanggaran kode etik yang terjadi 2 tahun sebelumnya itu.
Ternyata,
dari pemeriksaan yang bersifat terbuka oleh DKPP, terbukti bahwa Ketua KPU Kota
Depok memang telah melanggar kode etika, maka atas dasar itu ia diberhentikan
berdasarkan putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat. Namun, putusan DKPP
itu tidak dapat dijadikan alasan untuk memberhentikan Walikota yang telah
terpilih dan bahkan telah menjalankan tugasnya selama 2 tahun, meskipun Ketua
KPU Kota Depok telah diberhentikan berdasarkan putusan DKPP. Sebabnya adalah
bahwa antara persoalan pelanggaran kode etik aparat KPU dan proses pemilihan
Walikota dan bahkan dengan persoalan sengketa mengenai hasil pemilihan itu,
sama sekali tidak dapat dapat dikaitkan berdasarkan prinsip sebab-akibat atau
kausalitas.[8]
Salah
satu contoh kasusnya adalah: Berdasarkan
putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor
23-25/DKPP-PKE-I/2012, putusan tersebut merupakan putusan dalam pengaduan
perkara Nomor 055/I-P/L-DKPP/2012 tanggal 31 Oktober 2012 yang diregistrasi dengan
Nomor Perkara 25/DKPPPKE-I/2012 dan pengaduan Nomor 045/I-P/L-DKPP/2012 tanggal
29 Oktober 2012 yang diregistrasi dengan Nomor Perkara 26/DKPP-PKE-I/2012 yang
diajukan oleh Pengadu I yaitu, Muhammad,(Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia) dan
Pengadu II yaitu, Said Salahuddin (Pegiat Pemilu/Konsultan Sinergi Masyarakat
Untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA).
Muhammad (Ketua
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia) sebagai Pengadu I menemukan
adanya dugaan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu yakni pada ketentuan
Pasal 2 Juncto Pasal 26 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2011, Pasal 7 huruf d, Pasal
11 huruf a dan huruf c, dan pasal 16 huruf a, huruf b, dan huruf c, Peraturan
Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 Tahun
2012, Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum.
Bawaslu mengkualifikasikan temuan pelanggaran tersebut dengan menarik ke
dalam konstruksi etika, yakni Teradu Ketua dan Anggota Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia diduga tidak menghargai dan menghormati sesama lembaga,
tidak tegas, tidak prosedur, tidak tertib, dan tidak ada kepastian hukum, dalam
penundaan pengumuman penelitian administrasi hasil perbaikan Partai Politik.
Menyatakan pengaduan Pengadu terbukti untuk sebagian, dan membenarkan
rekomendasi Pengadu agar KPU mengikutsertakan partai politik yang tidak lolos
verifikasi administrasi untuk diberi kesempatan mengikuti verifikasi faktual
sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan KPU, dan memerintahkan kepada Komisi
Pemilihan Umum agar 18 (delapan belas) partai politik calon peserta pemilu,
yang terdiri atas 12 (dua belas) partai politik yang direkomendasikan oleh
Bawaslu ditambah 6 (enam) partai politik lainnya yang tidak lolos verifikasi
administrasi tetapi mempunyai hak konstitusional yang sama untuk diikutsertakan
dalam verifikasi faktual dengan tidak mengubah jadwal tahapan Pemilu dan
kedelapan belas partai politik tersebut di atas harus menyesuaikan dengan
ketentuan verifikasi faktual yang ditetapkan oleh KPU.
Analisis Yuridis Terhadap Putusan DKPP Nomor 23-25/DKPP-PKE-I/2012
adalah dugaan Putusan DKPP Nomor 23-25/DKPP-PKE-I/2012
Melampaui Kewenangannya berdasarkan pengaduan dari temuan-temuan pengadu,
jawaban Teradu dan setelah menjalani proses persidangan, pada 27 November 2012
akhirnya DKPP membacakan putusannya Nomor 23-25/DKPP-PKE-I/2012 yang pada
intinya memutuskan bahwa :
- Pihak Teradu yaitu Ketua dan Anggota KPU RI tidak terbukti mempunyai i’tikad buruk untuk melanggar kode etik penyelenggara Pemilu.
- Menyatakan Sekretaris Jenderal KPU, Wakil Sekretaris Jenderal KPU dan Ketua Pokja Verifikasi Partai Politik, serta Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal KPU, dan Wakil Kepala Biro Hukum melanggar kode etik penyelenggara Pemilu.
- Memrintahkan kepada KPU agar mengikutsertakan 18 partai politik yang tidak lolos verifikasi administrasi untuk diberi kesempatan mengikuti verifikasi faktual sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan KPU.
- Memerintahkan kepada KPU untuk melaksanakan Putusan ini, dan kepada Bawaslu untuk mengawasi pelaksanaan Putusan ini.
Terhadap Putusan DKPP Nomor 23-25/DKPP-PKE-I/2012 tersebut, kami
menyatakan bahwa DKPP telah keliru menilai pengaduan para pengadu dan bahkan
melampaui batas kewenangannya (out of authority). Sehingga menjadi alasan
kenapa putusan DKPP Nomor 23-25/DKPP-PKE-I/2012 sangatlah kontroversial dan
menimbulkan berbagai tanda tanya publik. Hal itu disebabkan karena DKPP
memberikan sebuah putusan yang tidak hanya memutus pengaduan pelanggaran kode
etik namun sudah menyentuh ranah teknis penyelenggaraan tahapan pemilu. Padahal
sebenarnya UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu memberikan batasan
kepada DKPP yang hanya memiliki tugas utama menjaga kode etik penyelenggara
pemilu. Oleh karena itu, DKPP dalam memutus perkara tersebut bisa dikatakan
sebagai pelanggaran terhadap prinsip ultra petita atau dilarang untuk
memberikan putusan diluar dari apa yang tidak diminta.
Selain itu, jika kita mengkaji secara mendalam terhadap Putusan DKPP,
maka kita secara jelas dapat menyatakan bahwa Putusan DKPP melampaui batas
kewenangannya (out of authority) yang tercermin pada pokok putusannya, yaitu
sebagai berikut :
1.
Tentang Putusan
DKPP yang merekomendasikan kepada KPU untuk menjatuhkan sanksi pelanggaran kode
etik penyelenggara Pemilu terhadap pihak terkait yaitu kepada Sekretaris
Jenderal KPU, Wakil Sekretaris Jenderal KPU dan Ketua Pokja Verifikasi Partai
Politik, serta Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal KPU, dan Wakil Kepala
Biro Hukum. Padahal, pihak-pihak terkait tersebut sesungguhnya tidak
termasuk para pihak dalam perkara Pelanggaran Kode Etik yang diadukan oleh
pengadu ke DKPP, karena pengadu hanya mengadukan Teradu yang terdiri dari Ketua
dan Anggota KPU RI.
Merujuk pada Pasal 1 angka 6 UU No. 15 Tahun 2011
menyatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga Penyelenggara Pemilu
yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan Pemilu.
Selanjutnya Pasal 55 UU No. 15 Tahun 2011 menjelaskan, untuk mendukung
kelancaran tugas dan wewenang KPU dibentuklah Sekretariat Jendral KPU. Sehingga
dapat diartikan UU No. 15 Tahun 2011 memberikan penjelasan bahwa, yang dimaksud
penyelenggara Pemilu adalah Komisoner KPU bukanlah Sekretariat Jendral KPU,
karena secara tegas Sekretariat Jendral KPU hanyalah berfungsi sebagai
pendukung dari tugas dan dan wewenang KPU sebagai penyelenggara Pemilu.
Apabila dilihat dari aspek hukum, maka DKPP dapat dinilai keliru dalam
menerapkan norma hukum. Karena sebenarnya Sekretariat jenderal KPU sebagai
birokrasi yang terdiri dari PNS tentu taat terhadap Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Pokok-pokok kepegawaian, PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang
Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan PP Nomor 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa
korps dan Kode Etik PNS. Sehingga Kode Etik yang dimiliki oleh Sekretariat
jenderal KPU sebagai birokrasi yang terdiri dari PNS tentunya berbeda dari Kode
Etik yang berlaku bagi Komisioner KPU. Sebagai PNS, tugas dan penilaian
terhadap kesekjenan harus berdasarkan undang-undang tentang PNS. Sedangkan DKPP
sebagai lembaga penegak etika penyelenggara pemilu harus berdasarkan pada
undang-undang penyelenggara pemilu.
Apalagi di dalam keterangannya, Sekjend KPU memaparkan beberapa point
yang pada intinya membantah tuduhan-tuduhan yang bahwa pihaknya melanggar kode
etik, seperti : Tidak benar kalau Sekjend KPU kesulitan untuk menghadirkan 68
personil untuk melaksanakan verifikasi partai politik. Begitu juga Biro Hukum
telah bekerja optimal seperti penyiapan PKPU, penyiapan aplikasi bekerjasama
dengan BPPT, yang tidak sesuai dengan pernyataan bahwa dukungan Sekretariat
Jenderal tidak optimal terhadap kebijakan KPU,saat RDP antar KPU dan
Kimisi II DPR tanggal 23 Oktober 2012.
2.
Berkaitan dengan
Putusan DKPP yang menyatakan bahwa, agar KPU mengikutsertakan 18 partai politik
yang tidak lolos verifikasi administrasi untuk diberi kesempatan mengikuti
verifikasi faktual. Putusan ini sesungguhnya menyatakan bahwa 18 partai politik
yang sebelumnya oleh KPU dinyatakan tidak lolos verifikasi administrasi, maka
melalui Putusan DKPP ini secara otomatis dinyatakan 18 partai politik telah
lolos verifikasi administrasi dan berhak mengikuti tahap selanjutnya yaitu
tahap verifikasi faktual.
Padahal sebenarnya kelolosan dalam tahap verifikasi administrasi oleh
KPU menjadi syarat mutlak bagi keikutsertaan tahap verifikasi faktual, seperti
dijelaskan dalam Peraturan KPU yang mengatur tentang tahap pendaftaran dan
verifikasi peserta pemilu. Sehingga nantinya ketika KPU menjalankan perintah
DKPP maka proses verifikasi faktual atas 18 parpol yang sebulumnya tidak lolos
verifikasi administrasi adalah tidak memiliki dasar hukum.
Putusan DKPP yang memerintahkan KPU terhadap 18 parpol yang tidak lolos
verifikasi administrsi untuk ikut serta pada tahap verifikasi faktual, bukanlah
merupaka ranah etik penyelenggara pemilu, tetapi merupakan sengketa
administrasi pemilu. Maka berdasarkan UU No. 8 Tahun 2012 lembaga yang
mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa administrasi pemilu merupakan
kewenangan Bawaslu dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), bukan ranah
kewenangan DKPP.
Selain itu, Pasal 4 ayat (2) huruf c UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD menyatakan bahwa, tahapan penyelenggaraan
Pemilu meliputi pendaftaran dan verifikasi Peserta Pemilu. Karena verifikasi
parpol adalah bagian dari tahapan pemilu, maka terhadap Putusan DKPP yang
memerintahkan KPU untuk melakukan verifikasi terhadap 18 parpol yang tidak
lolos tahap verifikasi administrasi adalah bentuk intervensi DKPP terhadap KPU
yang menyelenggarakan pemilu dan hal tersebut juga sangat berbahaya karena
dapat mengancam independensi KPU sebagai penyelenggara pemilu.
3.
Putusan DKPP
juga memerintahkan kepada KPU agar melakukan verifikasi faktual dengan “tidak
mengubah jadwal tahapan Pemilu” serta harus mengikutsertakan 18 partai politik
yang tidak lolos verifikasi administrasi oleh KPU untuk ikut verifikasi
faktual. Jadwal tahapan Pemilu yang berlaku selanjutnya adalah jadwal tahapan
Pemilu yang berlaku pada saat Putusan DKPP No. 25-26/DKPP-PKE-I/2012 dibacakan.
Yaitu Peraturan KPU No. 15 tahun 2012, tetapi pasca dibacakannya putusan DKPP,
KPU telah memperbaruhinya kembali dengan Peraturan KPU No. 18 tahun 2012.
Terhadap putusan DKPP ini dapat dinilai tidak realistis bagi KPU, karena
secara waktu sekarang telah sampai pada masa perbaikan hasil verifikasi
faktual. Maka Putusan ini bukan malah menyelesaikan permasalahan malah
sebaliknya menimbulkan ketidakpastian hukum dan kerancuan dalam penyelenggaraan
pemilu. Putusan DKPP tersebut terlihat jelas bahwa lagi-lagi DKPP melampaui
kewenangannya yang dimiliki (out of authority) yang sebenarnya tidak ada sama
sekali kaitannya dengan kode etik, melainkan memutuskan sampai menyentuh ranah
teknis penyelenggaraan tahapan pemilu yang menjadi ranah kekuasaan KPU.
4.
Yang terakhir
adalah berkaitan dengan Putusan DKPP No. 25-26/DKPP-PKE-I/2012 yang
“memerintahkan” kepada KPU untuk melaksanakan Putusan ini, dan kepada Bawaslu
untuk mengawasi pelaksanaan Putusan ini. Mengingat berdasarkan UU No. 15 Tahun
2011, putusan DKPP tersebut bersifat final dan mengikat, dan tidak terdapat
upaya hukum yang dapat membatalkan putusan DKPP tersebut. Maka berarti melekat
dengan seluruh konsekuensinya KPU harus menerima, tidak ada kata lain bagi KPU
kecuali menjalankan seluruh keputusan DKPP. Padahal Putusan DKPP tersebut
menimbulkan dua sisi yang saling kontradiktiktif, yaitu disatu sisi DKPP
memutus perkara yang diluar dari kewenangannya (out of authority) tetapi disisi
lain DKPP memerintahkan agar KPU melaksanakannya. Sehingga pada akhirnya
putusan DKPP tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum.
Putusan DKPP tersebut dapat menimbulkan preseden buruk dan legitimasi
secara tidak langsung kepada DKPP dikemudian hari untuk dapat mengintervensi
tahapan-tahapan pemilu selanjutnya dengan alasan ada pengaduan terhadap
penyelenggara pemilu yang melanggar kode etik. Jika hal tersebut menjadi
kenyataan, maka DKPP akan menjadi lembaga yang seenaknya dapat memutuskan
perkara yang bukan merupakan tugas dan wewenangnya.
Analisis terhadap Proses Persidangan nya
adalah :
1. Sidang DKPP atas
dugaan pelanggaran kode etik komisioner KPU pertama kali dilaksanakan, pada
proses persidangan pertama ini Komisioner KPU Ida Budiati menuding
terkendalanya tahapan verifikasi karena ulah Sekretariat Jenderal yang
melakukan pembangkangan birokrasi. Namun dalam sidang kedua yang dilakukan,
Sekretariat Jenderal KPU dalam sidang kedua membantah pernyataan Komisioner KPU
Ida Budiati. Sekretariat Jenderal KPU Suripto Bambang dalam pledoinya menuding
Ida membohongi sidang DKPP dengan menyatakan bahwa, sehubungan dengan
pernyataan bahwa Sekretariat Jenderal mengadakan rapat tanggal 24 Oktober 2012
adalah bagian dari pemboikotan Pemilu dan pembangkangan birokrasi hal itu
adalah tidak benar.
Namun DKPP tidak mempertimbangkan sama sekali pembelaan dari Sekretariat
Jenderal KPU dengan tetap memutuskan bahwa Sekretariat Jenderal KPU terbukti
melanggar Kode Etik dan memerintahkan KPU untuk memberikan saksi. Putusan DKPP
tersebut jauh menyimpang dari koridor kewenangannya yang diatur dalam UU No 15
Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, disamping itu juga salah dalam
menerapkan norma hukum.
2. Adapun, dalam
sidang ketiga yang dilaksanakan, dalam persidangan terungkap fakta mengenai Sistem
Informasi Partai Politik (Sipol) dengan keterlibatan International Foundation
for Electoral Systems (IFES) dalam tahapan verifikasi partai politik. Pada
persidangan itu pengadu menyatakan bahwa, keterkaitan IFES dalam program SIPOL
ini dinilai sebagai ketidakmandirian Teradu dan karena itu merupakan
pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu karena merupakan bantuan asing. Hal
itu dijelaskan dalam Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
dinyatakan, bahwa asas yang menjadi pedoman bagi setiap anggota penyelenggara
Pemilu adalah "mandiri". Namun DKPP memutuskan lain dengan menyatakan
para Teradu tidak terbukti mempunyai i’tikad buruk untuk melanggar kode etik
penyelenggara Pemilu.
DKPP cenderung tidak memperhatikan aspek hukum dalam menyikapi
keterlibatan IFES dalam tahapan verifikasi partai politik. Tetapi DKPP memutuskan
hanya berdasarkan output atau hasil dari aplikasi SIPOL yang justru
membingungkan dan menambah beban sebagian partai politik yang mengikuti
verifikasi. Berdasarkan hal itu DKPP berkesimpulan bahwa dalam penerapan SIPOL
para Teradu terbukti tidak merencanakan dengan baik dan tidak sanggup mengatasi
kekurangan dan kesalahan dalam penerapannya. Sehingga DKPP memutuskan para
Teradu tidak terbukti mempunyai i’tikad buruk untuk melanggar kode etik
penyelenggara Pemilu.
Dalam hal ini, seharusnya DKPP justru lebih memperhatikan terkait dengan
aspek hukum keterlibatan IFES dalam tahapan verifikasi partai politik, bukan
malah mempertimbangkan aplikasi SIPOL.[9]
0 komentar:
Posting Komentar