BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.           Pengertian Pemilihan Umum
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat dengan tujuan untuk menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Sebagaimana diamanatkan di dalam UUD 1945, Pemilu diselenggarakan dengan memedomani asas-asas Pemilu, yakni Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia, serta Jujur dan Adil (Luber dan Jurdil).
Pemilihan kepala negara atau dikenal dengan pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakilnya, serta memilih wakil rakyat atau anggota legislatif dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) khususnya di indonesia. Pemilihan umum dibagi menjadi dua, yaitu ada yang dipilih secara langsung dan ada yang dipilih oleh wakil rakyat, yakni MPR.[1]
B.            Asas Pemilihan Umum
Sesuai dengan isi Ketetapan MPRS No.XI/MPRS/1966 dan No. XLII/MPRS/1968 tentang pemilu, maka pemilihan umum anggota-anggota badan permusyawaratan/ perwakilan rakyat yang diatur dengan undang-undang ini bersifat umum, langsung bebas dan rahasia
Adapun yang dimaksud dengan pemilihan yang bersifat:
  1. Umum ialah bahwa pada dasarnya semua warga negara indonesia yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia, yaitu telah berusia 17 tahun atau telah kawin berhak untuk ikut memilih dalam pemilihan dan yang telah berusia 21 tahun berhak memilih.
  2. Langsung ialah bahwa rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya, menurut hati nuraninya tanpa perantara dan tanpa tingkatan.
  3. Bebas ialah bahwa tiap-tiap warga negara yang berhak memilih dalam menggunakan haknya dijamin keamaanannya untuk melakukan pemilihan menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan ataupun paksaan dari siapa pun/ dengan apapun juga.
  4. Rahasia ialah bahwa para pemilih dijamin oleh peraturan, bahwa tidak akan diketahui oleh pihak siapa pun dan dengan jalan apapun, siapa yang dipilihnya. Pemilih memberikan suaranya pada suara-suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa suaranya diberikan (secret ballot).[2]

C.           Tujuan Pemilihan Umum
Dalam mewujudkan penyusunan tata kehidupan yang dijiwai semangat cita-cita revolusi kemerdekaan Republik Indonesia Proklamasi 17 agustus 1945 sebagaimana tersebut dalam pancasila/Undang-Undang Dasar 1945 maka penyusunan tata kehidupan itu haruslah dilakukan dengan jalan pemilihan umum.
Dengan demikian, diadakan pemilihan umum itu tidaklah sekedar untuk memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk daalam lembaga permusyawaratan perwakilan rakyat saja (MPR, DPR, DPRD) dan juga tidak memilih wakil-wakil untuk menyusun negara baru dengan dasar falsafah negara baru, tetapi suatu pemilihan wakil-wakil rakyat oleh yang membawakan isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan mempertahankan dan mengembangkan Kemerdekaan Negara Republik Indonesia bersumber pada proklamasi 17 Agustus 1945 guna memenuhi dan mengemban amanat Penderitaan Rakyat.
Dari uraian di atas jelaslah, bahwa tujuan utama dari pemilihan umum menurut undang-undang pemilihan umum ini adalah:
  1. Memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk dalam lengkap permusyawaratan/perwakilan.
  2. Memilih wakil-wakil rakyat yang mempertahankan tegak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, negara proklamasi 17 Agustus 1945.
  3. Memilih wakil rakyat yang akan mempertahankan dasar falsafah yaitu Pancasila.
  4. Memilih wakil rakyat yang benar-benar membawakan isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan mempertahankan dan mengembangkan kemerdekaan Negara Kesatuan RI.

Sedangkan fungsi pemilihan umum adalah :
  1. Mempertahankan dan mengembangkan sendi-sendi demokrasi di Indonesia
  2. Mencapai suatu masyarakat yang adil dan makmur beradasarkan Pancasila
  3. Menjamin suksesnya perjuangan Orde Baru, yaitu tetap tegaknya Pancasila dan dipertahankannya UUD 1945.

D.           Sejarah Singkat DKPP
Dalam rangka mewujudkan visi pembangunan bangsa melalui peningkatan kualitas demokrasi maka diperlukan institusi-institusi negara. untuk mengawal proses penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilu Kada di seluruh Indonesia. Dewan Kehormatan Penyelengara Pemilihan Umum Republik Indonesia atau disingkat DKPPRI merupakan lembaga yang dibentuk dalam praktek demokrasi modern di Indonesia. DKPP merupakan produk wacana perbaikan kualitas demokrasi khususnya penyelenggara pemilu. Pemilu seakan-akan menjadi beban sejarah politik tersendiri bagi perubahan, bahkan begitu berharganya pemilu dibutuhkan lembaga khusus yang permanen melakukan penegakan kode etik guna menghasilkan pemilu yang tidak saja luber jurdil tapi mewujudkan proses dan hasil pemimpin yang betul-betul bermartabat.
Keberadaan DKPP bukan merupakan hal baru karena sebelumnya sudah ada yang namanya Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DKKPU) sejak tahun 2008. DKPPU adalah institusi yang difungsikan Undang-undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran kode etik bagi penyelenggara. Namun, wewenangnya tidak begitu kuat, lembaga ini hanya difungsikan memanggil, memeriksa dan menyidangkan hingga memberikan rekomendasi kepada KPU dan bersifat Ad Hoc.
            DKKPU 2008-2011 dari sisi kompetensi keanggotaan cukup baik tetapi dai aspek struktural kurang balance karena didominasi oleh penyelenggara pemilu. DKKPU beberapa kali dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie dan prestasinya pun tidak mengecewakan publik termasuk pemerintah dan DPR memberikan apresiasi yang positif. Terobosan memberhentikan beberapa anggota KPUD Provinsi/Kabupaten/Kota.             Dari prestasi yang baik dan dengan menampilkan performa kelembagaan DKKPU yang produktif di mata publik inilah yang kemudian menjadi titik tolak lahirnya institusi DKPP. Pemerintah, DPR, Lembaga Yudikatif, dan lembaga-lembaga pemantau pemilu sontak mendorong misi mulia ini dengan meningkatkan kapasitas wewenang dan memastikan institusi ini jadi tetap dan tidak hanya menangani kode etik pada KPU tapi juga bawaslu di tiap tingkatan lewat produk hukum UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
            Keberadaan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang akan menegakkan kode etik penyelenggara Pemilu dipandang cukup penting sehingga diusulkan agar dibentuk secara permanen. Berbeda dengan Dewan Kehormatan yang ada sebelumnya. DKPP merupakan gabungan antara unsur KPU (1 orang), Bawaslu (1 orang), unsur masyarakat (4 orang), dan Partai Politik dengan komposisi terbanyak (9 orang). Adapun 4 orang dari unsur masyarakat diusulkan oleh DPR (2 orang) dan Presiden (2 orang).
Mencermati komposisi tersebut, terlihat adanya keinginan partai politik untuk mendominasi dewan kehormatan. Komposisi demikian tidak memiliki relevansi dalam pembangunan mekanisme penegakan etika penyelenggara. DK dengan keanggotaan dari unsur partai politik memperlihatkan adanya kepentingan untuk mengontrol KPU sehingga dapat menguntungkan kelompok tertentu. DK akan menjadi alat baru untuk mengendalikan penyelenggara.[3]
            DKPP secara resmi lahir pada tanggal 12 Juni 2012 dengan komposisi keanggotaa yang cukup membanggakan. Lima anggota DKPP periode 2012-2017 ini terdiri dari tiga perwakilan unsur DPR yakni Jimly Asshiddiqie, Nur Hidayat Sardini, dan Saut Hamonangan Sirait, Mth, sedangkan unsur pemerintah Abdul Bari Azed dan Velina Singka Subekti, serta dari unsur penyelenggara KPU dan Bawaslu Ida Budhiati, Nelson Simanjuntak.
            Track Record kelimanya tidak diragukan Jimly Asshiddiqie misalnya sejak tahun 2008-2011 jadi ketua DKKPU, Nur Hidayat Sardini pernah jadi ketua Panwas Provinsi terbaik di Indonesia, dan pernah pula jadi Ketua Bawaslu, sedangkan Saut Hamonangan Sirait pernah jadi anggota Panwas Provinsi Jateng dan sempat jadi anggota KPU Pusat, sementara Velina Singka Subekti merupakan mantan anggota KPU 2004, dan Abdul Bari Azed beberapa kali jadi Dirjen Kemenkumham RI, dan Ida Budhiati mantan anggota KPUD Provinsi Jateng serta Nelson Simanjuntak sebelumnya aktif sebagai tenaga asistensi di bawaslu.
            Sejak dibentuk DKPP langsung aktif bergerak cepat, kreatif, profesional, dan produktif, namun tetap dalam bingkai amanat UU. Kelimanya menyadari betul betapa jalan terjal yang harus dilalui mereka dalam rangka menegakkan harkat dan martabat politik bangsa khususnya melalui penyelenggara pemilu. Mereka juga berkomitmen terus meningkatkan kapasitas penyelenggara pemilu dari dimensi SDM dan infrastruktur guna terwujudnya kualitas bangsa dalam berdemokrasi dengan tujuan menghasilkan pemimpin bangsa yang amanah.
E.            Landasan Kerja DKPP
            Terdapat beberapa landasan kerja DKPP yang diungkapkan oleh Jimly Asshiddiqie, dalam jurnalnya mengenai pengenalan tentang DKPP untuk penegak hukum, yaitu:
  1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum;
  3. UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum;
  4. Peraturan DKPP, KPU, dan Bawaslu tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum, yaitu:

  • Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu;
  • Peraturan KPU No. 13 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu;
  • Peraturan BAWASLU No. 11 Tahun 2012 tentang Kode Etik PenyelenggaraPemilu;

  5.    Peraturan DKPP Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum.[4]     
Dalam melaksanakan asas kepentingan umum, Penyelenggara Pemilu berkewajiban:
  1. memberikan informasi dan pendidikan pemilih yang mencerahkan pikiran dan kesadaran pemilih;
  2. memastikan pemilih memahami secara tepat mengenai proses Pemilu;
  3. Membuka akses yang luas bagi pemilih dan media untuk berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan Pemilu;
  4. menciptakan kondisi yang kondusif bagi pemilih untuk menggunakan hak pilihnya atau memberikan suaranya; dan
  5. memastikan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung bagi pemilih yang membutuhkan perlakuan khusus dalam menggunakan dan menyampaikan hak pilihnya. [5] 
F.            Sekertariat DKPP
Sekretariat DKPP dipimpin oleh kepala sekretariat yang berasal dari PNS, yaitu jabatan struktural eselon II. Kepala sekretariat DKPP bertanggung jawab kepada DKPP. Kepala sekretariat DKPP diangkat dan diberhentikan dengan keputusan Mendagri atas usul DKPP. Calon kepala sekretariat DKPP diusulkan oleh DKPP sebanyak 3 orang calon kepada menteri dalam negeri untuk dipilih dan ditetapkan 1 orang oleh Mendagri sebagai kepala sekretariat DKPP. Pegawai sekretariat DKPP berasal dari PNS dan tenaga profesional yang diperlukan. Pola organisasi, tata kerja sekretariat dan hak keuangan anggota DKPP ditetapkan dengan Perpres berdasarkan usulan DKPP.
G.           Anggaran
Anggaran belanja KPU, KPU Propinsi/Kabupaten/Kota, Bawaslu, DKPP, Sekjen KPU, Sekretariat KPU Propinsi/Kabupaten/Kota, sekretariat Bawaslu serta sekretariat DKPP bersumber dari APBN. Pendanaan penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD dan Pilpres dianggarkan dalam APBN. Sekjen KPU mengoordinasikan pendanaan penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan KPU, KPU Propinsi beserta jajaran dibawahnya. Sekjen Bawaslu mengoordinasikan anggaran belanja Bawaslu, Panwaslu Propinsi dan jajaran dibawahnya. Sedangkan kepala sekretariatan DKPP mengoordinasikan anggaran belanja DKPP. Pendanaan penyelenggaraan Pemilukada dianggarkan dalam APBD. Kedudukan keuangan tersebut diatur dalam peraturan presiden.
H.           Tugas dan Wewenang DKPP dalam Melakukan Pengawasan Kepada Penyelenggara Pemilu
Berdasarkan ketentuan UU tentang Pemilu, dalam penyelenggaraan pemilihan umum terdapat 3 fungsi yang saling berkaitan yang diinstitusionalisasikan dalam 3 kelembagaan, yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP. DKPP atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum bukan lembaga penyelenggara pemilu, tetapi tugas dan kewenangannya terkait dengan para pejabat penyelenggara pemilu.
            Lembaga penyelenggara pemilu menurut Pasal 23E UUD 1945 adalah “komisi pemilihan umum”, tetapi oleh undang-undang dijabarkan menjadi terbagi ke dalam 2 kelembagaan yang terpisah dan masing-masing bersifat independen, yaitu “Komisi Peilihan Umum” atau KPU, dan “Badan Pengawas Pemilihan Umum” atau BAWASLU (Bawaslu).
            Tugas dan kewenangan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum) berkaitan dengan orang per orang pejabat penyelenggara pemilihan umum, baik KPU maupun Bawaslu. Dalam arti sempit, KPU hanya terdiri atas para komisioner di tingkat pusat, provinsi, dan di tingkat kabupaten/kota. Demikian pula dalam arti sempit, Bawaslu hanya terdiri atas pimpinan atau anggota Bawaslu tingkat pusat dan Bawaslu tingkat provinsi.
Namun, dalam arti luas, penyelenggara pemilihan umum itu, baik dalam lingkungan KPU maupun Bawaslu, menyangkut pula para tugas yang bekerja secara tetap ataupun yang bekerja secara tidak tetap atau adhoc.
            Didalam Pasal 110 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum menjelaskan bahwa DKPP menyusun dan menetapkan satu kode etik untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, serta Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
            DKPP memiliki tugas dan wewenang untuk menegakkan dan menjaga kemandirian, intregitas, dan kredibilitas penyelenggara Pemilu. Secara lebih spesifik, DKPP dibentuk untuk memeriksa, megadili, dan memutuskan pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota KPU, anggota Bawaslu, dan jajaran di bawahnya.
[6]Mekanisme pemberhentian pejabat penyelenggara pemilihan umum (pemilu) dinyatakan tidak menjadi wewenang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ini karena DKPP merupakan lembaga yang hanya berwenang memutus perkara pelanggaran kode etik dan bukan perkara administrasi.
Donny mengatakan, putusan DKPP terkait pelanggaran etik bersifat final dan mengikat. Putusan juga tidak dapat diajukan upaya hukum lain terhadap putusan yang dikeluarkan. Menurut dia, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kehormatan penyelenggara pemilu.
Pasca putusan yang memberikan sanksi teguran tertulis, pemberhentian sementara, maupun pemberhentian tetap pejabat penyelenggara pemilu yang diduga melanggar kode etik, maka pelaksanaannya bukan lagi menjadi wewenang DKPP, melainkan KPU dan Bawaslu.
Sementara itu, Anggota Bawaslu Divisi Hukum dan Penindakan Pelanggaran, Endang Wihdatiningtyas mengatakan, wewenang DKPP dalam memberikan sanksi pemberhentian kepada pejabat penyelenggara pemilu tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Sebelumnya, mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta, Ramdansyah, merasa tidak terima dengan putusan DKPP yang memberhentikan pejabat penyelenggara pemilu. DKPP telah bertindak melampaui wewenangnya.

 Maka tugas kita ialah bagaimana menjadikan nilai (value) sebagai sistem norma yang bisa dipercayai oleh semua masyarakat dalam kaitan kehadiran eksistensi penyelenggara Pemilu. Menjadikan keberadaan DKPP sebagai suatu instrumen sosial politik dalam sistem berbangsa yang mampu menarik perhatian publik atau setiap orang, atau dalam bahasa modern disebut the believed capacity of any object to statistfy a human desire. Kita ingin menjadikan lembaga DKPP sebagai instrumen demokrasi yang mencitrakan dirinya dengan nilai kebaikan bersama tanpa ada keberpihakan.[7]
I.              DKPP sebagai pengadilan ETIKA.
            DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum) merupakan perkembangan lebih lanjut dari lembaga DK-KPU DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum) merupakan perkembangan lebih lanjut dari lembaga DK-KPU (Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum) yang sudah ada sebelumnya yang diatur berdasarkan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.
            Sejak UU No. 22 Tahun 2007, putusan Dewan Kehormatan dinyatakan bersifat final dan mengikat, sehingga oleh karena itu dapat dikatakan memiliki karakter dan mekanisme kerja seperti lembaga peradilan. Oleh karena itu, sejak terbentuknya DK-KPU pertama kali pada tahun 2009, dimana pemilihan menjadi ketuanya secara berturut-turut selama tahun 2009 dan 2010, mekanisme kerja Dewan Kehormatan ini didesain sebagai badan peradilan etika yang menerapkan semua prinsip peradilan modern.
Beberapa prinsip penting yang dipraktikkan dalam penyelenggaraan peradilan etik oleh DK-KPU dan juga oleh Dewan Keormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang ada sekarang, misalnya, adalah prinsip-prinsip ‘audi et alteram partem’, prinsip independensi, imparsialitas, dan transparansi. Dengan diberlakukannya prinsip-prinsip tersebut, maka semua pihak yang terkait dengan perkara wajib didengarkan dalam persidangan yang diselenggarakan secara terbuka, dimana para anggota DKPP bertindak sebagai hakim yang menengahi pertentangan untuk mengatasi konflik dan memberikan solusi yang adil.
Sebagai pengadilan, para anggota DKPP juga bersikap netral, pasif, dan tidak memanfaatkan kasus-kasus yang timbul untuk popularitas pribadi. Para anggota dilarang menikmati pujian yang timbul dari putusan, dan sebaliknya dilarang pula tersinggung atau marah karena dikritik oleh masyarakat yang tidak puas akan putusan DKPP. Pendek kata, sebagai lembaga peradilan etika, DKPP juga harus menjadi contoh mengenai perilaku etika dalam menyelenggarakan sistem peradilan etika yang menyangkut aneka kepentingan yang saling bersitegang antara para peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu atau antara masyarakat pemilih (voters) dengan penyelenggara pemilu, ataupun di antara sesama penyelenggara pemilu sendiri, khususnya antara aparat KPU dan aparat Bawaslu.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu memanggil dan menyidangkan kasus dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu selalu berpedoman pada Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum. DKPP berwenang memutuskan dan menetapkan hasil sidang-sidang pemeriksaan melalui rapat pleno anggota DKPP dan menyampaikan Putusan kepada pihak-pihak terkait terutama Bawaslu dan KPU untuk ditindaklanjuti. KPU wajib melaksanakan putusan DKPP dan Bawaslu diperintahkan untuk mengawasi pelaksanaan putusan dimaksud.
Berdasarkan tugas tersebut maka Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu secara legal formal memiliki wewenang untuk memanggil para pengadu dan teradu yang menurut pengaduan atau laporan diduga melakukan pelanggaran kode etik dengan tujuan penyelenggara Pemilu dan pihak terkait lain memberikan penjelasan terkait duduk perkara yang sebenarnya sekaligus bagi penyelenggara melakukan pembelaan atas tuduhan-tuduhan yang dilimpahkan kepada mereka. [8]
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu berwenang memanggil para pengadu atau pelapor, para saksi, dan atau pihak-pihak lain dengan maksud dimintai keterangan termasuk dokumen serta bukti-bukti lain. Dan salah satu wewenang DKPP yang paling menentukan kecenderungan perbaikan kualitas Pemilu dari penyelenggara yakni memberikan sanksi khususnya bagi penyelenggara Pemilu yang benar-benar terbukti berdasarkan data dan fakta persidangan menunjukan melanggar kode etik.
Sebagai lembaga kehormatan penyelenggara Pemilu yang kedudukannya independen dan bukan merupakan alat kelengkapan KPU dan Bawaslu, kedudukan DKPP mandiri dalam mengeluarkan setiap putusan. DKPP mengeluarkan putusan setelah melakukan verifikasi laporan yang masuk, dengan memeriksa para saksi, memerhatikan bukti-bukti dan mengambil putusan dalam rapat pleno. Tidak ada yang salah dengan putusan final DKPP, karena putusan sejenis pun juga telah sering dikeluarkan oleh komisi etik lainnya. Menurutnya, DKPP tidak bertujuan menegasikan pengawasan yang dilakukan oleh KPU maupun Bawaslu, karena sesuai ketentuan, DKPP hanya menangani pelanggaran kode etik, sedangkan KPU berwenang menindak pelanggaran pemilu.
Senada dengan keterangan pemerintah, Endang Widianingtyas dari Divisi Hukum Bawaslu menilai, keputusan Bawaslu yang memberhentikan Ramdansyah dari jabatannya sebagai ketua Panwaslu DKI Jakarta pada 16 November 2012, telah tepat dan sesuai mekanisme hukum, karena hanya menindaklanjuti dan melaksanakan putusan DKPP yang memerintahkan pemberhentian tersebut.
Pemberhentian terhadap Ramdansyah terkait laporan M. Said tentang iklan asosiasi pedagang pasar se-Indonesia, Ramdan mengantarkan gugatan tim sukses salah satu pasangan calon ke Polda Metro Jaya. Siapa saja bisa langsung melaporkan ketidaknetralan penyelenggara Pemilu pada DKPP, tidak harus melalui Bawaslu. Masyarakat umum bisa langsung ke DKPP," urainya.
Di lain pihak, Ramdansyah saat ditemui Media MK usai persidangan kembali menegaskan keberatan atas pemberhentiannya sebagai ketua Panwas DKI Jakarta. Seharusnya DKPP hanya mengeluarkan rekomendasi dan bukan sebuah putusan yang sifatnya final dan mengikat yang menutup haknya untuk menempuh upaya hukum lanjutan. Dalam hal ini, ia telah mengajukan gugatan ke PTUN yang juga menyebut telah terjadi kekeliruan hukum, karena DKPP yang bukan lembaga peradilan telah mengeluarkan putusan yang melebihi kewenangannya

0 komentar:

Posting Komentar