BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Pemilihan Umum
Pemilihan
Umum (Pemilu) merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat dengan tujuan untuk
menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Sebagaimana diamanatkan di dalam UUD
1945, Pemilu diselenggarakan dengan memedomani asas-asas Pemilu, yakni Langsung,
Umum, Bebas, dan Rahasia, serta Jujur dan Adil (Luber dan Jurdil).
Pemilihan
kepala negara atau dikenal dengan pemilihan umum untuk memilih presiden dan
wakilnya, serta memilih wakil rakyat atau anggota legislatif dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) khususnya di indonesia. Pemilihan umum dibagi menjadi
dua, yaitu ada yang dipilih secara langsung dan ada yang dipilih oleh wakil
rakyat, yakni MPR.[1]
B.
Asas
Pemilihan Umum
Sesuai
dengan isi Ketetapan MPRS No.XI/MPRS/1966 dan No. XLII/MPRS/1968 tentang pemilu,
maka pemilihan umum anggota-anggota badan permusyawaratan/ perwakilan rakyat
yang diatur dengan undang-undang ini bersifat umum, langsung bebas dan rahasia
Adapun
yang dimaksud dengan pemilihan yang bersifat:
- Umum ialah bahwa pada dasarnya semua warga negara indonesia yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia, yaitu telah berusia 17 tahun atau telah kawin berhak untuk ikut memilih dalam pemilihan dan yang telah berusia 21 tahun berhak memilih.
- Langsung ialah bahwa rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya, menurut hati nuraninya tanpa perantara dan tanpa tingkatan.
- Bebas ialah bahwa tiap-tiap warga negara yang berhak memilih dalam menggunakan haknya dijamin keamaanannya untuk melakukan pemilihan menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan ataupun paksaan dari siapa pun/ dengan apapun juga.
- Rahasia ialah bahwa para pemilih dijamin oleh peraturan, bahwa tidak akan diketahui oleh pihak siapa pun dan dengan jalan apapun, siapa yang dipilihnya. Pemilih memberikan suaranya pada suara-suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa suaranya diberikan (secret ballot).[2]
C.
Tujuan
Pemilihan Umum
Dalam
mewujudkan penyusunan tata kehidupan yang dijiwai semangat cita-cita revolusi
kemerdekaan Republik Indonesia Proklamasi 17 agustus 1945 sebagaimana tersebut
dalam pancasila/Undang-Undang Dasar 1945 maka penyusunan tata kehidupan itu
haruslah dilakukan dengan jalan pemilihan umum.
Dengan
demikian, diadakan pemilihan umum itu tidaklah sekedar untuk memilih wakil-wakil
rakyat untuk duduk daalam lembaga permusyawaratan perwakilan rakyat saja (MPR,
DPR, DPRD) dan juga tidak memilih wakil-wakil untuk menyusun negara baru dengan
dasar falsafah negara baru, tetapi suatu pemilihan wakil-wakil rakyat oleh yang
membawakan isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan mempertahankan
dan mengembangkan Kemerdekaan Negara Republik Indonesia bersumber pada
proklamasi 17 Agustus 1945 guna memenuhi dan mengemban amanat Penderitaan Rakyat.
Dari
uraian di atas jelaslah, bahwa tujuan utama dari pemilihan umum menurut
undang-undang pemilihan umum ini adalah:
- Memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk dalam lengkap permusyawaratan/perwakilan.
- Memilih wakil-wakil rakyat yang mempertahankan tegak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, negara proklamasi 17 Agustus 1945.
- Memilih wakil rakyat yang akan mempertahankan dasar falsafah yaitu Pancasila.
- Memilih wakil rakyat yang benar-benar membawakan isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan mempertahankan dan mengembangkan kemerdekaan Negara Kesatuan RI.
Sedangkan
fungsi pemilihan umum adalah :
- Mempertahankan dan mengembangkan sendi-sendi demokrasi di Indonesia
- Mencapai suatu masyarakat yang adil dan makmur beradasarkan Pancasila
- Menjamin suksesnya perjuangan Orde Baru, yaitu tetap tegaknya Pancasila dan dipertahankannya UUD 1945.
D.
Sejarah Singkat DKPP
Dalam rangka mewujudkan visi pembangunan bangsa melalui peningkatan
kualitas demokrasi maka diperlukan institusi-institusi negara. untuk mengawal
proses penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilu Kada di seluruh Indonesia.
Dewan Kehormatan Penyelengara Pemilihan Umum Republik Indonesia atau disingkat
DKPPRI merupakan lembaga yang dibentuk dalam praktek demokrasi modern di
Indonesia. DKPP merupakan produk wacana perbaikan kualitas demokrasi khususnya
penyelenggara pemilu. Pemilu seakan-akan menjadi beban sejarah politik
tersendiri bagi perubahan, bahkan begitu berharganya pemilu dibutuhkan lembaga
khusus yang permanen melakukan penegakan kode etik guna menghasilkan pemilu
yang tidak saja luber jurdil tapi mewujudkan proses dan hasil pemimpin yang
betul-betul bermartabat.
Keberadaan DKPP bukan merupakan hal baru karena sebelumnya sudah ada yang
namanya Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DKKPU) sejak tahun 2008. DKPPU
adalah institusi yang difungsikan Undang-undang No. 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran kode etik bagi
penyelenggara. Namun, wewenangnya tidak begitu kuat, lembaga ini hanya
difungsikan memanggil, memeriksa dan menyidangkan hingga memberikan rekomendasi
kepada KPU dan bersifat Ad Hoc.
DKKPU
2008-2011 dari sisi kompetensi keanggotaan cukup baik tetapi dai aspek
struktural kurang balance karena
didominasi oleh penyelenggara pemilu. DKKPU beberapa kali dipimpin oleh Jimly
Asshiddiqie dan prestasinya pun tidak mengecewakan publik termasuk pemerintah dan
DPR memberikan apresiasi yang positif. Terobosan memberhentikan beberapa
anggota KPUD Provinsi/Kabupaten/Kota. Dari prestasi yang baik dan dengan
menampilkan performa kelembagaan DKKPU yang produktif di mata publik inilah
yang kemudian menjadi titik tolak lahirnya institusi DKPP. Pemerintah, DPR,
Lembaga Yudikatif, dan lembaga-lembaga pemantau pemilu sontak mendorong misi
mulia ini dengan meningkatkan kapasitas wewenang dan memastikan institusi ini
jadi tetap dan tidak hanya menangani kode etik pada KPU tapi juga bawaslu di
tiap tingkatan lewat produk hukum UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu.
Keberadaan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang akan menegakkan kode etik
penyelenggara Pemilu dipandang cukup penting sehingga diusulkan agar dibentuk
secara permanen. Berbeda dengan Dewan Kehormatan yang ada sebelumnya. DKPP
merupakan gabungan antara unsur KPU (1 orang), Bawaslu (1 orang), unsur
masyarakat (4 orang), dan Partai Politik dengan komposisi terbanyak (9 orang).
Adapun 4 orang dari unsur masyarakat diusulkan oleh DPR (2 orang) dan Presiden
(2 orang).
Mencermati komposisi tersebut, terlihat adanya keinginan
partai politik untuk mendominasi dewan kehormatan. Komposisi demikian tidak
memiliki relevansi dalam pembangunan mekanisme penegakan etika penyelenggara.
DK dengan keanggotaan dari unsur partai politik memperlihatkan adanya
kepentingan untuk mengontrol KPU sehingga dapat menguntungkan kelompok
tertentu. DK akan menjadi alat baru untuk mengendalikan penyelenggara.[3]
DKPP
secara resmi lahir pada tanggal 12 Juni 2012 dengan komposisi keanggotaa yang
cukup membanggakan. Lima anggota DKPP periode 2012-2017 ini terdiri dari tiga
perwakilan unsur DPR yakni Jimly Asshiddiqie, Nur Hidayat Sardini, dan Saut
Hamonangan Sirait, Mth, sedangkan unsur pemerintah Abdul Bari Azed dan Velina
Singka Subekti, serta dari unsur penyelenggara KPU dan Bawaslu Ida Budhiati,
Nelson Simanjuntak.
Track Record kelimanya tidak
diragukan Jimly Asshiddiqie misalnya sejak tahun 2008-2011 jadi ketua DKKPU,
Nur Hidayat Sardini pernah jadi ketua Panwas Provinsi terbaik di Indonesia, dan
pernah pula jadi Ketua Bawaslu, sedangkan Saut Hamonangan Sirait pernah jadi
anggota Panwas Provinsi Jateng dan sempat jadi anggota KPU Pusat, sementara
Velina Singka Subekti merupakan mantan anggota KPU 2004, dan Abdul Bari Azed
beberapa kali jadi Dirjen Kemenkumham RI, dan Ida Budhiati mantan anggota KPUD
Provinsi Jateng serta Nelson Simanjuntak sebelumnya aktif sebagai tenaga
asistensi di bawaslu.
Sejak
dibentuk DKPP langsung aktif bergerak cepat, kreatif, profesional, dan
produktif, namun tetap dalam bingkai amanat UU. Kelimanya menyadari betul
betapa jalan terjal yang harus dilalui mereka dalam rangka menegakkan harkat
dan martabat politik bangsa khususnya melalui penyelenggara pemilu. Mereka juga
berkomitmen terus meningkatkan kapasitas penyelenggara pemilu dari dimensi SDM
dan infrastruktur guna terwujudnya kualitas bangsa dalam berdemokrasi dengan
tujuan menghasilkan pemimpin bangsa yang amanah.
E.
Landasan Kerja DKPP
Terdapat beberapa
landasan kerja DKPP yang diungkapkan oleh Jimly Asshiddiqie, dalam jurnalnya
mengenai pengenalan tentang DKPP untuk penegak hukum, yaitu:
- UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum;
- UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum;
- Peraturan DKPP, KPU, dan Bawaslu tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum, yaitu:
- Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu;
- Peraturan KPU No. 13 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu;
- Peraturan BAWASLU No. 11 Tahun 2012 tentang Kode Etik PenyelenggaraPemilu;
5. Peraturan
DKPP Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilihan Umum.[4]
Dalam melaksanakan asas
kepentingan umum, Penyelenggara Pemilu berkewajiban:
- memberikan informasi dan pendidikan pemilih yang mencerahkan pikiran dan kesadaran pemilih;
- memastikan pemilih memahami secara tepat mengenai proses Pemilu;
- Membuka akses yang luas bagi pemilih dan media untuk berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan Pemilu;
- menciptakan kondisi yang kondusif bagi pemilih untuk menggunakan hak pilihnya atau memberikan suaranya; dan
- memastikan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung bagi pemilih yang membutuhkan perlakuan khusus dalam menggunakan dan menyampaikan hak pilihnya. [5]
F.
Sekertariat DKPP
Sekretariat DKPP dipimpin oleh kepala sekretariat yang berasal dari PNS,
yaitu jabatan struktural eselon II. Kepala sekretariat DKPP bertanggung jawab
kepada DKPP. Kepala sekretariat DKPP diangkat dan diberhentikan dengan
keputusan Mendagri atas usul DKPP. Calon kepala sekretariat DKPP diusulkan oleh
DKPP sebanyak 3 orang calon kepada menteri dalam negeri untuk dipilih dan
ditetapkan 1 orang oleh Mendagri sebagai kepala sekretariat DKPP. Pegawai sekretariat
DKPP berasal dari PNS dan tenaga profesional yang diperlukan. Pola organisasi,
tata kerja sekretariat dan hak keuangan anggota DKPP ditetapkan dengan Perpres
berdasarkan usulan DKPP.
G.
Anggaran
Anggaran belanja KPU, KPU Propinsi/Kabupaten/Kota, Bawaslu, DKPP, Sekjen
KPU, Sekretariat KPU Propinsi/Kabupaten/Kota, sekretariat Bawaslu serta
sekretariat DKPP bersumber dari APBN. Pendanaan penyelenggaraan Pemilu anggota
DPR, DPD, DPRD dan Pilpres dianggarkan dalam APBN. Sekjen KPU mengoordinasikan
pendanaan penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan KPU, KPU Propinsi beserta
jajaran dibawahnya. Sekjen Bawaslu mengoordinasikan anggaran belanja Bawaslu,
Panwaslu Propinsi dan jajaran dibawahnya. Sedangkan kepala sekretariatan DKPP
mengoordinasikan anggaran belanja DKPP. Pendanaan penyelenggaraan Pemilukada
dianggarkan dalam APBD. Kedudukan keuangan tersebut diatur dalam peraturan
presiden.
H. Tugas dan Wewenang DKPP dalam Melakukan Pengawasan Kepada
Penyelenggara Pemilu
Berdasarkan ketentuan UU tentang Pemilu, dalam penyelenggaraan pemilihan
umum terdapat 3 fungsi yang saling berkaitan yang diinstitusionalisasikan dalam
3 kelembagaan, yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP. DKPP atau Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilihan Umum bukan lembaga penyelenggara pemilu, tetapi tugas dan
kewenangannya terkait dengan para pejabat penyelenggara pemilu.
Lembaga penyelenggara pemilu menurut
Pasal 23E UUD 1945 adalah “komisi pemilihan umum”, tetapi oleh undang-undang
dijabarkan menjadi terbagi ke dalam 2 kelembagaan yang terpisah dan masing-masing
bersifat independen, yaitu “Komisi Peilihan Umum” atau KPU, dan “Badan Pengawas
Pemilihan Umum” atau BAWASLU (Bawaslu).
Tugas dan kewenangan
DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum) berkaitan dengan orang per
orang pejabat penyelenggara pemilihan umum, baik KPU maupun Bawaslu. Dalam arti
sempit, KPU hanya terdiri atas para komisioner di tingkat pusat, provinsi, dan
di tingkat kabupaten/kota. Demikian pula dalam arti sempit, Bawaslu hanya
terdiri atas pimpinan atau anggota Bawaslu tingkat pusat dan Bawaslu tingkat
provinsi.
Namun, dalam arti luas, penyelenggara pemilihan umum itu, baik dalam
lingkungan KPU maupun Bawaslu, menyangkut pula para tugas yang bekerja secara
tetap ataupun yang bekerja secara tidak tetap atau adhoc.
Didalam Pasal 110 ayat
(1) UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum menjelaskan
bahwa DKPP menyusun dan menetapkan satu kode etik untuk menjaga kemandirian,
integritas, dan kredibilitas anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU
Kabupaten/Kota, serta Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota,
Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
DKPP memiliki tugas dan
wewenang untuk menegakkan dan menjaga kemandirian, intregitas, dan kredibilitas
penyelenggara Pemilu. Secara lebih spesifik, DKPP dibentuk untuk memeriksa,
megadili, dan memutuskan pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik yang
dilakukan anggota KPU, anggota Bawaslu, dan jajaran di bawahnya.
[6]Mekanisme pemberhentian pejabat
penyelenggara pemilihan umum (pemilu) dinyatakan tidak menjadi wewenang Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ini karena DKPP merupakan lembaga yang
hanya berwenang memutus perkara pelanggaran kode etik dan bukan perkara
administrasi.
Donny mengatakan, putusan DKPP
terkait pelanggaran etik bersifat final dan mengikat. Putusan juga tidak dapat
diajukan upaya hukum lain terhadap putusan yang dikeluarkan. Menurut dia, hal
ini dimaksudkan untuk menjaga kehormatan penyelenggara pemilu.
Pasca putusan yang memberikan
sanksi teguran tertulis, pemberhentian sementara, maupun pemberhentian tetap
pejabat penyelenggara pemilu yang diduga melanggar kode etik, maka pelaksanaannya
bukan lagi menjadi wewenang DKPP, melainkan KPU dan Bawaslu.
Sementara itu, Anggota Bawaslu
Divisi Hukum dan Penindakan Pelanggaran, Endang Wihdatiningtyas mengatakan,
wewenang DKPP dalam memberikan sanksi pemberhentian kepada pejabat penyelenggara
pemilu tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Sebelumnya, mantan Ketua Panwaslu
DKI Jakarta, Ramdansyah, merasa tidak terima dengan putusan DKPP yang
memberhentikan pejabat penyelenggara pemilu. DKPP telah bertindak melampaui
wewenangnya.
Maka tugas kita ialah
bagaimana menjadikan nilai (value) sebagai sistem norma yang bisa
dipercayai oleh semua masyarakat dalam kaitan kehadiran eksistensi
penyelenggara Pemilu. Menjadikan keberadaan DKPP sebagai suatu instrumen sosial
politik dalam sistem berbangsa yang mampu menarik perhatian publik atau setiap
orang, atau dalam bahasa modern disebut the believed capacity of any object
to statistfy a human desire. Kita ingin menjadikan lembaga DKPP sebagai
instrumen demokrasi yang mencitrakan dirinya dengan nilai kebaikan bersama
tanpa ada keberpihakan.[7]
I.
DKPP sebagai pengadilan ETIKA.
DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum)
merupakan perkembangan lebih lanjut dari lembaga DK-KPU DKPP (Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilihan Umum) merupakan perkembangan lebih lanjut dari lembaga
DK-KPU (Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum) yang sudah ada sebelumnya yang
diatur berdasarkan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.
Sejak UU
No. 22 Tahun 2007, putusan Dewan Kehormatan dinyatakan bersifat final dan
mengikat, sehingga oleh karena itu dapat dikatakan memiliki karakter dan
mekanisme kerja seperti lembaga peradilan. Oleh karena itu, sejak terbentuknya
DK-KPU pertama kali pada tahun 2009, dimana pemilihan menjadi ketuanya secara
berturut-turut selama tahun 2009 dan 2010, mekanisme kerja Dewan Kehormatan ini
didesain sebagai badan peradilan etika yang menerapkan semua prinsip peradilan
modern.
Beberapa prinsip penting yang dipraktikkan dalam penyelenggaraan
peradilan etik oleh DK-KPU dan juga oleh Dewan Keormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP) yang ada sekarang, misalnya, adalah prinsip-prinsip ‘audi et alteram
partem’, prinsip independensi, imparsialitas, dan transparansi. Dengan
diberlakukannya prinsip-prinsip tersebut, maka semua pihak yang terkait dengan
perkara wajib didengarkan dalam persidangan yang diselenggarakan secara
terbuka, dimana para anggota DKPP bertindak sebagai hakim yang menengahi
pertentangan untuk mengatasi konflik dan memberikan solusi yang adil.
Sebagai pengadilan, para anggota DKPP juga bersikap netral, pasif, dan
tidak memanfaatkan kasus-kasus yang timbul untuk popularitas pribadi. Para
anggota dilarang menikmati pujian yang timbul dari putusan, dan sebaliknya
dilarang pula tersinggung atau marah karena dikritik oleh masyarakat yang tidak
puas akan putusan DKPP. Pendek kata, sebagai lembaga peradilan etika, DKPP juga
harus menjadi contoh mengenai perilaku etika dalam menyelenggarakan sistem
peradilan etika yang menyangkut aneka kepentingan yang saling bersitegang
antara para peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu atau antara masyarakat
pemilih (voters) dengan penyelenggara pemilu, ataupun di antara sesama
penyelenggara pemilu sendiri, khususnya antara aparat KPU dan aparat Bawaslu.
Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu memanggil dan menyidangkan kasus dugaan pelanggaran kode
etik penyelenggara Pemilu selalu berpedoman pada Peraturan Bersama KPU,
Bawaslu, dan DKPP Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Beracara Kode Etik
Penyelenggara Pemilihan Umum. DKPP berwenang memutuskan dan menetapkan hasil
sidang-sidang pemeriksaan melalui rapat pleno anggota DKPP dan menyampaikan
Putusan kepada pihak-pihak terkait terutama Bawaslu dan KPU untuk
ditindaklanjuti. KPU wajib melaksanakan putusan DKPP dan Bawaslu diperintahkan
untuk mengawasi pelaksanaan putusan dimaksud.
Berdasarkan tugas tersebut
maka Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu secara legal formal memiliki
wewenang untuk memanggil para pengadu dan teradu yang menurut pengaduan atau
laporan diduga melakukan pelanggaran kode etik dengan tujuan penyelenggara
Pemilu dan pihak terkait lain memberikan penjelasan terkait duduk perkara yang
sebenarnya sekaligus bagi penyelenggara melakukan pembelaan atas
tuduhan-tuduhan yang dilimpahkan kepada mereka. [8]
Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu berwenang memanggil para pengadu atau pelapor,
para saksi, dan atau pihak-pihak lain dengan maksud dimintai keterangan
termasuk dokumen serta bukti-bukti lain. Dan salah satu wewenang DKPP yang
paling menentukan kecenderungan perbaikan kualitas Pemilu dari penyelenggara
yakni memberikan sanksi khususnya bagi penyelenggara Pemilu yang benar-benar
terbukti berdasarkan data dan fakta persidangan menunjukan melanggar kode etik.
Sebagai lembaga kehormatan penyelenggara Pemilu
yang kedudukannya independen dan bukan merupakan alat kelengkapan KPU dan
Bawaslu, kedudukan DKPP mandiri dalam mengeluarkan setiap putusan. DKPP
mengeluarkan putusan setelah melakukan verifikasi laporan yang masuk, dengan
memeriksa para saksi, memerhatikan bukti-bukti dan mengambil putusan dalam
rapat pleno. Tidak ada yang salah dengan putusan final DKPP,
karena putusan sejenis pun juga telah sering dikeluarkan oleh komisi etik
lainnya. Menurutnya, DKPP tidak bertujuan menegasikan pengawasan yang dilakukan
oleh KPU maupun Bawaslu, karena sesuai ketentuan, DKPP hanya menangani
pelanggaran kode etik, sedangkan KPU berwenang menindak pelanggaran pemilu.
Senada dengan keterangan pemerintah, Endang
Widianingtyas dari Divisi Hukum Bawaslu menilai, keputusan Bawaslu yang
memberhentikan Ramdansyah dari jabatannya sebagai ketua Panwaslu DKI Jakarta
pada 16 November 2012, telah tepat dan sesuai mekanisme hukum, karena hanya
menindaklanjuti dan melaksanakan putusan DKPP yang memerintahkan pemberhentian
tersebut.
Pemberhentian terhadap Ramdansyah terkait laporan
M. Said tentang iklan asosiasi pedagang pasar se-Indonesia, Ramdan mengantarkan
gugatan tim sukses salah satu pasangan calon ke Polda Metro Jaya. Siapa saja
bisa langsung melaporkan ketidaknetralan penyelenggara Pemilu pada DKPP, tidak
harus melalui Bawaslu. Masyarakat umum bisa langsung ke DKPP," urainya.
Di lain pihak, Ramdansyah saat ditemui Media MK
usai persidangan kembali menegaskan keberatan atas pemberhentiannya sebagai
ketua Panwas DKI Jakarta. Seharusnya DKPP hanya mengeluarkan rekomendasi dan
bukan sebuah putusan yang sifatnya final dan mengikat yang menutup haknya untuk
menempuh upaya hukum lanjutan. Dalam hal ini, ia telah mengajukan gugatan ke
PTUN yang juga menyebut telah terjadi kekeliruan hukum, karena DKPP yang bukan
lembaga peradilan telah mengeluarkan putusan yang melebihi kewenangannya
0 komentar:
Posting Komentar