BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pemilihan umum adalah salah satu hak azasi warga negara yang prinsipil. Karenanya dalam rangka  pelaksanaan hak-hak azasi adalah suatu keharusan bagi pemerintah untuk melaksanakan pemilihan umum. Sesuai dengan azas bahwa rakyatlah yang berdaulat, maka semuanya itu harus dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Adalah sesuatu pelanggaran terhadap hak-hak azasi apabila pemerintah tidak mengadakan pemilihan umum atau memperlambat pemilihan umum tanpa persetujuan dari wakil-wakil rakyat.
Menurut kamus hukum pemilu dapat diartikan pemilihan umum untuk mendapatkan lembaga-lembaga perwakilan rakyat yang sungguh-sungguh terdiri atas wakil-wakil rakyat.[1]
Pemilu adalah sarana utama mewujudkan demokrasi dalam suatu Negara. Substansi pemilu adalah penyampaian suara rakyat untuk membentuk lembaga perwakilan dan pemerintahan sebagai penyelenggaraan Negara. Suara rakyat diwujudkan dalam bentuk hak pilih, yaitu hak untuk memilih wakil dari berbagai calon yang ada. Sebagai suatu hak, hak memilih harus dipenuhi dan sesuai dengan amanat konstitusi. Hal itu merupakan tanggung jawab Negara yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh KPU sebagai lembaga penyelenggaraan pemilu. Oleh karena itu, dalam UU pemilu dinyatakan bahwa pemilih didaftar oleh KPU.[2]
Semangat untuk mendirikan partai baru di Indonesia masih belum memudar, meskipun dua kali pemilu pasca-pemerintahan orde baru (1999 dan 2004) telah memberi pelajaran cukup berharga bahwa ternyata hanya partai-partai tertentu saja yang memperoleh dukungan berarti dari para pemilih (konstituen). Jauh dari sebelum partai lama menjadi partai baru, yang terdaftar pada departemen hukum dan hak asasi manusia.pada September 2006,terdapat 27 partai baru yang terdaftar[3]. Jumlah ini mengalami kenaikan menjadi 43 pada awal maret 2007, dan menjadi lebih dari 100 partai pada awal 2008. Pada akhirnya KPU memang hanya mengizinkan 38 partai nasional dan 6 partai local aceh yang mengikuti pemilu 2009. Tetapi, jumlah ini jelas jauh lebih besar dibandingkan pemilu 2004.
Semangat seperti itu masih mengemuka karena salah satu karakteristik dasar dari sebuah Negara demokratis itu adalah adanya kebebasan di dalam membentuk organisasi, termasuk partai politik. Munculnya partai-partai baru itu,sebagaimana paratai-partai pada umumnya, dengan demikian, didorong oleh proses demokratisasi yang terus bergulir sejak runtuhnya pemerintahan orde baru.
Sekiranya realitas munculnya partai-partai baru terus berlanjut, terdapat pertanyaan serius tentang arah system kepartaian yang di anut. Memang, sejak runtuh nya pemerintahan orde baru, kita lebih cenderung menganut sistem multipartai. Di samping digerakan oleh proses demokratisai yang terus bergulir, system seperti ini didasari oleh realitas masyarakat Indonesia yang majemuk. Di dalam masyarakat demikian, tidak hanya terpilahkan secara kelompok melainkan juga oleh beragam kepentingan-kepentingan.
Di dalam Negara modern, partai politik merupakan salah satu pilar pokok untuk memperjuangkan kepentingan kelompok-kelompok itu. Hanya saja, ketika dikaitkan dengan efektivitas dan stabilitas pemerintahan yang terbentuk, sistem seperti itu juga dipertanyakan, yakni sistem multipartai yang seperti apa yang hendak dibangun? Muncul nya pertanyaan seperti ini tidak lepas dari pandangan bahwa besarnya partai-partai yang memperoleh pemerintahan yang bisa dibangun, sebagaimana di Negara-negara yang menganut sistem parlementer; dan sejauh mana eksekutif memperoleh dukungan di dalam sistem presidensial. Penerapan ambang batas perwakilan (parliemantary threshold) pemilu DPR untuk menyeleksi partai politik masuk ke DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, dapat melanggar konstitusi sebagaimana di jamin oleh pasal 27 ayat 1(satu) UUD 1945. Sebab, penerapan ambang batas seperti itu jelas-jelas menghilang kan suara pemilih.
Sistem presidensial sebenar nya tidak dapat diterapkan di Negara yang multipartai.hal ini di sebab kan di dalam sebuah sistem presidensil dan multipartai,membangun koalisi partai politik adalah hal yang umum terjadi. Koalisi partai poitik adalah hal umum yang terjadi. Koalisi partai politik terjadi karena untuk mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen merupakan sesuatu yang yang sangat sulit. Namun masalahnya adalah koalisi yang dibangun di dalam sistem presidensial tidak bersifat mengikat dan permanen. Tidak adanya jaminan bahwa kolisi terikat untuk mendukung pemerintah  samapai dengan berakhirnya masa kerja presiden.hal ini memperlihat kan partai politik tidak mempunyai ideologi dan koalisi. Mereka berkoalisi sesuai dengan isu yang ada dalam pemerintahan.kombinasi seperti ini akan menghasil kan instabiitas pemerintahan.hal ini bisa terjadi bila ada konflik antara eksekutif dengan legislatif yang menyebab kan deadlock.
Pemilu adalah sarana utama mewujudkan demokrasi dalam suatu negara. Substansi pemilu adalah penyampaian suara rakyat untuk membentuk lembaga perwakilan dan pemerintahan sebagai penyelenggaraan negara. Suara rakyat diwujudkan dalam bentuk hak pilh, yaitu hak untuk memilih wakil dari berbagai calon yang ada. Sebagai  suatu hak, hak memilih harus dipenuhi sesuai dengan amanat konstitusi. Hal itu merupakan tanggung jawab negara yang dalam pelaksanaan nya dilakukan oleh KPU sebagai penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang pemilu dinyatakan bahwa pemilih didaftar oleh KPU.[4]
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat dengan tujuan untuk menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Sebagaimana diamanatkan di dalam UUD 1945, Pemilu diselenggarakan dengan memedomani asas-asas Pemilu, yakni Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia, serta Jujur dan Adil (Luber dan Jurdil).
Agar dapat terwujud Pemilu sebagaimana harapan tersebut, maka Pemilu menyaratkan adanya penyelenggara Pemilu yang memiliki integritas yang tinggi, memahami, dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara. Sebaliknya, penyelenggara Pemilu yang lemah, besar potensinya untuk menghambat terwujudnya Pemilu yang berkualitas. Penyelenggara Pemilu yang dimaksud adalah terdiri atas anggota KPU, anggota Bawaslu, dan segenap jajaran di bawahnya.
Para pembentuk undang-undang yakni DPR RI dan Pemerintah terungkap kehendak untuk terus memperbaiki penyelenggaraan Pemilu yang lebih baik dan berkualitas. Untuk maksud tersebut, maka sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, dibentuklah suatu lembaga yang dikhususkan untuk mengimbangi dan mengawasi (check and balance) kinerja KPU dan Bawaslu dengan jajarannya. Nama lembaga dimaksud adalah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau disingkat DKPP.
Dalam arti umum, DKPP memiliki tugas dan wewenang untuk menegakkan dan menjaga kemandirian, integritas, dan kredibelitas penyelenggara Pemilu. Secara lebih spesifik, DKPP dibentuk untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pengaduan/laporan dugaan pelanggaran  kode etik yang dilakukan anggota KPU, anggota Bawaslu, dan jajaran di bawahnya. Tugas DKPP adalah untuk: (1) menerima  pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu; (2) melakukan penyelidikan, verifikasi, dan pemeriksaan pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu; (3) menetapkan Putusan; dan (4) menyampaikan Putusan kepada pihak terkait untuk ditindak lanjuti.
Menurut Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie, bahwa pentingnya etika di dalam penyelenggaraan Pemilu, mengingat etika Pemilu merupakan pangkal bagi perikehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. "Bahwa terbentuknya pemerintahan negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah, terpilihnya para wakil rakyat dan wakil daerah, di seluruh jenjang, baik di tingkat pusat maupun di daerah, semuanya dimulai dan melalui proses Pemilu yang seharusnya beretika. Oleh karena itu penting artinya apabila Pemilu dilandasi dengan dasar etik yang jelas. Maka DKPP menjadi penting artinya karena tugasnya mengawal dasar-dasar etis atas terpilihnya para penyelenggara negara", kata Ketua dan pendiri Mahkamah Konstitusi (MK).[5]
            Namun sejak dilantik per 12 Juni 2012 Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah memecat kurang lebih 95 anggota komisi pemilihan umum dan anggota bawalsu se-Indonesia. DKPP kini menjadi sorotan dikarenakan kebijakannya kerap melebihi kewenangannya, dan bahkan berani melanggar peraturan dan perundang-undangan.[6] Hal tersebut yang membuat saya tertarik untuk mengangkat proposal skripsi yang berjudul: KEDUDUKAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU (DKPP) DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN KEPADA PENYENGGARA PEMILU DITINJAU DARI UU NO 15 TAHUN 2011.

1.             Rumusan Masalah
Masalah dapat dirumuskan sebagai pernyataan tetapi lebih baik dengan suatu pertanyaan. Keunggulan menggunakan rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan ini adalah untuk mengontrol hasil dan penelitian. Adapun rumusan masalah yang di ajukan dalam penulisan ini adalah:
  • Bagaimana kedudukan DKPP dalam penyelenggaraan pemilu?
  • Bagaimana bentuk pengawasan yang dilakukan DKPP terhadap penyelenggaraan pemilu?
  • Bagaiaman proses pengambilan keputusan DKPP terhadap penyelenggaraan pemilu dan akibat akibat hukum terhadap keputusan tersebut?

2.        Faedah Penelitian
Diharapkan penulisan skripsi ini dapat bermanfaat sebagai:
a.        Secara teoritis
Diharapkan hasil dari penulisan ini memberikan konstribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai tinjauan yuridis terhadap kedudukan DKPP dalam penyelenggaraan pemilu yang bisa menjadi bahan bacaan dan penelitian lanjutan.
b.                  Secara praktis
Bahwa penulis ingin memberikan konstribusi serta pemahaman dan pertimbangan terhadap pihak terkait terutama pemerintah agar lebih memahami tentang lembaga DKPP.
B.            Tujuan Penelitian
            Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
  1. Untuk mengetahui kedudukan DKPP dalam penyelenggaraan pemilu.
  2. Untuk mengetahui bentuk pengawasan yang dilakukan DKPP terhadap penyelenggaraan pemilu.
  3. Untuk mengetahui proses pengembalian keputusan DKPP terhadap penyelenggaraan pemilu dan akibat hhukum terhadap keputusan tersebut.

C.           Metode Penelitian
            Sesuai dengan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian, maka metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1.             Sifat dan materi penelitian
            Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini bersifat deskriftif analisis dengan pendekatan yuridis normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dengan menggunakan data sekunder.
Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi (petunjuk/ketentuan-ketentuan) dalam menyelesaikan persoalaan yang di hadapi. Oleh karena itu pilihan terhadap satu atau beberapa metode penelitian terkait erat dengan perumusan masalah yang diteliti serta tradisi keilmuan itu sendiri.
2.             Sumber Data
            Sumber data dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penalaahan dokumen penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan penelitian yang akan dibahas. Penelitian yuridis normatif menggunakan data sekunder yang meliputi:
  1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti peraturan perundang-undangan, dalam penelitian hukum ini, bahan hukum primer yang terkait penelitian ini yaitu Undang-Undang No. 15 tahun 2012 tentang penyelenggaraan pemilu dan Undang-Undang No 8 tahun 2012 tentang pemilu.
  2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan kepustakaan, yakni buku-buku bacaan yang relavan dengan penelitian ini.
  3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan penunjang yanng memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer, dan bahan hukum tersier diantaranya: bahan-bahan yang diperoleh melalui media internet yang relavan dengan penelitian ini, serta kamus hukum.

3.             Alat Pengumpul Data
            Sehubungan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian normatif, maka untuk memperoleh data yang mendukung, alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan (dokumentasi) data sekunder. Data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh melalui studi dokumen atau kepustakaan (library research).
4.             Analisis data
            Data yang diperoleh dari penelitian, selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan teknik kualitatif, yakni dengan memberikan interprestasi terhadap data yang diperoleh melalui telaah kepustakaan.
D.           Definisi Operasional
            Definisi operasional atau kerangka konsep adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara definisi-definisi/konsep-konsep khusus yang akan diteliti. Namun demikian masih perlu penjabaran lebih lanjut dari konsep ini dengan jalan memberikan definisi operasional nya.
1.             Kedudukan adalah tingkatan atau martabat
2.             Dewan adalah majelis; mahkamah; wakil (rakyat atau mahasiswa)
3.             Kehormatan merupakan suatu nilai lebih yang dimiliki oleh setiap orang, akan tetapi bukan berarti bahwa setiap orang memiliki suatu nilai lebih tinggi dari pada yang lain.
4.             Penyelenggara adalah orang pribadi atau badan hukum atau pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya.
5.             Pemilu adalah sarana utama mewujudkan demokrasi dalam suatu negara.
6.             DKPP adalah singkatan dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
7.            Pengawasan adalah proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang telah ditetapkan tersebut.


>>>>>>>>>>selanjutnya klik di bawah<<<<<<<<<<<




0 komentar:

Posting Komentar