HASIL PENELITIAN TERDAHULU
Untuk melengkapi kajian pustaka
dalam penelitian ini, maka akan dikaji beberapa hasil penelitian terdahulu yang
berhubungan dengan kepuasan kerja dan kinerja guru. Meskipun penelitian yang
betul-betul sama dengan masalah penelitian ini, terutama yang berkaitan dengan
kontribusi pelatihan terhadap prestasi dan kepuasan kerja guru masih belum
memadai, namun paling tidak dengan adanya penelitian terdahulu akan dapat
menjadi acuan yang bermanfaat.
Sehubungan dengan hal dimaksud di
atas, maka dipandang perlu untuk melihat hasil penelitian dari Sukaryono (2000)
yang meneliti tentang “Hubungan Antara Kepuasan Kerja Dan Sikap Terhadap
Perubahan Oleh Guru SLTP Negeri di Kawedanan Tumpang Kabupaten Malang”, yang
menyimpulkan bahwa tingkat kepuasan kerja guru SLTP di Tumpang adalah “baik”
dengan rincian kepuasan kerja sekarang 43%, gaji 27%, promosi 55%, supervisi
16%, teman kerja 48%, dan pekerjaan secara umum 40%. Dan selanjutnya hasil
penelitian Dahlan (1994) yang meneliti tentang “Kepuasan Kerja Guru Di SMP
Negeri Kabupaten Pamekasan Dilihat Dari Tingkat Pendidikan Dan Jenjang
Kepangkatan”, menyimpulkan kepuasan kerja sekarang guru SMP Pamekasan banyak
berkaitan dengan masalah pangkat, gaji, tingkat pendidikan, supervisi, dan
pekerjaan secara umum.
Disamping kajian hasil penelitian di
atas, ada baiknya kita kaji hasil penelitian Marvin Dunnette, John Campbell dan
M. Hakel dalam bukunya “Factors
Contributing to Job Dissatisfaction in Six Occupational,” Organizational
Behavior and Performance, yang dikutip oleh Gibson, Ivancevich, Donnely
pada buku Organisasi dan Manajemen
terjemahan Djorban Wahhid (2002: 96 – 97) ; Dunnette menyatakan bahwa :
Hasil penelitian menunjukan
bahwa teori dua factor dari Herzberg merupakan gambaran kasar yang terlalu
disederhanakan tentang mekanisme yang menimbulkan kepuasan dan ketidak puasan
kerja. Kepuasan atau ketidak puasan dapat terletak dalam kaitan kerja (job
contex), kepuasan kerja (job content), atau kedua-duanya bersama-sama. Lagi
pula, beberapa dimensi tertentu – khususnya Prestasi (Achievement),
Tanggungjawab (Responsibility), dan Pengakuan (Recognition) – lebih penting
bagi kedua-duanya, kepuasan dan ketidak puasan dari pada beberapa dimensi lain
dari pekerjaan – khususnya Kondisi Pekerjaan, Kebijaksanaan dan Praktek
Perusahaan, dan Keamanan.
Berdasarkan uraian dari
kajian-kajian tersebut di atas, maka dengan jelas terlihat bahwa secara
teoritis antara kepuasan kerja dengan prestasi kerja memang memiliki hubungan
yang erat dan saling mempengaruhi. Namun untuk mendapatkan suatu kejelasan dan
kebenaran yang berlatar empiris masih diperlukan lagi penelitian yang lebih
banyak mengenai masalah ini. Demikian pula halnya kajian tentang hubungan
antara kegiatan pelatihan bagi guru terhadap prestasi kerja dan kepuasan kerja guru,
yang walaupun secara subyektif dapat digambarkan hubungannya, namun untuk itu
masih diperlukan kejelasan dan kebenarannya secara empiris untuk memperoleh
kebenaran yang bersifat ilmiah baik secara teoritis maupun empiris.
2. PENGERTIAN PELATIHAN
Menurut Daryanto ( 2007: 393 ) dalam
buku Kamus Bahasa Indonesia, kata
“pelatihan” berasal dari kata “latih” (melatih) yang berarti mengajar seseorang
atau binatang agar mampu melakukan sesuatu yang diharapkan (sesuatu latihan);
membiasakan untuk melakukan atau berbuat sesuatu yang baik. Dan yang dimaksud
dengan “pelatihan” adalah proses, cara, perbuatan melatih, kegiatan atau
pekerjaan melatih.
Selanjutnya
pelatihan itu sendiri tidak harus diartikan secara sempit berupa penataran,
lokakarya atau semiloka, namun pelatihan dapat diartikan secara luas. Pelatihan
merupakan salah satu tipe program pembelajaran yang menitik beratkan pada
perbaikan kecakapan individu dalam menjalankan tugas-tugasnya pada saat ini
dalam suatu organisasi (Nadler, 1982). Dan menurut Shofiatun (2000 : 38);
Menyatakan bahwa pelatihan adalah suatu proses belajar mengajar dengan
menggunakan teknik dan metode tertentu guna meningkatkan keterampilan dan
kemampuan bekerja seseorang.
Menurut Sakula ( 1981 ) dalam
bukunya “Personnel Administration and Human Resources Management”, sebagaimana
dikutip oleh Martoyo ( 2007: 57 ); Mendifinisikan “pelatihan” sebagai suatu
pendidikan jangka pendek melalui suatu
proses yang sistematis dan tepat guna serta terorganisir secara prosedural yang diikuti oleh beberapa orang
untuk belajar teknik, ilmu pengetahuan, dan keterampilan yang telah ditentukan
tujuannya.
Selanjutnya apa perbedaan atau
persamaan antara “pelatihan” dengan “pendidikan” ; Sakulla dengan jelas juga
telah membedakan antara “pelatihan” dan “pendidikan”. Pendidikan pada dasarnya adalah suatu proses
pengembangan sumber daya manusia. Sakulla dalam buku yang sama telah memberikan
pembatasan pengembangan atau “development” dalam pengertian “pendidikan”
sebagai berikut : Pengembangan atau
Pendidikan adalah pendidikan jangka panjang
melalui suatu proses yang sistematis dan tepat guna serta terorganisir
secara prosedural yang diikuti oleh
beberapa orang untuk belajar konsep, teori dan ilmu pengetahuan secara
keseluruhan. Meskipun pengertian “pelatihan” dan “pendidikan” ada perbedaan,
namun keduanya mempunyai kesamaan tujuan
yang sama yaitu peningkatan keterampilan ataupun kemampuan dalam “human relations”.
Kedua kegiatan (“training” dan “development”) tersebut pada dasarnya merupakan
investasi sumber daya manusia atau bahkan sebagai suatu modal investasi
(capital investment) dari suatu organisasi. Dan untuk mengetahui kecakapan apa
dan seberapa bobot “skills” yang diperoleh/diberikan pada masing-masing
kegiatan dapat dilihat pada bagan gambar berikut (Martoyo, 2007 : 59 ) :
Dari
gambar bagan di atas kelihatan bahwa untuk keperluan training (Non-Manajerial)
lebih diperlukan “technical skills” daripada “conceptual skills”. Sedangkan
untuk keperluan “development” (Manajerial) diperlukan lebih banyak “conceptual
skills” daripada “technical skills”. Namun dalam “human relations skills”
keduanya memiliki bobot yang hampir sama.
Sering terjadi bahwa strategi organisasi dapat men-ciptakan
kebutuhan akan latihan. Dapat juga diadakan suatu latihan sebagai akibat adanya
tingkat kecelakaan atau pemborosan yang cukup tinggi, semangat kerja dan
motivasi guru yang rendah, atau masalah-masalah operasional lainnya.
1.
Model
Pelatihan Dan Unsur-Unsur Pelatihan.
Dalam
buku “Personnel Administration and Human Resources Management”, Sakula memberikan pembatasan tentang
“training” (latihan) sebagaimana dikutip oleh Martoyo (2007; 57 ), adalah
sebagai berikut :
“Training is a short-term educational process
utilizing a systematic and organized procedure by which no-managerial personnel
learn technical knowlede and skills for purpose”.
Dari definisi tersebut jelas kiranya
bahwa latihan dimaksudkan untuk memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan
dan teknik pelaksanaan kerja tertentu dalam
waktu yang relatif singat.
Menurut Marzuki (2007) ; Perlu
ditekankan bahwa pelatihan adalah suatu proses dan system yang ditentukan oleh
banyak komponen-komponen yang saling menunjang. Adapun komponen-komponen dalam
pelatihan itu sendiri meliputi penilaian kebutuhan, penetapan kebutuhan,
perencanaan program pelatihan dan pelaksanaan pelatihan dan terakhir adalah
evaluasi pelatihan.
Selanjutnya masih menurut Marzuki (2007);
Dalam memilih metode pelatihan perlu dipertimbangkan beberapa faktor, yaitu : (1)
faktor manusia/peserta, (2) tujuan, (3) bidang pelajaran/materi, (4) waktu dan
tempat, dan (5) peralatan/media yang akan digunakan. Oleh karena itu sebelum pelatihan dilaksanakan
harus dirancang terlebih dahulu model pelatihannya. Model dapat dipilih atau
dibuat sesuai dengan tujuan pelatihan, sistem belajar mengajar sampai dengan
rancangan evaluasi akhir untuk mengukur tingkat keberhasilan suatu kegiatan
pelatihan.
Program-program
pelatihan pada dasarnya harus dirancang untuk meningkatkan prestasi kerja,
mengurangi absensi dan perputaran, serta untuk memperbaiki kepuasan kerja.
Untuk itu ada dua kategori pokok program latihan yang sangat diperlukan yaitu :
(1) metodenya harus praktis ( on the job training ), dan (2) harus
menggunakan teknik-teknik presentasi informasi dan metode-metode simulasi (off the job training ). Masing-masing
kategori mempunyai sasaran pengajaran sikap, konsep, pengetahuan dan
keterampilan utama yang berbeda (Martoyo, 2007: 60)
Masih
menurut Martoyo (2007: 62 ), dalam pemilihan teknik atau program pelatihan, ada
beberapa faktor-faktor yang harus selalu diperhatikan tergantung pada sejauh
mana suatu teknik yang akan dipilih. Faktor-faktor itu
adalah sebagai berikut :
(1)
efektivitas biaya
(2)
isi program yang dikehendaki
(3)
kelayakan fasilitas-fasilitas
(4)
preferensi dan kemampuan
peserta
(5) preferensi dan kemampuan instruktor, nara
sumber, dan pelatih
(6)
prinsip-prinsip belajar.
0 komentar:
Posting Komentar