KONFLIK DALAM ORGANISASI
Too much or too little conflict can inhibit creativity.
Poorly managed conflict can do the same.
But when conflict is well managed, problems can be resolved
effectively,
and the solutions are more likely to be fresh and innovative.
(Stoner dan Freeman, 1989:391).
I. PENDAHULUAN
Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-komponen
(subsistem) yang saling berkaitan atau saling tergantung (interdependence) satu sama
lain dan dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu (Kast dan
Rosenzweigh, 1974). Sub-subsistem yang saling tergantung itu adalah tujuan dan
nilai-nilai (goals and values subsystem), teknikal (technical
subsystem), manajerial (managerial subsystem), psikososial
(psychosocial
subsystem), dan subsistem struktur (structural
subsystem).
Dalam proses interaksi antara suatu subsistem
dengan subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau
kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja
muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak
faktor yang melatar - belakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan,
antara lain: sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan,
komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan
inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan kelompok yang
saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung
satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi.
Namun, sabagaimana dikatakan oleh Gibson, et al. (1997:437), selain dapat menciptakan kerjasama,
hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika
masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan
sendiri-sendiri dan tidak saling bekerjasama satu sama lain. Konflik dapat
menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk
dan tingkat kompleksitas organisasi
tersebut. Konflik tersebut mungkin tidak membawa “kamatian” bagi
organisasi, tetapi pasti dapat menurunkan kinerja organisasi yang bersangkutan,
jika konflik tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap
pimpinan atau manajer organisasi.
1.1 Definisi Konflik
Banyak definisi tentang konflik yang diberikan
oleh ahli manajemen. Hal ini tergantung pada sudut tinjauan yang digunakan dan
persepsi para ahli tersebut tentang konflik dalam organisasi. Namun, di antara
maknamakna yang berbeda itu nampak ada suatu kesepakatan, bahwa konflik
dilatarbelakangi oleh adanya ketidakcocokan atau perbedaan dalam hal nilai,
tujuan, status, dan budaya. Definisi di bawah ini menunjukkan
perbedaan-perbedaan dimaksud.
… the
condition of objective incompatibility between values or goals, as the bahavior
of deliberately interfering with another’s goal achievement, and emotional in
terms of hostility (Luthans, 1985:386).
A process in
which an effort is purposely made by A to offset the efforts of B by some form
of blocking that will result in frustrating B in attaining his or her goals or
furthering his or her interests (Robbins, 1996:428).
… disagreement
between individuals or groups within the organization stemming from the need to
share scarce resources or engage in interdependent work activities, or from
differences in status, goals, or cultures (Stoner
dan Freeman,
1989:391).2
All kinds of
opposition or antagonistic interaction. It based on scarcity of power,
resources or social position, and differing value systems (Kreitner dan
Kinicki, 1995:283).
Terlepas dari faktor-faktor yang
melatarbelakanginya, konflik merupakan suatu gejala dimana individu atau
kelompok menunjukkan sikap atau perilaku “bermusuhan” terhadap individu atau
kelompok lain, sehingga mempengaruhi kinerja dari salah satu atau semua pihak
yang terlibat.
Keberadaan konflik dalam organisasi, menurut
Robbin (1996), ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka
tidak menyadari bahwa telah terjadi konflik di dalam organisasi, maka secara
umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka
mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah terjadi konflik, maka konflik
tersebut menjadi suatu kenyataan.
1.2 Pandangan Terhadap Konflik
Terdapat perbedaan pandangan terhadap peran
konflik dalam kelompok atau organisasi. Ada yang berpendapat bahwa konflik
harus dihindari atau dihilangkan, karena jika dibiarkan maka akan merugikan
organisasi. Berlawanan dengan ini, pendapat lain menyatakan bahwa jika konflik
dikelola sedemikian rupa maka konflik tersebut akan membawa keuntungan bagi
kelompok dan organisasi. Stoner dan Freeman menyebut konflik tersebut
sebagai konflik organisasional (organizational
conflict).
Pertentangan pendapat ini oleh Robbins (1996:431)
disebut sebagai the Conflict Paradox, yaitu pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap dapat meningkatkan
kinerja kelompok, namun di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi
berusaha untuk meminimalisir konflik.Dalam uraian di bawah ini disajikan
beberapa pandangan tentang konflik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Robbins
(1996:429).
Pandangan Tradisional (The
Traditional View).
Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik itu
buruk. Konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari.
Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality.
Pandangan ini konsisten dengan sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku
kelompok dalam dasawarsa 1930-an dan 1940-an. Konflik dilihat sebagai suatu
hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan dan
keterbukaan di antara orang-orang, dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap
kebutuhan dan aspirasi karyawan.
Pandangan Hubungan Manusia (The
Human Relations View).
Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan
peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik
harus diterima dan dirasionalisasikan
sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi.
Pandangan ini mendominasi teori konflik dari akhir dasawarsa 1940-an sampai
pertengahan 1970-an.
Pandangan Interaksionis (The
Interactionist View).
Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu
asumsi bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi
statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut
aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga
kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan
kreatif. Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan tentang konflik
menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (old view) dan pandangan
modern (current view).
Perbedaan kedua pandangan tersebut disajikan
dalam Tabel 1.1. Dalam tabel tersebut, kedua cara pandang: tradisional dan modern,
dibedakan dalam lima
aspek, yaitu: cara pandang terhadap konflik, faktor penyebab timbulnya konflik,
pengaruh konflik terhadap kinerja, fungsi manajemen, dan bagaimana perlakuan
terhadap konflik untuk mencapai kinerja optimal.
Tabel
1: Pandangan Tradisional dan Modern tentang Konflik
1.3 Jenis-jenis Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung
pada dasar yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas
dasar fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik, dan sebagainya.
a. Konflik Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan fungsinya, Robbins (1996:430) membagi
konflik menjadi dua macam, yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik disfungsional
(Dysfunctional Conflict).
Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok,
dan memperbaiki kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional adalah
konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah
suatu konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu
konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok
yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi
tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu
konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap
kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat
meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka
konflik tersebutdikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik
tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka
konflik tersebut disfungsional.
b. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat
di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam
konflik, Stoner dan Freeman (1989:393) membagi konflik menjadi enam macam,
yaitu:
1) Konflik dalam diri
individu (conflict within the individual). Konflik
ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau
karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya.
2)
Konflik antar-individu (conflict among
individuals). Terjadi karena perbedaan kepribadian (personality differences) antara individu yang satu
dengan individu yang lain.
3) Konflik antara
individu dan kelompok (conflict among individuals and groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma - norma kelompok
tempat ia bekerja.
4) Konflik antar kelompok
dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same
organization). Konflik ini terjadi karena masing - masing kelompok memiliki tujuan
yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
5)
Konflik antar organisasi (conflict among
organizations). Konflik ini terjadi jika tindakan yang
dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya.
Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama.
6)
Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict among individuals in different organizations). Konflik ini terjadi sebagai akibat sikap atau perilaku dari anggota
suatu organisasi yang berdampak negatif bagi anggota organisasi yang lain.
Misalnya, seorang manajer public relations yang menyatakan keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang jurnalis.
c. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam
Struktur Organisasi
Winardi (1992:174) membagi konflik menjadi empat
macam, dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi. Keempat jenis
konflik tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan
yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan bawahan.
2)
Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang memiliki
kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar
karyawan, atau antar departemen yang setingkat.
3)
Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang biasanya
memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai
penasehat dalam organisasi.
4)
Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari
satu peran yang saling bertentangan. Di samping klasifikasi tersebut di atas,
ada juga klasifikasi lain, misalnya yang dikemukakan oleh Schermerhorn, et al. (1982), yang membagi konflik atas: substantive
conflict, emotional conflict, constructive conflict, dan destructive
conflict.
II. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA KONFLIK
Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada
kondisi yang melatar - belakanginya (antecedent
conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai
sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi,
struktur, dan variabel pribadi.
Komunikasi.
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah - pahaman
antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil
penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang
tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang
terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
Struktur.
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran
(kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok,
kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan
tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan
antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat
spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar
kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula
kemungkinan terjadinya konflik.
Variabel Pribadi.
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi:
sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan
individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe
kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan
menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika
salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan
menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok
terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat
secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap
bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan
dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika
pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya,
serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara,
pemogokan, dan sebagainya.
Robbins (1996), menggambarkan tahap-tahap
lahirnya konflik, sebagaimana yang diterangkan di atas, melalui gambar
sebagaimana yang disajikan di bawah ini (gambar 1).
Proses timbulnya konflik, sebagaimana yang
digambarkan oleh Robbins, mirip dengan tahap-tahap konflik yang digambarkan
oleh Schermerhorn, et al. (1982:461),
seperti yang disajikan di bawah ini (gambar 2)
Berbeda dengan Robbins yang hanya menyebut tiga
factor dalam antecedent conditions, Schermerhorn, et al.
merinci antecedent conditions menjadi lima faktor, yaitu: (1) ketidakjelasan peranan atau peranan yang
mendua (role ambiguities);
(2) persaingan untuk mendapatkan sumberdaya yang terbatas; (3)
rintangan-rintangan dalam komunikasi (communication
barriers); (4) konflik sebelumnya yang tidak
terselesaikan; dan (5) perbedaan-perbedaan individual, yang mencakup: perbedaan
kebutuhan, nilai-nilai, dan perbedaan tujuan.
Gambar 1: Proses Lahirnya
Konflik
Gambar 2: Tahap-tahap
Konflik
Selanjutnya, Kreitner dan Kinicki (1995:284-285) merinci lagi antecedent
conditions itu menjadi 12 faktor sebagai berikut:
1)
ketidakcocokan kepribadian atau sistem nilai;
2)
batas-batas pekerjaan yang tidak jelas atau tumpang-tindih;
3)
persaingan untuk memperoleh sumberdaya yang terbatas;
4)
pertukaran informasi atau komunikasi yang tidak cukup (inadequate communication);
5)
kesalingtergantungan dalam pekerjaan (misalnya, seseorang tidak dapat
menyelesaikan pekerjaannya tanpa bantuan orang lain);
6)
kompleksitas organisasi (konflik cenderung meningkat bersamaan dengan semakin
meningkatnya susunan hierarki dan spesialisasi pekerjaan);
7)
peraturan-peratuan, standar kerja, atau kebijakan yang tidak jelas atau tidak
masuk akal;
8)
batas waktu penyelesaian pekerjaan yang tidak masuk akal sehingga sulit
dipenuhi (unreasonable deadlines);
9)
pengambilan keputusan secara kolektif (semakin banyak orang yang terlibat dalam
proses pengambilan keputusan, semakin potensial untuk konflik);
10)
pengambilan keputusan melalui konsensus;
11)
harapan-harapan yang tidak terpenuhi (karyawan yang memiliki harapan yang tidak
realistik terhadap pekerjaan, upah, atau promosi, akan lebih mudah untuk
konflik);
12)
tidak menyelesaikan atau menyembunyikan konflik.
Menurut Kreitner dan Kinicki (1995), manajer atau
pimpinan organisasi harus proaktif untuk mengidentifikasikan keberadaan kondisi
- kondisi tersebut dalam organisasinya, dan jika salah satu atau lebih dari kondisi
itu muncul, maka ia harus segera mengambil tindakan, sebelum kondisi itu
menjadi konflik terbuka atau konflik yang nyata (manifest conflict). Dengan cara seperti ini,
diharapkan konflik tidak meluas ke seluruh organisasi dan akhirnya mempengaruhi
kinerja karyawan. Untuk itulah maka manajer harus memiliki kemampuan untuk
mengelola konflik, sehingga konflik tidak menjadi faktor yang mengancam
keberlangsungan hidup organisasi, tetapi menjadi faktor yang fungsional untuk meningkatkan
kinerja organisasi.
III.
MENGELOLA KONFLIK DALAM ORGANISASI
Para manajer menghabiskan banyak waktu dan energi
untuk menangani konflik. Upaya penanganan konflik sangat penting dilakukan, karena
setiap jenis perubahan dalam suatu organisasi cenderung mendatangkan konflik.
Sebagaimana saat ini, dalam rangka otonomi daerah, banyak sekali perubahan
institusional yang terjadi, yang tidak saja berdampak pada perubahan struktur
dan personalia, tetapi juga berdampak pada terciptanya hubungan pribadi dan
organisasional yang berpotensi menimbulkan konflik. Di samping itu, jika
konflik tidak ditangani secara baik dan tuntas, maka akan mengganggu
keseimbangan sumberdaya, dan menegangkan
hubungan antara orang-orang yang terlibat. Menurut Gibson, et al. (1997), kegagalan dalam menangani konflik dapat
mengarah pada akibat yang mencelakakan. Konflik dapat menghancurkan organisasi
melalui penciptaan dinding pemisah di antara rekan sekerja, menghasilkan
kinerja yang buruk, dan bahkan pengunduran diri.
Para manajer organisasi publik harus menyadari
bahwa karena konflik disebabkan oleh faktor-faktor yang berlainan, maka model
yang digunakan dalam pengelolaan konflik juga berlainan, tergantung keadaan. Memilih
sebuah model pemecahan konflik yang cocok tergantung pada beberapa faktor,
termasuk alasan mengapa konflik terjadi, dan hubungan khusus antara pimpinan
dengan pihak yang terlibat konflik. Menurut Greenhalgh (1999), efektivitas
pimpinan organisasi dalam menangani konflik tergantung pada seberapa baik
mereka memahami dinamika dasar dari konflik, dan apakah mereka dapat mengenali
hal-hal penting yang terdapat dalam konflik tersebut.
Bagian ketiga tulisan ini disajikan beberapa
model teoretis dalam mengelola konflik yang dikemukakan oleh para ahli
manajemen dan perilaku organisasi.
3.1 Model Diagnosis
Konflik Pandangan Kontinum dari Leonard Greenhalgh
Menurut Greenhalgh (1999:391), konflik bukanlah
suatu fenomena yang obyektif dan nyata, tetapi ia ada dalam benak orang-orang
yang terlibat dalam konflik tersebut. Karena itu untuk menangani konflik, seseorang
perlu bersikap empati, yaitu memahami keadaan sebagaimana yang dilihat oleh
para pelaku penting yang terlibat konflik. Unsur yang penting dalam manajemen
konflik adalah persuasi, dan inilah bentuk penyelesaian konflik yang selalu
ditekankan oleh Greenhalgh dalam model kontinumnya.
Tabel
2: Model Diagnosis Konflik Pandangan Kontinum
Masalah-masalah yang dipertanyakan. Jika masalah yang menjadi sumber konflik adalah masalah prinsip, maka konflik
sulit dipecahkan, karena mengrobankan prinsip dipandang sebagai mengorbankan integritas
pribadi. Begitu masalah-masalah prinsip dikaitkan, pihak-pihak yang terlibat
mencoba berargumentasi bahwa sudut pandang pihak lain salah. Jika hal sepeti ini terjadi, maka bentuk intervensi yang dapat dilakukan
adalah meminta semua pihak untuk mengakui bahwa mereka memahami pandangan satu
sama lain, walaupun masih percaya dengan pandangannya sendiri. Cara seperti ini
lebih memungkinkan semua pihak untuk meju dalam proses negosiasi, daripada
tetap pada posisi masing-masing.
Ukuran taruhan.
Semakin besar nilai yang dipertaruhkan dalam perdebatan, semakin sulit konflik
dipecahkan. Misalnya, kebijakan akuisisi yang oleh manajer dianggap
membahayakan kedudukannya. Manajer yang berpikir subyektif akan memandang
taruhannya cukup tinggi, karena itu akan berusaha mati-matian menentang proses
akuisisi tersebut. Dalam kasus ini pendekatan persuasif dengan cara menunda
penyelesaian, hingga semua pihak menjadi kurang emosianal, sangat baik untuk dilakukan.
Selama masa penundaan tersebut masing-masing pihak dapat mengevaluasi kembali
masalah yang dipertaruhkan dan berusaha untuk mencoba bersikap obyektif dalam
penilaian mereka.
Saling ketergantungan pihak-pihak yang
terlibat. Pihak-pihak yang terlibat dalam suatu konflik
dapat memandang diri mereka sendiri dalam suatu rangkaian saling ketergantungan
“berjumlah nol” hingga “berjumlah positif”. Saling ketergantungan berjumlah nol
adalah persepsi bahwa jika suatu pihak memperoleh sesuatu dari proses
interaksi, maka hal tersebut berarti pengorbanan bagi pihak lain. Saling
ketergantungan bernilai positif, jika kedua belah pihak sama-sama merasakan
memperoleh keuntungan dari proses interaksi. Suatu hubungan berjumlah nol membuat
konflik sulit dipecahkan karena hubungan ini memusatkan perhatian secara sempit
pada perolehan pribadi, dan bukan pada perolehan kedua belah pihak melalui
kerjasama dan pemecahan masalah. Jika hal yang demikian ini terjadi, maka kedua
belah pihak harus dibujuk untuk mempertimbangkan bagaimana mereka dapat saling
memperoleh manfaat dari suatu situasi.
Kontinuitas interaksi. Dimensi kontinuitas interaksi berhubungan dengan horizon waktu dimana
semua pihak melihat diri mereka sendiri berhubungan satu sama lain. Jika mereka
memvisualisasikan interaksi yang terjadi sebagai interaksi jangka panjang atau
suatu hubungan yang terus menerus, maka konflik yang terjadi akan lebih mudah
diselesaikan. Sebaliknya jika transaksi dipandang sebagai hubungan jangka
pendek atau hubungan episodic, maka konflik tersebut akan sulit dipecahkan. Karena
itu, pihak-pihak yang terlibat harus dibujuk agar mau menyadari bahwa hubungan
mereka tidak berhenti di sini saja, atau pada saat konflik terjadi, tetapi akan
ada hubungan lain yang terus menerus di masa yang akan datang.
Struktur pihak-pihak yang terlibat. Konflik lebih mudah dipecahkan jika suatu pihak mempunyai seorang
pemimpin yang kuat yang dapat menyatukan pengikutnya untuk menerima dan
melaksanakan kesepakatan. Jika kepemimpinannya lemah, maka sub-sub kelompok serikat
pekerja yang paling merasa berkewajiban untuk mematuhi semua kesepakatan akan
melakukan protes tanpa memperhatikan apa yang telah disepakati oleh pemimpin
mereka, dan karena itu konflik sulit dipecahkan. Serikat pekerja yang dipimpin
oleh pemimpin yang kuat mungkin menyulitkan dalam perundingan, tetapi begitu
kesepakatan dicapai maka hasil perundingan tersebut dihormati oleh anggota
serikat pekerja. Jika serikat pekerja yang dipimpin oleh pemimpin yang lemah
terlibat dalam konflik, maka hasil yang telah disepakati mungkin akan dirusak
oleh orang-orang dari dalam serikat pekerja tersebut, yang mungkin tidak menyukai
sebagian isi kesepakatan. Hasilnya mungkin dapat berupa pertentangan yang
kronis terhadap perubahan atau bahkan melakukan pemogokan.
Keterlibatan pihak ketiga. Orang-orang cenderung akan terlibat secara emosional dalam konflik.
Keterlibatan yang demikian dapat menimbulkan beberapa pengaruh, antara lain:
persepsi bias menjadi rusak, proses pemikiran dan argumentasi yang tidak
rasional muncul, menghasilkan pendirian yang tidak beralasan, kemunikasi rusak,
dan serangan-serangan terhadap pribadi muncul. Pengaruh-pengaruh seperti ini
menyebabkan konflik menjadi sulit dipecahkan. Menghadapi situasi seperti ini
peranan pihak ketiga yang netral sangat diperlukan. Pihak ketiga yang netral
akan lebih bisa diterima oleh pihak-pihak yang terlibat, karena mereka lebih
menyukai evaluasi pihak lain daripada dievaluasi pihak lawan. Semakin berwibawa, berkuasa, dipercaya, dan netral pihak ketiga, semakin
besar kemungkinan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menahan emosi.
Peranan yang dimainkan oleh pihak ketiga dapat
berwujud bermacam-macam bentuk, mulai dari wasit yang mengawasi komunikasi, sampai
sebagai penghubung semua pihak, jika komunikasi langsung sulit dilakukan.
Peranan penengah pada dasarnya adalahi menjaga agar semua pihak berinteraksi
dalam cara yang beralasan dan konstruktif. Meskipun demikian, biasanya sebagian
besar manajer enggan untuk mengundang pihak luar sebagai penengah, karena
sangat sulit bagi mereka untuk mengakui secara terbuka bahwa mereka terlibat
dalam konflik yangs edang terjadi. Jika para manajer tetap terlibat dalam penyelesaian
konflik, maka kedudukan mereka lebih sebagai seorang arbiter, yang memutuskan
sesuatu setelah mendengar laporan dari pihak -
pihak yang terlibat. Namun dalam kebanyakan konflik, peranan penengah lebih
disukai, karena semua pihak dibantu untuk mencapai kesepakatan. Sedangkan
arbitrasi lebih menyerupai proses pengadilan dimana semua pihak membuat alasan
sebaik mungkin untuk mendukung posisi mereka. Hal ini cenderung untuk
memperkuat perbedaan, dan bukannya menyatukan perbedaan yang ada.
Kemajuan konflik.
Sulit mengatasi konflik jika semua pihak yang terlibat tidak siap untuk suatu
rekonsiliasi. Jika masing-masing pihak merasa bahwa diri mereka paling
dirugikan, maka konflik sulit dipecahkan. Karena itu, hal penting yang harus
dilakukan adalah membujuk pihak - pihak yang terlibat agar menyadari bahwa
mereka sama-sama menderita akibat konflik. Pihak-pihak yang terlibat harus
dibawa pada “posisi yang sama”, sehingga mau secara sukarela berpartisipasi
dalam penyelesaian konflik yang terjadi.
3.2 Lima Gaya Penanganan
Konflik (Five Conflict-Handling Styles) dari Kreitner dan Kinicki
Model ini ditujukan untuk menangani konflik
disfungsional dalam organisasi. Dalam model ini digambarkan lima gaya
penanganan konflik yang berbeda yang disajikan dalam bentuk tabel 2x2. Pada
sumbu vertikal menggambarkan sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada
orang lain (concern for others), dan pada sumbu horizontal menggambarkan sisi pemecahan masalah yang
berorientasi pada diri sendiri (concern for self). Kombinasi dari kedua variabel ini menghasilkan lima gaya penanganan masalah
yang berbeda, yaitu: integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising.
Integrating (Problem Solving). Dalam gaya ini
pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama mengidentifikasikan masalah
yang dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif
pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang
disebabkan oleh salah paham (misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi karena sistem
nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu
yang lama dalam penyelesaian masalah.
Obliging (Smoothing). Sesuai
dengan posisinya dalam gambar di atas, seseorang yang bergaya obliging
lebih
memusatkan perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri
sendiri. Gaya
ini sering pula disebut smothing (melicinkan), karena
berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan pada persamaan atau kebersamaan
di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan strategi ini terletak pada upaya
untuk mendorong terjadinya kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat
sementara dan tidak menyentuh masalah pokok yang ingin dipecahkan.
Dominating (Forcing). Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya
kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan
taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut
memaksa (forcing)
karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok
digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam
penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu
untuk mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok untuk menangani masalah
yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat. Kekuatan utama gaya ini
terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan. Kelemahannya, sering
menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh
mereka yang terlibat.
Avoiding.
Taktik menghindar (avoiding)
cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sepele atau remeh, atau jika
biaya yang harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada
keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan
masalah - malasah yang sulit atau “buruk”. Kekuatan dari strategi penghindaran adalah
jika kita menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan kelemahannya,
penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok
masalah.
Compromising.
Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang
memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan
pendekatan saling memberi dan menerima (give-and-take approach) dari pihak-pihak yang
terlibat.Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak
yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama. Misalnya,
dalam negosiasi kontrak antara buruh dan majikan. Kekuatan utama dari kompromi
adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang merasa
dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat sementara dan mencegah
munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah.
Model-model di atas sudah barang tentu hanya
merupakan sebagain saja dari banyak model yang dapat dipilih dalam manajemen konflik.
Model apapun yang dipilih akan tergantung pada beberapa faktor, antara lain:
(1) latar belakang terjadinya konflik; (2) kategori pihak-pihak yang terlibat
dalam konflik: apakah antar-individu, individu dengan kelompok, atau
antar-kelompok dalam organisasi; (3) kompleksitas masalah yang akan dipecahkan;
dan (4) kompleksitas organisasi.
Model - model Manajemen konflik akan bermuara
pada bagaimana mengusahakan agar konflik
berada pada situasi optimal, sehingga konflik tersebut dapat mencegah
kemacetan, merangsang kreativitas, memungkinkan lepasnya ketegangan, dan
memprakarsai benih-benih untuk perubahan. Robbins menjelaskan bahwa konflik itu
baik bagi organisasi jika: (1) konflik merupakan suatu alat untuk menimbulkan
perubahan; (2) konflik mempermudah terjadinya keterpaduan (cohesiveness) kelompok; (3) konflik dapat memperbaiki
keefektifan kelompok dan organisasi; dan (4) konflik menimbulkan tingkat
ketegangan yang sedikit lebih tinggi dan lebih konstruktif. Tingkat konflik
yang tidak memadai (terlalu rendah) atau terlalu berlebihan (konflik tinggi) dapat
merintangi keefektifan organisasi untuk mencapai kualitas pelayanan publik yang
tinggi. Kedua situasi ektrim ini dapat memunculkan sikap-sikap aparat yang
apatis, absenteisme tinggi, bekerja seadanya, tidak empatik terhadap pengguna
jasa, dan sebagainya; yang pada akhirnya akan memperendah kualitas pelayanan
mereka kepada publik. Untuk itulah diperlukan suatu keahlian untuk
mengelola konflik dari setiap pimpinan organisasi publik. Penggunaan berbagai
teknik pemecahan dan motivasi untuk mencapai tingkat konflik yang diinginkan
disebut sebagai manajemen konflik.
VI. PENUTUP
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa kualitas
pelayanan publik dipengaruhi oleh tingkat konflik yang ada dalam organisasi.
Faktor - faktor yang menjadi penentu tingginya kualitas pelayanan, misalnya:
sikap responsif dan empatik dari para aparatur pemerintah akan sulit muncul jika
di dalam organisasi terdapat tingkat konflik yang tinggi atau sebaliknya konflik
yang terlalu rendah.
Sering kita temukan dalam setiap organisasi
tentang adanya sikap pro dan kontra dalam memandang konflik. Ada pimpinan yang memandang
konflik secara negatif dan mencoba untuk menghilangkan segala jenis konflik
yang ada. Para pimpinan ini bersikeras bahwa konflik akan memecah-belah
organisasi dan menghambat terciptanya kinerja yang optimal. Konflik memberikan
indikasi tentang adanya suatu ketidakberesan dalam organisasi, dan adanya
prinsip-prinsip atau aturanaturan yang tidak dilaksanakan dengan baik.
Pandangan yang berbeda terhadap konflik
beranggapan bahwa konflik tidak mungkin dihindari. Semua bentuk ketidak - setujuan
mengandung konflik, namun hal itu tidak perlu menimbulkan pertengkaran yang
hebat. Para pimpinan yang setuju dengan pandangan ini berpendapat bahwa jika
pihak-pihak yang berkonflik bersikap dewasa dan percaya diri, maka apapun
masalah yang menjadi sumber konflik akan dapat diselesaikan dengan baik. Mereka
ini percaya bahwa kinerja organisasi yang optimal memerlukan tingkat konflik
yang optimal atau moderat. Tanpa konflik, akan ada rasa tidak memerlukan
perubahan, dan perhatian tidak terfokus pada masalah. Karena
itu yang dibutuhkan adalah bagaimana mengelola konflik sehingga konflik
tersebut dapat dipertahankan pada tingkatan tertentu (optimal atau moderat)
sehingga menimbulkan situasi kondusif dalam organisasi. Dengan
demikian kualitas pelayanan yang diinginkan dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
De Cenzo, David A., dan Stephen P. Robbins, 1996. Human Resource Management. New York :
John Wiley & Sons, Inc.
Gibson, James L., et al., 1977. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Alih bahasa oleh Adriani. Jakarta: Binarupa Aksara.
Greenhalgh, Leonard, 1999. “Menangani Konflik”. Dalam A.Dale
Timpe, (Ed.), Memimpin
Manusia. Alih bahasa oleh Sofyan Cikmat. Jakarta : PT.Gramedia.
Kreitner, Robert, dan Angelo Kinicki, 1995. Organizational Behavior. Chicago :
Irwin.
Luthans,
Fred, 1985. Organizational Behavior. New York :
McGraw-Hill Book Company.
Milkovich, George T., dan Milkovich
Boudreau, 1977. Human Resource Management. Chicago :
Irwin.
Miner, John B., et
al., 1985. The Practice of Management. Toronto :
A Bell & Howell Company.
Robbins, Stephen P., 1996. Organizational
Behavior: Concepts,Controversies,
and Applications. USA :
Prentice-Hall International Editions.
Schermerhorn, John R., et
al., 1982. Managing Organizational Behavior. New Yor: John Wiley &Sons, Inc.
Sikula, Andrew F., 1976. Personnel
Administration and Human Resources Management. New York :
John Wiley &Sons, Inc.
Stoner, James A.F., dan R. Edward
Freeman, 1989. Management. USA : Prentice-Hall
International Editions.
Werther, William B., dan Keith Davis, 1993. Human Resouces and Personnel Management. New
York : McGraw-Hill International
0 komentar:
Posting Komentar