Teori kepemimpinan
merupakan penjelasan mengenai beberapa aspek kepemimpinan dan teori yang
memiliki nilai praktis karena digunakan untuk memahami, memprediksi dan
mengendalikan sukses kepemimpinan secara lebih baik. Minimal ada empat
klasifikasi teori kepemimpinan atau pendekatan penelitian untuk menjelaskan
kepemimpinan. Klasifikasi teori kepemimpinan – yang dalam tulisan ini disebut
gaya kepemimpinan – mencakup pembawaan, keperilakuan, kontingensi dan
integratif.
Berdasarkan uraian di atas
nampak bahwa paradigma kepemimpinan merupakan bagian dari pola pikir yang
mewakili cara berpikir, mempersepsikan, mempelajari, meneliti dan memahami
kepemimpinan secara fundamental. Keempat klasifikasi teori kepemimpinan utama
tersebut juga mewakili perubahan paradigma kepemimpinan (Lussier dan Achua,
2001: 14-19).
Paradigma Teori Pembawaan (Sifat)
Kajian kepemimpinan pada
mulanya didasarkan pada asumsi bahwa pemimpin dilahirkan, tidak dibuat.
Peneliti kemudian mengidentifikasi serangkaian pembawaan pemimpin yang
membedakan dengan pengikutnya, serta pemimpin efektif dengan pemimpin tidak
efektif. Teori pembawaan kepemimpinan mencoba menjelaskan karakteristik khusus
kepemimpinan yang efektif. Peneliti menganalisis pembawaan fisik dan psikologis
serta kualitas, seperti level kemampuan yang tinggi, keagresifan, kepercayaan
pada diri sendiri, daya persuasif yang dimiliki dan kekuasaannya dalam
mengidentifikasi serangkaian pembawaan yang dimiliki oleh pemimpin yang sukses.
Dalam berbagai sumber dinyatakan bahwa, keberhasilan seorang pemimpin
ditentukan oleh sifat dan perangai pemimpin tersebut. Sifat-sifat tersebut
dapat berupa sifat fisik, sosial dan psikologis (Introducing Leadership
Studies, 2001: 18; Leadership, 2001: 1; Sadler, 2001: 11).
Atas dasar pemikiran di
atas ada anggapan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil sangat
ditentukan kemampuan pribadi pemimpin. Karena itu, timbul usaha dari para ahli
untuk meneliti dan merinci kualitas seorang pemimpin yang berhasil melaksanakan
tugas kepemimpinannya, kemudian hasilnya diformulasikan ke dalam sifat-sifat
umum seorang pemimpin. Usaha tersebut berkembang menjadi teori kepemimpinan
yang disebut “teori sifat kepemimpinan” (Robbins, at.al., 1994: 469).
Teori Sifat atau Pembawaan
(Sumber: Diadaptasi dari Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)
Bakat-bakat
kepemimpinan: merepresentasikan karakteristik personal yang
membedakan para pemimpin dari bawahannya.
·
Temuan historis menunjukkan bahwa pemimpin
dan bawahan dibedakan berdasarkan:
-
intelijensi,
-
dominasi
-
kepercayaan diri
-
tingkat energi dan aktivitas
-
pengetahuan yang relevan dengan tugas
·
Temuan kontemporer menunjukkan bahwa:
-
orang cenderung mempersepsikan seseorang
selaku pemimpin ketika menunjukkan bakat yang berhubungan dengan intelijensi,
maskulinitas dan dominasi
-
orang mengharapkan pemimpin tersebut
menjadi kredibel
- pemimpin
yang kredibel adalah pemimpin yang jujur, berpandangan jauh ke depan dan
cakap.
|
Daftar pembawaan digunakan
sebagai prasyarat untuk mengusulkan calon untuk menduduki posisi kepemimpinan.
Calon yang bisa diberi kesempatan menduduki posisi kepemimpinan adalah yang
memiliki semua pembawaan yang diidentifikasi. Namun, tidak satu pun yang
menjadi daftar pembawaan universal yang dimiliki oleh pemimpin sukses atau
pembawaan yang menjamin keberhasilan kepemimpinan. Pertanyaannya, perangai
bagaimana yang perlu dimiliki oleh setiap pemimpin. Ternyata hasil usaha yang
dilakukan oleh para pakar sangat heterogen sehingga timbul keraguan terhadap
hasil tersebut. Sisi positifnya ialah meskipun tidak ada daftar yang menjamin
keberhasilan kepemimpinan, namun pembawaan yang terkait dengan keberhasilan
kepemimpinan dapat teridentifikasi.
Paradigma Teori Kepemimpinan
Perilaku
Setelah pada awal tahun
lima puluhan diketahui bahwa penyelidikan mengenai ciri-ciri kepemimpinan tidak
berhasil, para pakar dan peneliti kepemimpinan memulai mempelajari tingkah laku
pemimpin. Tingkah laku pemimpin lebih terkait dengan proses kepemimpinan.
Karena itu, ada dua dimensi utama kepemimpinan yang dikenal dengan nama
konsiderasi dan struktur inisiasi. Dua macam kecenderungan perilaku
kepemimpinan tersebut pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari masalah
fungsi dan gaya kepemimpinan.
Teori Gaya Keperilakuan
(Sumber: Diadaptasi dari Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)
·
Studi Ohio State University
mengidentifikasi dua dimensi penting perilaku pemimpin
(1)
Konsiderasi: menciptakan respek dan
kepercayaan timbal-balik dengan bawahan
(2)
Inisiasi struktur: mengorganisir dan
meredefinisi apa-apa yang akan dikerjakan oleh anggota kelompok
·
Studi Michigan University
mengidentifikasi dua gaya kepemimpinan yang sama dengan studi yang dilakukan
oleh Ohio State University.
= salah satu gaya terfokus pada pekerja dan gaya
yang satunya terfokus pada pekerjaan
· Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tidak ada satu gaya kepemimpinan yang terbaik.
Efektivitas gaya kepemimpinan tertentu tergantung pada situasi di mana gaya
tersebut diterapkan.
|
Berdasarkan tabel di atas
dapat dipahami bahwa perilaku pemimpin yang efektif melakukan konsiderasi
tergantung pada aspek berikut:
- Kepuasan pengikut terhadap pemimpin tergantung pada derajat konsiderasi yang ditunjukkan oleh pemimpin.
- Konsiderasi pemimpin lebih berpengaruh terhadap pengikut ketika pekerjaan tidak menyenangkan dan mendesak, dari pada ketika pekerjaan menyenangkan dan tidak mendesak.
- Pemimpin yang menunjukkan konsiderasi dapat melakukan inisiasi struktur yang lebih banyak tanpa mengurangi kepuasan pengikutnya.
- Konsiderasi yang diberikan sebagai respons terhadap kinerja yang baik akan meningkatkan kemungkinan kinerja yang baik di masa depan.
Sedangkan perilaku pemimpin yang efektif melakukan inisiasi struktur adalah: - Inisiasi struktur yang memperjelas peran tambahan akan meningkatkan kepuasan.
- Inisiasi struktur akan menyurutkan kepuasan pengikut ketika struktur tersebut sudah tersedia.
- Inisiasi struktur akan meningkatkan kinerja ketika tugas tidak jelas.
- Inisiasi struktur tidak akan mempengaruhi kinerja ketika tugas jelas (Leadership, 2001: 2).
Uraian di atas memperjelas
bahwa teori kepemimpinan perilaku mencoba menjelaskan keunikan gaya yang
digunakan oleh pemimpin yang efektif, atau memahami sifat-sifat pekerjaan
pemimpin. Sepuluh peran manajerial dari Henry Minzberg merupakan salah satu
contoh teori kepemimpinan perilaku. Peneliti perilaku menekankan pada penemuan
cara mengklasifikasikan perilaku yang dapat memberikan pemahanan mengenai
kepemimpinan.
Paradigma Teori Kepemimpinan
Kontigensi
Pada mulanya, teori
kepemimpinan yang dibangun oleh Fiedler ini menekankan pada dua sasaran, yakni
melakukan idenfikasi faktor-faktor penting dalam situasi tertentu dan
memperkirakan gaya atau perilaku kepemimpinan yang paling efektif dalam situasi
tertentu. Hasil penelitian Fiedler menunjukkan bahwa, dalam situasi kerja
selalu ada tiga elemen yang menentukan gaya kepemimpinan yang efektif, yakni:
hubungan pemimpin dengan bawahan, struktur tugas dan ketangguhan posisi
pemimpin.
Teori kepemimpinan
kontingensi menjelaskan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan pemimpin, pengikut
dan situasinya. Paradigma teori ini menekankan pentingnya faktor situasional,
termasuk sifat pekerjaan yang dilakukan, lingkungan eksternal dan karakteristik
pengikut. Selain itu, dikenal pula teori kepemimpinan situasional (Robbins,
at.al., 1994: 483) yang dikembangkan dari teori kepemimpinan model kontingensi
Fiedler ini. Berdasarkan teori ini, gaya kepemimpinan yang paling efektif
adalah gaya kepemimpinan yang disesuaikan dengan tingakat kedewasaan bawahan.
Namun, Hersey dan Blanchard tidak merinci dan memberikan definisi kedewasaan
sebagai suatu tingkat kemantapan emosional.
Paradigma Teori Kepemimpinan
Integratif
Pada paruh sampai akhir
tahun 1970an, paradigma kepemimpinan mulai berubah menjadi paradigma integratif
atau teori kharismatik baru. Sesuai namanya, teori kepemimpinan integratif ini
memadukan teori pembawaan, perilaku dan kontingensi untuk menjelaskan
kesuksesan dan pengaruh hubungan antara pemimpin dan pengikut. Peneliti
berusaha menjelaskan mengapa pengikut pemimpin tertentu mempunyai keinginan
bekerja keras dan rela berkorban untuk mencapai tujuan kelompoknya. Di samping
itu, menjelaskan bagaimana seorang pemimpin secara efektif mempengaruhi
perilaku pengikutnya, serta mengapa perilaku pemimpin yang sama dapat membawa
dampak yang berbeda pada pengikutnya dalam situasi tertentu.
Pendekatan
Baru Terhadap Kepemimpinan
Dewasa ini, sejumlah
peneliti kepemimpinan kembali menggunakan teori sifat kepemimpinan, meskipun
dengan perspektif yang berbeda (Robbins, at.al., 1994: 497). Lima teori
kepemimpinan menurut pendekatan baru ini ialah teori atribusi, teori
kepemimpinan kharismatik dan teori kepemimpinan transaksional versus
transformasional. Selain itu, teori kepemimpinan pengembangan (Gilley dan
Maycunich, 2000) dan teori kepemimpinan super (Manz dan Sims, 2001) juga
merupakan gaya atau tipe kepemimpinan yang tergolong dalam perspektif ini.
Tinjauan tiga teori
kepemimpinan yang pertama – atribusi, kharismatik dan transaksional versus
transformasional – dapat diringkaskan dari beberapa sumber (Politis, 2001:
358-359; Politis, 2002: 188-190; Lussier dan Achua, 2001: 374-384 Bass dan
Burns dalam Haryono, 2002: 7-10) sebagai berikut.
Teori
Atribusi Kepemimpinan
Teori atribusi kepemimpinan
menjelaskan perbedaan hubungan sebab-akibat yang mempengaruhi orang. Bila
terjadi suatu peristiwa, pemimpin mencoba menghubungkannya dengan suatu
penyebab yang sifatnya internal dan eksternal. Dalam konteks kepemimpinan,
teori atribusi menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan astribusi yang dibuat
orang mengenai individu lain. Dengan menggunakan kerangka atribusi ini,
peneliti menemukan bahwa orang mencirikan pemimpin sebagai menyandang ciri
seperti kecerdasan, kepribadian, keramah-tamahan, keterampilan verbal yang
kuat, keagresifan, pemahaman dan kerajinan. Salah satu tema yang lebih menarik
dalam literatur teori atribusi kepemimpinan adalah persepsi bahwa pemimpin yang
efektif umumnya konsisten atau tidak bergeming dalam keputusan yang dibuat
(Robbins, et.al., 1994: 167, 497-498).
Teori
Kepemimpinan Kharismatik
Teori kepemimpinan
kharismatik merupakan suatu perluasan dari teori atribusi. Teori ini
mengemukakan bahwa para pengikut membuat atribusi dari kemampuan kepemimpinan
yang heroik atau luar biasa bila mengamati perilaku-perilaku tertentu. Beberapa
penulis telah mengidentifikasi karakteristik pribadi pemimpin kharismatik ini.
Robert House yang terkenal dengan gagasannya mengenai teori jalur-tujuan
mengidentifikasi tiga karakteristik pemimpin kharismatik, yakni: kepercayaan
diri yang luar biasa tinggi, kekuasaan dan keteguhan pada keyakinan yang dianut
(Robbins, et.al., 1994: 499-500).
Setelah Warren Bennis
mempelajari 90 pemimpin yang paling efektif dan sukses di Amerika serikat
disimpulkan bahwa pemimpin kharismatik mempunyai empat kompetensi yang sama
yakni: mempunyai visi atau pemahaman tujuan; dapat mengkomunikasikan visinya
dalam kata-kata yang jelas sehingga para pengikutnya dapat dengan mudah
memihak; dapat menunjukkan konsistensi dan fokus dalam memburu visi
kepemimpinannya; dan tahu kekuatannya sendiri dan memanfaatkannya. Selain itu,
analisis yang paling menyeluruh telah dirampungkan oleh Congger dan Kanungo
dari Universitas McGill. Sebagian kesimpulan yang dibuat menyatakan bahwa
pemimpin kharismatik memiliki tujuan ideal yang ingin dicapai, memiliki
komitmen pribadi yang kuat pada tujuan, tidak konvensional, tegas dan percaya
diri, serta sebagai agen perubahan radikal, bukan manajer dari status quo.
Menurut Bass (1985) bahwa
kharisma adalah bagian penting dari kepemimpinan transformasional, namun
kharisma itu sendiri tidak cukup untuk proses transformasional. Pemimpin
kharismatik lebih dari sekedar percaya diri pada keyakinannya, melainkan pula
melihat dirinya sendiri seperti mempunyai suatu tujuan dan takdir supranatural.
Sementara itu, pengikutnya bukan saja mempercayai dan menghormati pemimpin yang
kharismatik, melainkan pula memuja dan menyembah pemimpinnya sebagai seorang
pahlawan yang melebihi manusia atau tokoh spiritual. Pemimpin kharismatik
dipandang memiliki kebesaran, sekaligus menjadi katalisator mekanisme
psikodinamik pengikutnya.
Seorang pemimpin
kharismatik lebih besar kemungkinannya akan lahir manakala para pengikut
membagi sama norma-norma, keyakinan dan fantasi yang dapat dijadikan sebagai
basis bagi seruan emosional dan rasional oleh pemimpin tersebut. Namun, Bass
juga menyatakan bahwa tanggapan seseorang terhadap pemimpin kharismatik
kemungkinannya akan sangat terpolarisasi, karena pemimpin kharismatik dicintai
oleh beberapa orang namun dibenci oleh yang lainnya. Tanggapan yang
terpolarisasi ini membantu menjelaskan mengapa demikian banyak pemimpin politik
yang kharismatik menjadi sasaran pembunuhan.
Kata akhir yang perlu
dipahami dalam hal ini ialah kepemimpinan kharismatik mungkin tidak selalu
diperlukan untuk mencapai tingkat kinerja karyawan yang tinggi. Namun, pemimpin
kharismatik mungkin paling tepat jika tugas pengikut memiliki suatu komponen
ideologis. Hal ini dapat menjelaskan mengapa pemimpin kharismatik lebih
dimungkinan muncul dalam konteks politik, agama, waktu perang atau apabila suatu
perusahaan bisnis memperkenalkan suatu produk yang benar-benar baru (baca:
produk kreatif dan inovatif) atau menghadapi suatu krisis yang mengancam
kehidupannya.
Kepemimpinan Transaksional versus Transformasional
Kepemimpinan Transaksional versus Transformasional
Hasil studi
terakhir yang menarik mengenai dua gaya kepemimpinan ini adalah perhatian yang
diberikan pada perbedaan pemimpin transformasional dari pemimpin transaksional.
Padahal, pemimpin transformasional juga kharismatik. Karena itu, seringkali
terjadi tumpang-tindih topik ini dengan pembahasan kepemimpinan kharismatik.
Burns membedakan
kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan
transaksional memotivasi pengikutnya dengan menunjuk pada kepentingan diri
sendiri. Burns juga membedakan kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan yang
mentransformasi pengaruh yang ditunjukkan berdasarkan pada kekuasaan
birokratis. Organisasi birokratis lebih menekankan pada kekuatan legitimasi dan
lebih menghormati peraturan serta trandisi, dari pada pengaruh yang didasarkan
atas pertukaran atau inspirasi. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa
kepemimpinan merupakan suatu proses, bukan sejumlah tindakan yang mempunyai
ciri-ciri sendiri. Burns menjelaskan kepemimpinan sebagai sebuah arus antar
hubungan yang berkembang, di mana pemimpin secara terus-menerus membangkitkan
tanggapan motivasi dari pada pengikut dan memodifikasi perilaku pengikutnya
pada saat menghadapi tanggapan atau perlawanan, dalam sebuah proses dan arus
balik yang tidak pernah berhenti.
Bass (1985)
memperkenalkan teori kepemimpinan transformasional yang dibangun berdasarkan
gagasan awal dari Burns (1978). Pengikut pemimpin transformasional merasa
adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan adanya rasa hormat terhadap
pemimpinnya dan bawahan tersebut termotivasi untuk melakukan lebih dari pada
apa yang diharapkan darinya. Pemimpin mentransformasi dan memotivasi
pengikutnya dengan cara: (1) membuat pengikutnya lebih sadar mengenai arti
penting hasil suatu pekerjaan yang dilakukan; (2) mendorong pengikutnya untuk
lebih mementingkan tim atau organisasi dari pada kepentingan dirinya sendiri;
dan (3) mengaktifkan kebutuhan pengikutnya pada level yang lebih tinggi.
Formulasi
teori Bass (1985) mencakup tiga unsur kepemimpinan transformasional, yakni:
kharisma, stimulasi intelektual dan perhatian yang diindividualisasi. Kharisma
didefisinikan sebagai sebuah proses yang padanya seorang pemimpin mempengaruhi
para pengikutnya dengan menimbulkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi
dengan pemimpin tersebut. Stimulasi intelektual ialah suatu proses yang di
dalamnya pemimpin meningkatkan kesadaran pengikut terhadap berbagai masalah dan
mempengaruhi para pengikutnya untuk memandang berbagai masalah dari perspektif
yang berbeda. Perhatian yang diindividualisasi termasuk di dalamnya memberi
dukungan, membesarkan hati dan memberi pengalaman tentang perkembangan kepada
para pengikutnya. Sementara itu, kepemimpinan transaksional diartikan sebagai
sebuah pertukaran imbalan untuk mendapatkan kepatuhan.
Berdasarkan
pengertian di atas, jelas bahwa Bass mendefinisikan kepemimpinan transaksional
dalam arti yang lebih luas dari pada Burns. Salah satu komponen perilaku
transaksional yang disebut perilaku contingent rewards mencakup
kejelasan mengenai pekerjaan yang diharapkan memperoleh imbalan dan menggunakan
insentif dan contingent rewards untuk mempengaruhi motivasi. Komponen
kedua yang disebut active management by exception, mencakup pemantauan
para bawahan dan tindakan memperbaiki untuk memastikan bahwa pekerjaan tersebut
telah dilaksanakan secara efektif. Komponen ketiga yang disebut passive
management by exception ditambahkan oleh Bass dan rekannya. Termasuk ke
dalam komponen ini adalah penggunaan contingent punishment dan tindakan
perbaikan sebagai tanggapan atas penyimpangan dari standar kinerja. Bass
memahami kepemimpinan transformasional dan transaksional sebagai proses yang
berbeda namun tidak saling menafikan. Selain itu, Bass mengakui bahwa pemimpin
yang sama dapat menggunakan kedua jenis kepemimpinan tersebut pada waktu dan
situasi yang berbeda.
Kepemimpinan Transaksional versus
Kepemimpinan Kharismatik
(Sumber: diadaptasi dari Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)
Kepemimpinan
Transaksional: terfokus pada interaksi interpersonal
antara pemimpin dan para pengikut
·
Pemimpin Transaksional
-
Menggunakan ganjaran kontingen untuk
memotivasi pengikutnya
-
Tindakan koreksi hanya dilakukan manakala
pengikutnya gagal mencapai tujuan kinerja yang diharapkan
Kepemimpinan Kharismatik:
menekankan perilaku pemimpin simbolik yang mentransformasi para pengikut
untuk memprioritaskan tujuan bersama lebih dari kepentingan pribadi.
·
Pemimpin Kharismatik
-
Menggunakan pesan-pesan visioner dan
inspirasional
-
Berdasar pada komunikasi non-verbal
-
Menyerukan nilai-nilai ideologis
-
Berupaya menstimulasi pengikutnya secara
intelektual
-
Menunjukkan kepercayaan diri dan para
pengikutnya
- Menetapkan
harapan kinerja yang tinggi
|
Kebanyakan teori
kepemimpinan yang disajikan sebelumnya – misalnya studi Ohio, model Fiedler,
teori jalur tujuan dan model partisipasi pemimpin – memperkuat konsep
kepemimpinan transaksional. Pemimpin jenis ini memandu dan motivasi pengikutnya
ke arah tujuan yang ditetapkan. Kepemimpinan transformasional dibangun di atas
“fondasi” kepemimpinan transaksional, sehingga menghasilkan tingkat upaya dan
kinerja bawahan yang melampaui apa yang terjadi dengan pendekatan transaksional
semata. Lebih dari itu, kepemimpinan transformasional lebih dari pada pemimpin
kharismatik. Pemimpin yang semata-mata kharismatik dapat menghrapkan pengikutnya
mengadopsi perspektif pemimpin kharismatik dan tidak beranjak lebih jauh.
Sementara itu, pemimpin transformasional berupaya menanamkan dalam diri
pengikutnya kemampuan untuk mempertanyakan tidak hanya pandangan yang mapan,
melainkan pula pandangan yang ditetapkan oleh pemimpin.
0 komentar:
Posting Komentar